Revolusi Pasar Muslim 2.0

Senin, 05 Juni 2017 - 06:01 WIB
Revolusi Pasar Muslim...
Revolusi Pasar Muslim 2.0
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com



DALAM
buku saya #GenM ”Generation Muslim” (Bentang, 2017), saya menyebut revolusi pasar hijab dan kosmetik halal sejak 2010 sebagai momentum Revolusi Pasar Muslim 1.0.

Kala itu brand-brand, seperti Wardah, Rabbani, atau Shafira mampu riding the wave di tengah pasar yang menggeliat dan menuai sukses luar biasa. Mereka mengalami pertumbuhan bisnis yang supercepat. Sejak 2010 misalnya Wardah mampu tumbuh 50-100% tiap tahun dan kini menjadi pemain utama di industri kosmetik Indonesia. Saya juga menyebut bahwa Revolusi Pasar Muslim 1.0 itu barulah ”pemanasan”.

Pertumbuhan pasar muslim yang sesungguhnya baru terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Kalau ada 1.0, tentu saja ada 2.0. Kapan Revolusi Pasar Muslim 2.0 bakal terjadi? Saya meramalkan setelah 2019, saat di mana pasar makanan, minuman, obat halal terbuka demikian luas menyusul implementasi Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Jadi, kalau Revolusi Pasar Muslim 1.0 ditandai dengan Revolusi Hijab. Maka, Revolusi Pasar Muslim 2.0 ditandai dengan revolusi makanan, minuman, dan obat halal.

Revolusi Halal


Saya meramalkan pemberlakuan UU JPH akan memicu edukasi halal yang begitu masif tak hanya di kalangan konsumen, tapi juga para produsen di industri halal Indonesia. Di sisi konsumen edukasi akan berlangsung natural dengan mekanisme peers to peers (P2P) melalui media sosial. Mekanisme peers to peers telah terjadi dengan sangat efektif pada kasus edukasi hijab sekitar 10 tahun terakhir.

Sementara di sisi produsen, begitu kesadaran halal terjadi begitu masif di seluruh industri halal mulai dari produk makanan, minuman, kosmetik, farmasi, biologi, kimia, hingga produk modifikasi genetik, dengan sendirinya produsen akan berlomba- lomba berkreasi dan berinovasi untuk meluncurkan beraneka ragam produk berbasis halal.

Pada gilirannya produk halal akan menjadi pasar mainstream di Indonesia persis seperti yang terjadi pada hijab. Nanti jaminan halal menjadi begitu sentral di mata konsumen muslim Indonesia sehingga seluruh pemain industri makanan, minuman, dan obat harus berbenah dan berlomba-lomba memenuhi itu. Nanti pengaruhnya akan sangat luas karena produk halal tak dilihat sebatas di produk akhir, tapi juga ditelusur ke seluruh rantai pasok (supply-chain) yang melibatkan berbagai industri yang sangat luas.

Halal Lifestyle

Ada dua hal yang menjadi pendorong revolusi halal di Tanah Air. Pertama, gaya hidup halal (halal lifestyle) yang semakin menjalar ke seluruh konsumen muslim. Kedua, kewajiban seluruh pemain industri makanan, minuman, dan obat untuk mencantumkan label halal pada produknya.

Pertama karena konsumen muslim melihat halal sebagai hal esensial dalam proses pengambilan keputusan pembelian dan gaya hidup konsumsi mereka. Halal lifestyle mereka lihat tak sebatas sebagai bentuk kepatuhan kepada hukum syariah, tapi juga didasarkan pada keyakinan bahwa produk halal mendatangkan kebaikan pribadi maupun universal.

Dalam survei saya pada 2014 di tujuh kota besar Indonesia, 95% konsumen selalu mengecek logo halal saat membeli kosmetik. Dengan kata lain, halal menjadi faktor penting keputusan pembelian konsumen.

Karena itu, produsen tak bisa main-main dengan integritas halal (halal integrity) karena begitu merek dicap tidak halal oleh konsumen, dampaknya ke merek bisa sangat disruptif. Ekuitas merek bisa hancur dalam semalam. Solaria adalah contoh kasus brand yang beberapa tahun lalu terkena isu tidak halal karena bumbu masakannya ditengarai mengandung unsur tak halal.

Meskipun isu ini masih simpang- siur kala itu, negative viral kehalalan Solaria sudah telanjur berkembang cepat di berbagai media sosial. Kasus ini menjadi bencana tak kecil bagi Solaria. Isu tak halal berpotensi merusak ekuitas mereknya dan untuk mengembalikan reputasi dan integritas halal bukanlah pekerjaan mudah. Untungnya, isu bisa cepat dinetralisasi sehingga dampaknya tak begitu serius.

Kewajiban Halal

Kedua karena regulasi mewajibkan seluruh produk besertifikat halal. Pada 2014 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU ini mendorong supaya semua produk yang beredar di Indonesia memiliki sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Tahun 2019, UU JPH diberlakukan dan pemerintah akan memaksa seluruh produsen untuk mencantumkan label halal dan bagi produk yang tak halal wajib mencantumkan informasi ketidakhalalan. Dengan ada aturan ini, kita dapat membayangkan bagaimana implikasinya kepada perkembangan industri makanan halal di Tanah Air. Semua merek, baik yang menyasar pasar muslim maupun bukan, wajib mendapatkan sertifikat halal.

Produk apa saja yang wajib dihalalkan? Sangat luas. Sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat 1 UU JPH, produk halal yang dimaksud adalah: barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Halal Value-Chain

Di samping itu, dalam Pasal 1 ayat 3 pemerintah juga menetapkan bahwa Proses Produk Halal (PPH) adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Artinya, secara keseluruhan rantai nilai bisnis (business value chain) produk harus dijamin secara halal.

Ini tentu saja semakin memperluas cakupan produk halal. Implikasinya bagi pemilik merek, edukasi konsumen akan sangat menantang. Selama ini mereka mengomunikasikan kehalalan hanya melalui logo halal dan kerap diungkapkan secara verbal oleh brand ambassador. Kini, mereka harus secara pintar mengomunikasikan bagaimana proses kehalalan produknya.

Artinya, mereka kian dituntut ”membuka” secara transparan proses kehalalan produknya. Bagi brand, ini dapat menjadi advantage. Industri makanan-minuman halal di Indonesia cukup atraktif, dan yang paling besar porsinya daripada jenis lain. Indonesia merupakan negara dengan konsumsi makanan halal terbesar di dunia, yakni senilai USD158 miliar (2014).

Berdasarkan data State of the Global Islamic Economy Report, Indonesia mengalahkan Turki (USD110 miliar), Pakistan (USD100 miliar), dan Iran (USD59 miliar). Hal ini tak mengejutkan karena Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Yuk, songsong Revolusi Pasar Muslim 2.0. mumpung masih ada waktu 2-3 tahun lagi.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0839 seconds (0.1#10.140)