Beda Visi Pemerintah-DPR Penyebab Holding BUMN Migas Molor
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membeberkan penyebab tak kunjung terealisasinya pembentukan holding BUMN minyak dan gas bumi (migas) antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN). Penyebabnya adalah, hingga saat ini antara pemerintah dan DPR belum satu visi mengenai rencana tersebut.
(Baca Juga: Holding Pertamina-PGN Akan Segera Terwujud
Deputi Bidang Usaha Energi Logistik Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengungkapkan, untuk merealisasikan pembentukan holding migas maka konsep yang diinginkan antara pemerintah dan parlemen harus sama. Sementara saat ini, keduanya belum memiliki konsep yang sama.
"Holding itu kalau mau penyatuan konsep sama Komisi VI belum satu. Itu apakah BUMN harus besar, kuat, lincah BUMN apakah harus melayani masyarakat yang terluar, itu sudah sama. Itu enggak beda, tapi tata caranya yang musti didiskusikan. Apalagi terkiat sama UU dan tata cara yang berlaku," katanya di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Menurut Edwin, DPR menginginkan agar pembentukan holding harus melalui persetujuan parlemen. Padahal, pemerintah sendiri hanya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pembentukan holding tersebut, yang pada dasarnya tidak butuh persetujuan DPR.
Tak hanya itu, DPR juga ingin mengetahui secara detail mengenai nasib PGN di masa mendatang. Mengingat, PGN merupakan perusahaan pelat merah terbuka (tbk) yang sebagian sahamnya dimiliki publik.
"Apakah nanti kalau ini digabung bagaimana nanti public company? Masih bisa melakukan public services enggak? Ini mereka mau tau. Jadi mereka menginginkan agar (pembentukan holding) dilakukan pembahasan dan kita lakukan beberapa kali. Kita sih berharap holding bisa terjadi," tandasnya.
(Baca Juga: Holding Pertamina-PGN Akan Segera Terwujud
Deputi Bidang Usaha Energi Logistik Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengungkapkan, untuk merealisasikan pembentukan holding migas maka konsep yang diinginkan antara pemerintah dan parlemen harus sama. Sementara saat ini, keduanya belum memiliki konsep yang sama.
"Holding itu kalau mau penyatuan konsep sama Komisi VI belum satu. Itu apakah BUMN harus besar, kuat, lincah BUMN apakah harus melayani masyarakat yang terluar, itu sudah sama. Itu enggak beda, tapi tata caranya yang musti didiskusikan. Apalagi terkiat sama UU dan tata cara yang berlaku," katanya di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Menurut Edwin, DPR menginginkan agar pembentukan holding harus melalui persetujuan parlemen. Padahal, pemerintah sendiri hanya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pembentukan holding tersebut, yang pada dasarnya tidak butuh persetujuan DPR.
Tak hanya itu, DPR juga ingin mengetahui secara detail mengenai nasib PGN di masa mendatang. Mengingat, PGN merupakan perusahaan pelat merah terbuka (tbk) yang sebagian sahamnya dimiliki publik.
"Apakah nanti kalau ini digabung bagaimana nanti public company? Masih bisa melakukan public services enggak? Ini mereka mau tau. Jadi mereka menginginkan agar (pembentukan holding) dilakukan pembahasan dan kita lakukan beberapa kali. Kita sih berharap holding bisa terjadi," tandasnya.
(akr)