AEPI: Keadaan Ekonomi Indonesia 2017 Memburuk
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mencatat keadaan ekonomi Indonesia pada tahun ini memburuk. Hal tersebut disampaikan Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng.
Salamuddin mengemukakan kenaikan tarif dasar listrik dalam setengah tahun terakhir meningkatkan inflasi menjadi 4,9% dari rata-rata tahunan 3,2%.
Kemudian, sektor perbankan Indonesia memburuk ditandai dengan meningkatnya non-performing loans (NPL) yang sudah berada di atas batas atas yang ditetapkan dalam Basel III threshold
Defisit transaksi berjalan meningkat menjadi 1% GDP lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal IV tahun 2016 sebesar 0,9% GDP. Untuk tahun 2017 defisit transaksi berjalan akan meningkat pada posisi 1,8% GDP.
Salamuddin menyebutkan terjadi risiko keuangan disebabkan pemotongan anggaran 2016 yang menimbulkan ketidakpastian karena penganggaran APBN yang tidak realistik.
"Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 akan meningkat dari 2,4% GDP pada 2016 menjadi 2,6% GDP pada 2017. Itupun dengan asumsi penerimaan pajak tercapai. Jika tidak maka defisit bisa berada di atas 3%," paparnya.
Sampai Mei 2017, lanjut dia, pemerintah telah mengambil 53% dari rencana utang untuk mengatasi defisit, penurunan penerimaan pendapatan negara, dan utang jatuh tempo.
Penjualan ritel yang merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi menurun tajam menjadi 4,6% sampai dengan Mei dibandingkan rata-rata pertumbuhan kuartal II 2016 sebesar 9,5%.
"Menurut Bank Dunia, tahapan pemilu yang akan dimulai pada 2018 akan menghambat reformasi struktural, menimbulkan ketidakpastian dan akan menjadi pertimbangan utama bagi investor asing," jelas Salamuddin.
Salamuddin mengemukakan kenaikan tarif dasar listrik dalam setengah tahun terakhir meningkatkan inflasi menjadi 4,9% dari rata-rata tahunan 3,2%.
Kemudian, sektor perbankan Indonesia memburuk ditandai dengan meningkatnya non-performing loans (NPL) yang sudah berada di atas batas atas yang ditetapkan dalam Basel III threshold
Defisit transaksi berjalan meningkat menjadi 1% GDP lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal IV tahun 2016 sebesar 0,9% GDP. Untuk tahun 2017 defisit transaksi berjalan akan meningkat pada posisi 1,8% GDP.
Salamuddin menyebutkan terjadi risiko keuangan disebabkan pemotongan anggaran 2016 yang menimbulkan ketidakpastian karena penganggaran APBN yang tidak realistik.
"Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 akan meningkat dari 2,4% GDP pada 2016 menjadi 2,6% GDP pada 2017. Itupun dengan asumsi penerimaan pajak tercapai. Jika tidak maka defisit bisa berada di atas 3%," paparnya.
Sampai Mei 2017, lanjut dia, pemerintah telah mengambil 53% dari rencana utang untuk mengatasi defisit, penurunan penerimaan pendapatan negara, dan utang jatuh tempo.
Penjualan ritel yang merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi menurun tajam menjadi 4,6% sampai dengan Mei dibandingkan rata-rata pertumbuhan kuartal II 2016 sebesar 9,5%.
"Menurut Bank Dunia, tahapan pemilu yang akan dimulai pada 2018 akan menghambat reformasi struktural, menimbulkan ketidakpastian dan akan menjadi pertimbangan utama bagi investor asing," jelas Salamuddin.
(dmd)