Meski Tegang, China Tingkatkan Hubungan Ekonomi di Vietnam
A
A
A
HANOI - Masalah klaim maritim di Laut China Selatan, telah membuat hubungan Republik Rakyat China dengan Vietnam memanas. Pertengahan Juni lalu, ketegangan menyelimuti Beijing dengan Hanoi. China memaksa Vietnam menangguhkan pengeboran minyak di blok yang diklaim kedua negara di Laut China Selatan.
Vietnam sendiri merupakan lawan regional paling vokal dari klaim maritim China di Asia Tenggara. Hal ini sempat menarik kemarahan Beijing. Apalagi Vietnam memiliki jaringan hubungan yang baik dengan musuh lamanya Amerika Serikat, Jepang dan India yang membuat China curiga.
Mengutip dari Reuters, Jumat (1/9/2017), soal pengeboran minyak di Laut China Selatan memang sangat sensitif. China sendiri pernah melakukan serangkaian pengeboran minyak di wilayah yang disengketakan pada 2014. Hal yang memicu kerusuhan anti-China di Vietnam, dimana banyak pabrik-pabrik China dibakar, yang akhirnya China melepas rig tersebut.
Ketegangan kedua negara sejatinya telah terjadi sejak 1979, memperebutkan wilayah perbatasan dan klaim atas Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut China Selatan. Pada 17 Februari 1979, China mengirimkan sekitar 200 ribu pasukan menyerang Vietnam, namun tidak sampai sebulan, tepatnya 16 Maret 1979, Vietnam memukul mundur China sehingga mereka harus menarik pasukannya.
Sesudah perang, rakyat Vietnam masih memendam rasa curiga terhadap Pemerintah China hingga sekarang. Terlebih soal klaim wilayah maritim. Untuk menyingkirkan ketegangan, China terus meningkatkan hubungan ekonomi dengan Vietnam.
Merajut hubungan, investasi China ke Vietnam terus meningkat dengan cepat, seperti perdagangan dan juga turisme. Data kepabeanan Vietnam menyebut ekspor Vietnam ke China melonjak 43% menjadi USD13 miliar pada semester I 2017. Sedangkan impor mencapai 16%.
Sementara itu, kedatangan turis China melonjak 60% menjadi hampir 1,9 juta pada paruh pertama tahun 2017 alias sepertiga dari turis asing. “Lebih dari separuh turis di Vietnam adalah orang China,” kata Nguyen Van Phu, 33 tahun, seorang pemandu wisata di Teluk Ha Long Vietnam.
Pemerintah Vietnam sendiri menyambut baik dorongan dari pariwisata China, karena berusaha mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 6,7%. Namun beberapa pihak tetap mewaspadai pengaruh China yang semakin meningkat di kawasan ini. "Kita harus berhati-hati tapi pada saat bersamaan kita harus memanfaatkannya," kata Presiden Asosiasi Penanaman Modal Asing Vietnam, Nguyen Mai.
Sebelumnya, investor asing langsung terbesar di Vietnam adalah Korea Selatan dan Jepang, terutama di sektor elektronik. Lebih dari 100.000 orang Vietnam bekerja untuk pabrik Samsung di Vietnam. Sementara itu investasi langsung Amerika Serikat hanya 2% dari total investasi asing tahun ini. Dan investasi China tumbuh dua kali lipat alias menjadi 8% dari total investasi asing langsung, kebanyakan untuk panel surya dan pabrik plastik.
China mengekspor lebih banyak barang ke Vietnam dibanding negara lain di Asia Tenggara, mengirim tekstil untuk dibuat menjadi kaos, sepatu kets, komponen elektronik, termasuk telepon seluler. Dan perusahaan China banyak membuat pabrik di Vietnam dengan upah hanya sepertiga dari jumlah di wilayah China.
Terkait besarnya jalinan ekonomi China di Vietnam, peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Vietnam, Nguyen Khac Giang mengatakan ketergantungan ekonomi yang meningkat dari China membuat Vietnam sulit memutuskan untuk menghadapi China di Laut China Selatan.
Adapun pengusaha China, Chief Executive Officer Lawsgroup, Bosco Law menolak berkomentar mengenai tensi dan risiko terbuka soal ketegangan antara Vietnam dan China. Ia lebih suka berbicara mengenai perdagangan dan investasi China yang melonjak di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir karena perusahaan mencari basis baru untuk manufaktur dan konsumen untuk produk mereka.
Law mengatakan pihaknya berinvestasi di Vietnam karena memiliki keuntungan strategis dan geografis. “China dekat dengan Vietnam, dengan demikian menurunkan biaya material, transportasi dan waktu produksi relatif lebih singkat,” katanya. Perusahaan yang berbasis di Hong Kong ini, membuat pakaian untuk merek seperti Gap, yang operasi globalnya mencakup sejumlah gerai di China.
Selain manufaktur, China juga banyak berinvestasi di bidang infrastruktur dan berencana meningkatkan dana pembangunan ke Asia Tenggara sebagai bagian dari insiatif Belt and Road yang lebih luas. Di luar Vietnam, China juga meningkatkan investasi di Kamboja dan Laos. Bahkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte menjadi lunak mengenai perselisihan maritimnya dengan China, seiring meningkatnya investasi dari Negeri Tirai Bambu.
Vietnam sendiri merupakan lawan regional paling vokal dari klaim maritim China di Asia Tenggara. Hal ini sempat menarik kemarahan Beijing. Apalagi Vietnam memiliki jaringan hubungan yang baik dengan musuh lamanya Amerika Serikat, Jepang dan India yang membuat China curiga.
Mengutip dari Reuters, Jumat (1/9/2017), soal pengeboran minyak di Laut China Selatan memang sangat sensitif. China sendiri pernah melakukan serangkaian pengeboran minyak di wilayah yang disengketakan pada 2014. Hal yang memicu kerusuhan anti-China di Vietnam, dimana banyak pabrik-pabrik China dibakar, yang akhirnya China melepas rig tersebut.
Ketegangan kedua negara sejatinya telah terjadi sejak 1979, memperebutkan wilayah perbatasan dan klaim atas Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut China Selatan. Pada 17 Februari 1979, China mengirimkan sekitar 200 ribu pasukan menyerang Vietnam, namun tidak sampai sebulan, tepatnya 16 Maret 1979, Vietnam memukul mundur China sehingga mereka harus menarik pasukannya.
Sesudah perang, rakyat Vietnam masih memendam rasa curiga terhadap Pemerintah China hingga sekarang. Terlebih soal klaim wilayah maritim. Untuk menyingkirkan ketegangan, China terus meningkatkan hubungan ekonomi dengan Vietnam.
Merajut hubungan, investasi China ke Vietnam terus meningkat dengan cepat, seperti perdagangan dan juga turisme. Data kepabeanan Vietnam menyebut ekspor Vietnam ke China melonjak 43% menjadi USD13 miliar pada semester I 2017. Sedangkan impor mencapai 16%.
Sementara itu, kedatangan turis China melonjak 60% menjadi hampir 1,9 juta pada paruh pertama tahun 2017 alias sepertiga dari turis asing. “Lebih dari separuh turis di Vietnam adalah orang China,” kata Nguyen Van Phu, 33 tahun, seorang pemandu wisata di Teluk Ha Long Vietnam.
Pemerintah Vietnam sendiri menyambut baik dorongan dari pariwisata China, karena berusaha mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 6,7%. Namun beberapa pihak tetap mewaspadai pengaruh China yang semakin meningkat di kawasan ini. "Kita harus berhati-hati tapi pada saat bersamaan kita harus memanfaatkannya," kata Presiden Asosiasi Penanaman Modal Asing Vietnam, Nguyen Mai.
Sebelumnya, investor asing langsung terbesar di Vietnam adalah Korea Selatan dan Jepang, terutama di sektor elektronik. Lebih dari 100.000 orang Vietnam bekerja untuk pabrik Samsung di Vietnam. Sementara itu investasi langsung Amerika Serikat hanya 2% dari total investasi asing tahun ini. Dan investasi China tumbuh dua kali lipat alias menjadi 8% dari total investasi asing langsung, kebanyakan untuk panel surya dan pabrik plastik.
China mengekspor lebih banyak barang ke Vietnam dibanding negara lain di Asia Tenggara, mengirim tekstil untuk dibuat menjadi kaos, sepatu kets, komponen elektronik, termasuk telepon seluler. Dan perusahaan China banyak membuat pabrik di Vietnam dengan upah hanya sepertiga dari jumlah di wilayah China.
Terkait besarnya jalinan ekonomi China di Vietnam, peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Vietnam, Nguyen Khac Giang mengatakan ketergantungan ekonomi yang meningkat dari China membuat Vietnam sulit memutuskan untuk menghadapi China di Laut China Selatan.
Adapun pengusaha China, Chief Executive Officer Lawsgroup, Bosco Law menolak berkomentar mengenai tensi dan risiko terbuka soal ketegangan antara Vietnam dan China. Ia lebih suka berbicara mengenai perdagangan dan investasi China yang melonjak di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir karena perusahaan mencari basis baru untuk manufaktur dan konsumen untuk produk mereka.
Law mengatakan pihaknya berinvestasi di Vietnam karena memiliki keuntungan strategis dan geografis. “China dekat dengan Vietnam, dengan demikian menurunkan biaya material, transportasi dan waktu produksi relatif lebih singkat,” katanya. Perusahaan yang berbasis di Hong Kong ini, membuat pakaian untuk merek seperti Gap, yang operasi globalnya mencakup sejumlah gerai di China.
Selain manufaktur, China juga banyak berinvestasi di bidang infrastruktur dan berencana meningkatkan dana pembangunan ke Asia Tenggara sebagai bagian dari insiatif Belt and Road yang lebih luas. Di luar Vietnam, China juga meningkatkan investasi di Kamboja dan Laos. Bahkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte menjadi lunak mengenai perselisihan maritimnya dengan China, seiring meningkatnya investasi dari Negeri Tirai Bambu.
(ven)