Pemerintah Sebut Eropa Iri dan Dengki terhadap Sawit RI

Selasa, 09 Mei 2017 - 12:42 WIB
Pemerintah Sebut Eropa Iri dan Dengki terhadap Sawit RI
Pemerintah Sebut Eropa Iri dan Dengki terhadap Sawit RI
A A A
JAKARTA - Pemerintah memandang resolusi yang dikeluarkan Parlemen Uni Eropa terkait penggunaan produk sawit yang diharuskan bersertifikasi dan dikenakan bea masuk impor, hanya soal perdagangan antara kedua belah pihak. Pemerintah juga menyebut Uni Eropa iri terhadap Indonesia.

(Baca Juga: Pemerintah Segera Bentuk Tim Lawan Resolusi Eropa Soal Sawit)

Dalam resolusinya tersebut, Uni Eropa menganggap bahwa sawit sangat erat kaitannya dengan isu pelanggaran HAM, korupi, pekerja anak, deforestasi, dan penghilangan hak masyarakat adat.

Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud mengungkapkan, resolusi ini bukan terkait pencemaran lingkungan. Namun, hanya terkait bisnis dan perdagangan, sehingga Indonesia harus siap menghadapi perang dagang dengan Uni Eropa.

"Kalau dibilang mau menjaga lingkungan global, enggak ada lah itu. Itu cuma soal dagang. Kalau menghadapi dagang ya kita harus siap, karena kita terbesar di dunia," katanya di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa (9/5/2017).

Menurutnya, jika Eropa menginginkan adanya standardisasi minyak sawit, maka dia menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan sertifikat untuk produk minyak sawit yang sustainable.

Dia menerangkan, langkah Eropa tersebut hanya sikap iri dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia. "ISPO sudah ada sejak 2011. Kalau tidak percaya terhadap ISPO yang diterapkan di Indonesia, kasih dong masukan. Itu hanya iri, dengki, sirik, karena kita hijau-hijau. Cobal ihat Eropa tanamannya kecil-kecil," tuturnya.

Tidak jauh berbeda, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengemukakan bahwa hambatan yang diciptakan Uni Eropa tersebut hanyalah persoalan perdagangan semata.

"Hambatan sawit yang tadi dibilang itu masalah dagang. Jadi hambatan kita baik dari standar, bea masuk yang tinggi. Intinya mereka tidak mau nge-banned sawit. Kalau mereka enggak setuju kenapa enggak dilarang saja," tuturnya.

Pengenaan tarif bea masuk yang tinggi terhadap produk sawit ini semata agar mereka memperoleh keuntungan sebesar-besarnya terhadap sawit impor. Selain itu, negara-negara Uni Eropa juga khawatir jika produk minyak nabati yang diproduksinya seperti minyak kedelai (soybean) dan minyak bunga matahari (sunflower oil) kalah saing dengan minyak sawit.

"Jadi, justru yang diusulkan melalui resolusi itu adalah tingkatkan pajak masuknya. Kita yang berkeringat, siapa yang menikmati. Sawit dianggap tidak sehat, ujung-ujungnya bukan di-banned tapi dikenakan tarif lebih tinggi," kata Oke.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8148 seconds (0.1#10.140)