Sepucuk Surat Sri Mulyani untuk Kemajuan Pajak di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani hari ini tengah berada di Paris, Prancis dalam rangka kunjungan kerja. Salah satu agenda mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini di Paris adalah menandatangani Multilateral Instrumen on Tax Treaty (MLI) di Kantor Pusat OECD Paris, Perancis.
Setelah menandatangani perjanjian tersebut, Sri Mulyani pun mengirimkan surat untuk Indonesia dengan tulisan tangannya sendiri. Surat tersebut berisi tentang penandatanganan MLI, yang menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengamankan penerimaan pajak.
Dalam surat tersebut, mantan Menko bidang Perekonomian kembali menegaskan mengenai esensi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, serta terkait keputusan Indonesia turut serta dalam kerja sama pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI).
Berikut surat Sri Mulyani yang dikutip SINDOnews di Jakarta, Kamis (8/6/2017) dari akun Facebook Sri Mulyani Indrawati:
Paris, 7 Juni 2017
Hari ini Indonesia menandatangani Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) di kantor pusat OECD Paris, Perancis. MLI merupakan modifikasi pengaturan Tax Treaty secara serentak, sinkron-simultan dan efisien, tanpa melalui proses negosiasi bilateral. Dengan 68 negara yang ikut menandatangani hari dan akan segera disusul 30 negara lain, maka Indonesia dapat mengamankan penerimaan pajak dengan mencegah penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan tax treaty, penghindaran yang dilakukan Bentuk Usaha Tetap dengan memecah fungsi organisasi, memecah waktu kontrak, rekayasa kontrak, rekayasa kepemilikan yang bertujuan menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.
MLI merupakan upaya bersama secara global untuk mencegah praktik-praktik yang dilakukan wajib pajak/badan usaha untuk mengalihkan keuntungan dan menggerus basis pajak suatu negara atau disebut sebagai "base erosion and profit shifting".
Kita harus terus menerus berjuang untuk memerangi penghindaran dan pengalihan pajak oleh pembayar pajak Indonesia, termasuk melalui pengumpulan informasi perpajakan, baik yang ada di Indonesia maupun yang ditempatkan dan disembunyikan di luar Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia ikut dalam kesepakatan pertukaran informasi untuk keperluan perpajakan atau automatic exchange of information. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2017 yang dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 70 tahun 2017.
Upaya-upaya tersebut dilakukan karena situasi yang genting dan mendesak agar Indonesia tidak dikategorikan sebagai negara yang tidak patuh kesepakatan global dan terancam masuk dalam daftar hitam (black list) yang tidak saja akan merugikan Indonesia dengan melemahkan dan menggerus basis pajak kita sendiri. Tanpa kerjasama internasional, para wajib pajak kita terutama 1%-5% terkaya dan badan usaha akan mudah menghindari kewajiban membayar pajak.
Bila Indonesia tidak mampu mengumpulkan pajak, terutama dari kelompok terkaya dan masyarakat yg mampu, maka kita tidak akan mampu membangun sekolah, madrasah, dan pendidikan yg baik, tidak mampu membayar anggaran kesehatan yang cukup, tidak mampu membayar guru, polisi, tentara, hakim, tidak mampu membantu petani, nelayan, dan usaha kecil, dan Indonesia tidak mampu membangun infrastruktur, air bersih, jalan raya, listrik, pelabuhan, dll.
Tanpa pajak kita tidak mampu menjaga keutuhan dan kemerdekaan kita, dan tidak mungkin menciptakan Indonesia yang maju, adil dan makmur serta bermartabat.
Setelah menandatangani perjanjian tersebut, Sri Mulyani pun mengirimkan surat untuk Indonesia dengan tulisan tangannya sendiri. Surat tersebut berisi tentang penandatanganan MLI, yang menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengamankan penerimaan pajak.
Dalam surat tersebut, mantan Menko bidang Perekonomian kembali menegaskan mengenai esensi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, serta terkait keputusan Indonesia turut serta dalam kerja sama pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI).
Berikut surat Sri Mulyani yang dikutip SINDOnews di Jakarta, Kamis (8/6/2017) dari akun Facebook Sri Mulyani Indrawati:
Paris, 7 Juni 2017
Hari ini Indonesia menandatangani Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) di kantor pusat OECD Paris, Perancis. MLI merupakan modifikasi pengaturan Tax Treaty secara serentak, sinkron-simultan dan efisien, tanpa melalui proses negosiasi bilateral. Dengan 68 negara yang ikut menandatangani hari dan akan segera disusul 30 negara lain, maka Indonesia dapat mengamankan penerimaan pajak dengan mencegah penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan tax treaty, penghindaran yang dilakukan Bentuk Usaha Tetap dengan memecah fungsi organisasi, memecah waktu kontrak, rekayasa kontrak, rekayasa kepemilikan yang bertujuan menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.
MLI merupakan upaya bersama secara global untuk mencegah praktik-praktik yang dilakukan wajib pajak/badan usaha untuk mengalihkan keuntungan dan menggerus basis pajak suatu negara atau disebut sebagai "base erosion and profit shifting".
Kita harus terus menerus berjuang untuk memerangi penghindaran dan pengalihan pajak oleh pembayar pajak Indonesia, termasuk melalui pengumpulan informasi perpajakan, baik yang ada di Indonesia maupun yang ditempatkan dan disembunyikan di luar Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia ikut dalam kesepakatan pertukaran informasi untuk keperluan perpajakan atau automatic exchange of information. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2017 yang dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 70 tahun 2017.
Upaya-upaya tersebut dilakukan karena situasi yang genting dan mendesak agar Indonesia tidak dikategorikan sebagai negara yang tidak patuh kesepakatan global dan terancam masuk dalam daftar hitam (black list) yang tidak saja akan merugikan Indonesia dengan melemahkan dan menggerus basis pajak kita sendiri. Tanpa kerjasama internasional, para wajib pajak kita terutama 1%-5% terkaya dan badan usaha akan mudah menghindari kewajiban membayar pajak.
Bila Indonesia tidak mampu mengumpulkan pajak, terutama dari kelompok terkaya dan masyarakat yg mampu, maka kita tidak akan mampu membangun sekolah, madrasah, dan pendidikan yg baik, tidak mampu membayar anggaran kesehatan yang cukup, tidak mampu membayar guru, polisi, tentara, hakim, tidak mampu membantu petani, nelayan, dan usaha kecil, dan Indonesia tidak mampu membangun infrastruktur, air bersih, jalan raya, listrik, pelabuhan, dll.
Tanpa pajak kita tidak mampu menjaga keutuhan dan kemerdekaan kita, dan tidak mungkin menciptakan Indonesia yang maju, adil dan makmur serta bermartabat.
(ven)