Ditjen Pajak Intip Data Nasabah, Awas Kejadian 1998 Terulang
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah disarankan agar lebih berhati-hati dalam menerapkan kebijakan keterbukaan informasi perbankan untuk kepentingan perpajakan, dalam kerangka Automatic Exchange of Information (AEoI). Pasalnya jika tidak, menurut Ekonom Institute Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani potensi terulangnya tragedi 1998 bisa terjadi.
(Baca Juga: Direvisi, Saldo Nasabah yang Diintip DJP Minimal Rp1 Miliar
Dia mengungkapkan, pada 1998 setidaknya ada 13 bank ditutup dan masyarakat ramai-ramai menarik dananya dari bank tersebut. Namun ternyata, penarikan dana secara besar-besaran juga terjadi terhadap bank-bank yang tidak bangkrut, karena masyarakat takut terjadi hal serupa dan dananya tidak kembali.
"Jadi pada 1998 ketika 13 bank ditutup, terjadi rush. Behavior itu bisa terjadi pada masyarakat yang tidak tahu menahu. Orang jadi takut. Sehingga orang yang tadinya pakai bank bisa tarik uangnya," katanya di Kantor Indef, Jakarta, Kamis (8/6/2017).
(Baca Juga: Pemerintah Diminta Jangan Terlalu Lugu Intip Data Nasabah
Tak jauh berbeda dengan peristiwa tersebut, kali ini pemerintah mengeluarkan kebijakan keterbukaan informasi perbankan yang memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengetahui data rekening nasabah yang ada di perbankan. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu disosialisasikan secara matang dan masif baik kepada masyarakat ataupun kepada aparatur pajak.
Jika tidak, terang dia masyarakat akan ramai-ramai menarik dananya dari perbankan dan peristiwa seperti 1998 akan kembali terulang. Sebab, kewenangan Ditjen Pajak mengakses rekening nasabah perbankan bukan tidak mungkin akan menimbulkan kekhawatiran jika masyarakat tidak memahami betul esensi dari kebijakan tersebut.
"Sosialisasi terhadap aparat itu nomor satu. Karena selama ini antar KPP (Kantor Pelayanan Pajak) saja bisa beda policy. Dan kepada masyarakat harus sosialisasi dengan baik. Kalau mereka persepsikan saldo ini hanya dicari-cari akan bahaya. Padahal seharusnya kalau sudah bayar pajak enggak perlu takut. Namun namanya masyarakat, kalau rekening pribadi dilihat terus khawatir kan mau diapain," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengingatkan, kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 yang mengizinkan Ditjen Pajak mengakses data nasabah ini jangan sampai menjadi disinsentif bagi masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan. Sehingga, harapan pemerintah untuk mengurangi transaksi secara tunai tidak akan tercapai.
"Dan dikahawtirkan Dana Pihak Ketiga (DPK) akan turun. Karena pemilik dana besar akan mengalihkan dananya keluar, sehingga terjadi capital outflow. Hal ini akan mengganggu likuditas yang berujung pada penurunan laju kredit dan mengerek suku bunga," ungkapnya.
Tak hanya itu, tambah dia, kebijakan ini juga berpotensi menyebabkan ketimpangan likuiditas antar bank semakin tinggi. Hal ini mengingat, pasca penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) beberapa waktu lalu, likuditas bank yang tidak menjadi bank persepsi cenderung menurun. "Apalagi munculnya Perppu ini yang akan menyebabkan adanya shifting dari bank kecil ke bank besar sebagai upaya antisipasi risiko," tandasnya.
(Baca Juga: Direvisi, Saldo Nasabah yang Diintip DJP Minimal Rp1 Miliar
Dia mengungkapkan, pada 1998 setidaknya ada 13 bank ditutup dan masyarakat ramai-ramai menarik dananya dari bank tersebut. Namun ternyata, penarikan dana secara besar-besaran juga terjadi terhadap bank-bank yang tidak bangkrut, karena masyarakat takut terjadi hal serupa dan dananya tidak kembali.
"Jadi pada 1998 ketika 13 bank ditutup, terjadi rush. Behavior itu bisa terjadi pada masyarakat yang tidak tahu menahu. Orang jadi takut. Sehingga orang yang tadinya pakai bank bisa tarik uangnya," katanya di Kantor Indef, Jakarta, Kamis (8/6/2017).
(Baca Juga: Pemerintah Diminta Jangan Terlalu Lugu Intip Data Nasabah
Tak jauh berbeda dengan peristiwa tersebut, kali ini pemerintah mengeluarkan kebijakan keterbukaan informasi perbankan yang memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengetahui data rekening nasabah yang ada di perbankan. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu disosialisasikan secara matang dan masif baik kepada masyarakat ataupun kepada aparatur pajak.
Jika tidak, terang dia masyarakat akan ramai-ramai menarik dananya dari perbankan dan peristiwa seperti 1998 akan kembali terulang. Sebab, kewenangan Ditjen Pajak mengakses rekening nasabah perbankan bukan tidak mungkin akan menimbulkan kekhawatiran jika masyarakat tidak memahami betul esensi dari kebijakan tersebut.
"Sosialisasi terhadap aparat itu nomor satu. Karena selama ini antar KPP (Kantor Pelayanan Pajak) saja bisa beda policy. Dan kepada masyarakat harus sosialisasi dengan baik. Kalau mereka persepsikan saldo ini hanya dicari-cari akan bahaya. Padahal seharusnya kalau sudah bayar pajak enggak perlu takut. Namun namanya masyarakat, kalau rekening pribadi dilihat terus khawatir kan mau diapain," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengingatkan, kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 yang mengizinkan Ditjen Pajak mengakses data nasabah ini jangan sampai menjadi disinsentif bagi masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan. Sehingga, harapan pemerintah untuk mengurangi transaksi secara tunai tidak akan tercapai.
"Dan dikahawtirkan Dana Pihak Ketiga (DPK) akan turun. Karena pemilik dana besar akan mengalihkan dananya keluar, sehingga terjadi capital outflow. Hal ini akan mengganggu likuditas yang berujung pada penurunan laju kredit dan mengerek suku bunga," ungkapnya.
Tak hanya itu, tambah dia, kebijakan ini juga berpotensi menyebabkan ketimpangan likuiditas antar bank semakin tinggi. Hal ini mengingat, pasca penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) beberapa waktu lalu, likuditas bank yang tidak menjadi bank persepsi cenderung menurun. "Apalagi munculnya Perppu ini yang akan menyebabkan adanya shifting dari bank kecil ke bank besar sebagai upaya antisipasi risiko," tandasnya.
(akr)