Ketidakakuratan Informasi Sebabkan Industri Tembakau Kian Terpuruk
A
A
A
JAKARTA - Penyampaian informasi yang tidak akurat terkait industri hasil tembakau dapat menciptakan kegaduhan yang tidak perlu di kalangan para pemangku kepentingan terkait.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto, menyikapi komentar pihak-pihak yang mengatakan bahwa kenaikan cukai tidak berdampak pada tenaga kerja serta petani tembakau dan cengih. Dia meminta informasi industri hasil tembakau disampaikan secara akurat.
"Ketika industri tertekan, otomatis seluruh mata rantai dari hulu sampai hilir akan menjadi korban, termasuk tenaga kerja," kata Sudarto dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Sudarto yang mewakili kalangan buruh mengatakan, beban yang berlebihan juga memberikan dampak langsung kepada pekerja. Anggota FSP RTMM berjumlah sekitar 340 ribu orang. Sepanjang 2010-2016, jumlah anggotanya berkurang sebanyak 32.729 orang akibat PHK. Untuk itu, dia meminta pemerintah sangat memperhatikan aspek-aspek lain yang bisa menggerus industri.
"Dampaknya sangat terasa pada kesejahteraan buruh dan bahkan PHK para buruh rokok, itu baru anggota FSP RTMM yang tercatat di data kami, kalau di luar itu lebih banyak," katanya.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigeret Indonesia (MPS-I) Djoko Wahyudi menambahkan data dan fakta di lapangan sering diinformasikan salah. Dia memaparkan situasi industri hasil tembakau sudah memiliki beban yang cukup besar seperti cukai dan penurunan produksi sebesar 2% pada 2016.
"Saya sudah menulis surat kepada Menteri Keuangan, supaya lebih memperhatikan para pelaku industri hasil tembakau, khususnya yang memproduksi sigaret kretek tangan. Karena sekarang kami lebih sering didiskreditkan, padahal mereka tidak melihat dan paham akan efek yang ditimbulkan jika kami tutup," katanya.
Pada tahun 2017, Kementerian Keuangan memprediksi akan terjadi penurunan produksi rokok lagi sampai dengan 2,3% atau lebih besar daripada penurunan 2016.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto, menyikapi komentar pihak-pihak yang mengatakan bahwa kenaikan cukai tidak berdampak pada tenaga kerja serta petani tembakau dan cengih. Dia meminta informasi industri hasil tembakau disampaikan secara akurat.
"Ketika industri tertekan, otomatis seluruh mata rantai dari hulu sampai hilir akan menjadi korban, termasuk tenaga kerja," kata Sudarto dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Sudarto yang mewakili kalangan buruh mengatakan, beban yang berlebihan juga memberikan dampak langsung kepada pekerja. Anggota FSP RTMM berjumlah sekitar 340 ribu orang. Sepanjang 2010-2016, jumlah anggotanya berkurang sebanyak 32.729 orang akibat PHK. Untuk itu, dia meminta pemerintah sangat memperhatikan aspek-aspek lain yang bisa menggerus industri.
"Dampaknya sangat terasa pada kesejahteraan buruh dan bahkan PHK para buruh rokok, itu baru anggota FSP RTMM yang tercatat di data kami, kalau di luar itu lebih banyak," katanya.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigeret Indonesia (MPS-I) Djoko Wahyudi menambahkan data dan fakta di lapangan sering diinformasikan salah. Dia memaparkan situasi industri hasil tembakau sudah memiliki beban yang cukup besar seperti cukai dan penurunan produksi sebesar 2% pada 2016.
"Saya sudah menulis surat kepada Menteri Keuangan, supaya lebih memperhatikan para pelaku industri hasil tembakau, khususnya yang memproduksi sigaret kretek tangan. Karena sekarang kami lebih sering didiskreditkan, padahal mereka tidak melihat dan paham akan efek yang ditimbulkan jika kami tutup," katanya.
Pada tahun 2017, Kementerian Keuangan memprediksi akan terjadi penurunan produksi rokok lagi sampai dengan 2,3% atau lebih besar daripada penurunan 2016.
(ven)