Tambang Bawah Tanah Freeport Sedot Investasi Besar
A
A
A
JAKARTA - Kegiatan tambang bawah tanah yang dilakukan PT Freeport Indonesia, kerap dinilai akan mudah menghasilkan banyak tembaga dengan logam ikutan emas dan perak. Kenyataannya, menurut pakar tambang bawah tanah, kegiatan tambang dengan metode block caving yang merupakan metode pengerukan tambang bawah tanah (underground mining) tidak segampang yang dipikirkan. Selain memiliki tantangan tersendiri, juga sangat penuh risiko dan membutuhkan investasi sangat besar.
"Secara umum, metode block caving seperti yang digunakan Freeport untuk kegiatan tambang bawah tanah membutuhkan biaya paling sedikit USD 10 miliar. Selain itu, kegiatan produksinya tidak boleh terhenti. Bila terhenti, akan terjadi peningkatan tegangan dan mengakibatkan runtuhnya terowongan," jelas guru besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Ridho Kresna Wattimena dalam keterangan resmi, Rabu (24/5/2017).
Bila terjadi sesuatu yang mengakibatkan terhentinya kegiatan tambang di bawah tanah, menurut Ridho, akan meyebabkan kerugian yang sangat besar terutama dari sisi cadangan akan hilang dan tidak akan kembali lagi seperti semula karena bijih mineral yang sudah diberaikan akan terkompakkan kembali, menyebabkan perusahaan mengalami kerugian triliunan rupiah atas investasi yang ditanamkan. Selain itu, dapat terjadi kerusakan terowongan akibat konsentrasi tegangan dalam waktu yang lama.
Risiko ini sudah pernah terjadi. PT Freeport Indonesia kehilangan cadangan ketika tahun 2011 lalu para pekerja di tambang bawah tanah melakukan mogok kerja selama berbulan-bulan. Sebanyak 20% cadangan di bawah, yakni Deep Ore Zone tak bisa diambil lagi karena sudah terkompakkan kembali.
"Saya berharap bila ada kebijakan dari pemerintah yang dianggap tidak sesuai oleh perusahaan tambang, maka sebaiknya dicarikan solusi terbaik. Karena ini akan merugikan pemerintah sendiri dalam penerimaan pendapatan, juga merugikan perusahaan dalam berivestasi Ini tidak saling menguntungkan," sambung dia.
Metode block caving yang dilakukan Freeport, menurut Ridho, merupakan satu-satunya yang dilakukan di Indonesia. Metode ini, kata dia, dinilai paling murah per ton produksi bijih karena memanfaatkan gravitasi serta tidak mengganggu lingkungan.
"Selain itu, pengembangannya membutuhkan waktu 15 sampai 20 tahun, dan belanja modalnya cukup besar hingga 70% sebelum dapat memasuki tahapan produksi," papar Ridho.
Kepastian Investasi
Mencermati kondisi tersebut, Wakil Ketua Umum Indonesian Mining Institute (IMI), Hendra Sinadia mengatakan, teknologi tambang bawah tanah memang membutuhkan investasi yang luar biasa. Jadi wajar bagi perusahaan manapun menuntut adanya kepastian hukum dari operasional perusahaannya.
"Ini bukan hanya bicara Freeport saja, tapi juga perusahaan tambang lain. Mereka butuh kepastian operasional karena investasinya sangat besar dan jangka panjang. Apalagi risikonya juga tinggi,” terang Hendra.
Sebagai jalan tengah, dia menyarankan, ada renegoisasi di antara keduanya. Baik pemerintah maupun Freeport harus saling mendengarkan dan tidak memaksakan kehendaknya begitu saja.
"Solusinya negosiasi. Keduanya saling take and give, tidak boleh menang-menangan. Misalnya, Freeport bilang kami akan bangun smelter dan kami butuh ini dari pemerintah. Di sini pemerintah harus mendengarkan. Begitu juga dengan pemerintah, kalau Freeport ingin melepas saham, kami bisa berikan ini," contohnya.
Hendra menyebutkan, ada sekitar 100 perusahaan pertambangan yang kini bermasalah dengan izin terkait adanya UU Minerba terbaru. Namun menurutnya, sebagian sudah menyelesaikan renegoisasi, sementara beberapa lainnya belum. "Salah satunya, Freeport yang belum menyelesaikan negosiasinya dengan pemerintah," pungkas dia.
"Secara umum, metode block caving seperti yang digunakan Freeport untuk kegiatan tambang bawah tanah membutuhkan biaya paling sedikit USD 10 miliar. Selain itu, kegiatan produksinya tidak boleh terhenti. Bila terhenti, akan terjadi peningkatan tegangan dan mengakibatkan runtuhnya terowongan," jelas guru besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Ridho Kresna Wattimena dalam keterangan resmi, Rabu (24/5/2017).
Bila terjadi sesuatu yang mengakibatkan terhentinya kegiatan tambang di bawah tanah, menurut Ridho, akan meyebabkan kerugian yang sangat besar terutama dari sisi cadangan akan hilang dan tidak akan kembali lagi seperti semula karena bijih mineral yang sudah diberaikan akan terkompakkan kembali, menyebabkan perusahaan mengalami kerugian triliunan rupiah atas investasi yang ditanamkan. Selain itu, dapat terjadi kerusakan terowongan akibat konsentrasi tegangan dalam waktu yang lama.
Risiko ini sudah pernah terjadi. PT Freeport Indonesia kehilangan cadangan ketika tahun 2011 lalu para pekerja di tambang bawah tanah melakukan mogok kerja selama berbulan-bulan. Sebanyak 20% cadangan di bawah, yakni Deep Ore Zone tak bisa diambil lagi karena sudah terkompakkan kembali.
"Saya berharap bila ada kebijakan dari pemerintah yang dianggap tidak sesuai oleh perusahaan tambang, maka sebaiknya dicarikan solusi terbaik. Karena ini akan merugikan pemerintah sendiri dalam penerimaan pendapatan, juga merugikan perusahaan dalam berivestasi Ini tidak saling menguntungkan," sambung dia.
Metode block caving yang dilakukan Freeport, menurut Ridho, merupakan satu-satunya yang dilakukan di Indonesia. Metode ini, kata dia, dinilai paling murah per ton produksi bijih karena memanfaatkan gravitasi serta tidak mengganggu lingkungan.
"Selain itu, pengembangannya membutuhkan waktu 15 sampai 20 tahun, dan belanja modalnya cukup besar hingga 70% sebelum dapat memasuki tahapan produksi," papar Ridho.
Kepastian Investasi
Mencermati kondisi tersebut, Wakil Ketua Umum Indonesian Mining Institute (IMI), Hendra Sinadia mengatakan, teknologi tambang bawah tanah memang membutuhkan investasi yang luar biasa. Jadi wajar bagi perusahaan manapun menuntut adanya kepastian hukum dari operasional perusahaannya.
"Ini bukan hanya bicara Freeport saja, tapi juga perusahaan tambang lain. Mereka butuh kepastian operasional karena investasinya sangat besar dan jangka panjang. Apalagi risikonya juga tinggi,” terang Hendra.
Sebagai jalan tengah, dia menyarankan, ada renegoisasi di antara keduanya. Baik pemerintah maupun Freeport harus saling mendengarkan dan tidak memaksakan kehendaknya begitu saja.
"Solusinya negosiasi. Keduanya saling take and give, tidak boleh menang-menangan. Misalnya, Freeport bilang kami akan bangun smelter dan kami butuh ini dari pemerintah. Di sini pemerintah harus mendengarkan. Begitu juga dengan pemerintah, kalau Freeport ingin melepas saham, kami bisa berikan ini," contohnya.
Hendra menyebutkan, ada sekitar 100 perusahaan pertambangan yang kini bermasalah dengan izin terkait adanya UU Minerba terbaru. Namun menurutnya, sebagian sudah menyelesaikan renegoisasi, sementara beberapa lainnya belum. "Salah satunya, Freeport yang belum menyelesaikan negosiasinya dengan pemerintah," pungkas dia.
(akr)