Ketidakpastian Global Ancam Ekonomi Nasional

Jum'at, 30 Juni 2017 - 11:04 WIB
Ketidakpastian Global...
Ketidakpastian Global Ancam Ekonomi Nasional
A A A
JAKARTA - Kondisi ketidakpastian ekonomi global menurut Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy memberikan dampak ancaman stagnan kepada ekonomi nasional tahun ini. Hal ini diperparah oleh kebijakan ekonomi yang pragmatis oleh pemerintah sehingga membuat Indonesia tidak bisa lepas dari penyakit lama yakni seputar belanja anggaran dan serapan anggaran

Hal ini bisa dilihat dalam Indeks Keyakinan Konsumen dunia yang sangat rentan. Dampak kondisi internasional terasa dalam penyerapan anggaran pemerintah Indonesia yang rendah. Menurutnya pemerintah Indonesia masih sibuk hanya seputar belanja anggaran dan serapan anggaran, meskipun habis-habisan menggenjot proyek infrastruktur.

“APBN memang digenjot, tapi masalah lain muncul soal efektivitas serapan dan kondisi stabilitas politik hukum. Prediksi saya untuk pertumbuhan 2017 tidak akan melewati di atas 5%. Bahkan di 2018 juga sekitar 5% (+/-0,2%) yang artinya bisa 4,9% atau 5,1%. Situasinya betul-betul penuh ketidakpastian. Karena melihat pertarungan Amerika Serikat versus China, dan AS lawan Rusia,” ujar Ichsanuddin saat dihubungi di Jakarta.

Dia menambahkan kebijakan moneter pemerintah dan kredit perbankan sejauh ini tidak ada yang pro rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas. Belanja modal pemerintah dalam infrastruktur itu padat modal. Terlihat dari proyek infrastruktur dikerjakan dengan teknologi tinggi, sehingga serapan tenaga kerja tidak ada yang berubah. Sedangkan kredit perbankan mayoritas ke sektor modern kelas atas tapi kredit untuk masyarakat menengah bawah tidak digarap.

“Akhirnya secara moneter dan kredit bank tidak pro masyarakat kecil yang mayoritas. Gini rasio sebenarnya tidak menurun 0,3 tapi tetap +0,4. Kekayaan hanya terjadi di lingkungan atas dan tidak menetes ke bawah. Pemerintah terlalu pragmatis dalam mencari solusi, itu tidak akan membuat kita keluar dari krisis dan ketidakpastian. Kita harus berani keluar dari kotak pandora,” ujarnya.

Sementara itu Chief Economist di SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi menerangkan, tantangan terbesar ekonomi Indonesia ialah penurunan harga komoditas dunia sejak 2008. Dampaknya ialah menekan ekspor energi baik migas dan non migas, kemudian investasi sektor pertambangan, dan menekan daya beli masyarakat yang sangat tergantung pada sektor migas.

“Sebenarnya keliru kalau disebut stagnan. Semua itu tetap menjadikan perekonomian nasional bisa tumbuh 5% - 5,2% tahun 2017 ini. Angka pertumbuhan 5%+ ini cukup baik di tengah masih tertekannya harga komoditas, walau harga komoditas energi kini lebih tinggi dari tahun lalu,” jelas Eric.

Sedangkan menurutnya perekonomian nasional untuk 2018 bisa tumbuh di level 5,3% - 5,5% karena ada faktor belanja jelang pemilu 2019. Sementara prediksi inflasi nasional di akhir tahun diprediksi tidak akan mencapai 4,9% atau hanya 4%. “Saya tidak tahu bagaimana AEPI mendapatkan prediksi data inflasi bisa 4,9% hingga akhir tahun. Sementara data neraca pembayaran juga dipengaruhi tren musiman sehingga tidak terlalu tepat menyebut ekonomi nasional akan seburuk itu,” ujarnya.

Sebelumnya pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng Salamuddin Daeng menyodorkan laporan World Bank Juni 2017 tentang memburuknya ekonomi Indonesia di 2017. Dia mencantumkan kenaikan tarif dasar listrik dalam setengah tahun terakhir meningkatkan inflasi menjadi 4,9% dari rata-rata tahunan 3.2%.

Sektor perbankan Indonesia memburuk yang ditandai dengan meningkatnya non-performing loans (NPL) perbankan yang sudah berada di atas batas atas yang ditetapkan dalam Basel III threshold. Menurut Bank Dunia, tahapan pemilu yang akan dimulai pada tahun 2018 akan menghambat reformasi struktural, menimbulkan ketidakpastian dan akan menjadi pertimbangan utama bagi investor asing.

Defisit transaski berjalan meningkat menjadi 1% GDP lebih tinggi dibandingkan dengan kwartal 4 tahun 2016 sebesar 0,9% GDP. Untuk tahun 2017 defisit transaksi berjalan akan meningkat pada posisi 1,8% GDP.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9944 seconds (0.1#10.140)