Tanaman Transgenik Dorong Ekonomi di 26 Negara
A
A
A
JAKARTA - Tanaman transgenik yang dihasilkan dari rekayasa genetika diklaim telah mengurangi dampak lingkungan pertanian secara signifikan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di 26 negara di mana teknologi ini diadopsi. Teknologi ini juga dinilai turut membantu mengurangi angka kemiskinan 16,5 petani kecil di negara-negara berkembang.
"Selama 20 tahun terakhir, para petani telah diberikan akses dan pilihan menanam tanaman biotek atau tanaman hasil rekayasa genetika. Mereka secara konsisten mengadopsi teknologi ini sehingga memberikan kontribusi bagi suplai makanan yang lebih berkelanjutan dan lingkungan yang lebih baik di mana mereka tinggal," ujar Direktur PG Economics, Graham Brookes di Jakarta, Senin (11/9/2019).
Graham menegaskan tanaman transgenik memungkinkan petani untuk meningkatkan hasil panen tanpa menambah luas lahan. Menurutnya, teknologi tahan serangga yang digunakan dalam kapas dan jagung telah secara konsisten meningkatkan hasil panen dan mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh hama.
Dari 1996 hingga 2015 di semua pengguna teknologi ini, hasil panen meningkat rata-rata 13,1% untuk jagung dan 15% untuk kapas. "Petani yang menanam kedelai di Amerika Selatan mengalami kenaikan rata-rata9,6%," kata Graham.
Dari sisi lingkungan, lanjut Graham, sejak 1996 hingga 2015 penggunaan teknologi ini mengurangi penggunaan pestisida sebesar 619 juta kilogram (kg). "Ini lebih dari total produk pestisida yang digunakan di China setiap tahunnya," katanya.
Bioteknologi pangan, termasuk yang menghasilkan tanaman transgenik, berpotensi menjadi solusi bagi Indonesia mewujudkan kedaulatan pangan. Dengan mengadopsi teknologi ini berpotensi bisa meningkatkan produksi, tanpa menambah luas lahan.
Kendati demikian, pemerintah hingga saat ini masih bersikap hati-hati untuk menerima teknologi ini. Pengamat pertanian Bustanul Arifin menduga, sikap pemerintah tersebut didasari pada kegagalan penerapan teknologi hibrida pada benih padi.
"Kita pernah punya kegagalan di teknologi hibrida padi, walaupun jagung berhasil. Tapi kegagalan di padi itu membuat pemerintah gamang untuk menerapkan teknologi transgenik ini," kata Bustanul.
Menurutnya, pemerintah belum siap menerima kegagalan sehingga tidak berani ambil resiko. Sehingga pemerintah hingga kini bersikap hati-hati dalam menerapkan teknologi transgenik ini.
"Penyebab lainnya, perusahaan benih nasional maupun BUMN belum siap bersaing dengan perusahaan benih multinasional. Ini dugaan saya kenapa hingga saat ini pemerintah masih takut menerapkan teknologi ini," katanya.
Padahal untuk meningkatkan produktivitas, harus ada terobosan penggunaan teknologi. Ini mengingat produktivitas tanaman padi saat ini sudah tidak bisa ditingkatkan lagi. "Produktivitas tanaman di sentra tanaman padi sudah tidak bisa ditingkatkan. Oleh karena itu perlu adanya terobosan penggunaan teknologi baru. Bisa jadi teknologi transgenik ini bisa jadi jawaban," beber Bustanul.
"Selama 20 tahun terakhir, para petani telah diberikan akses dan pilihan menanam tanaman biotek atau tanaman hasil rekayasa genetika. Mereka secara konsisten mengadopsi teknologi ini sehingga memberikan kontribusi bagi suplai makanan yang lebih berkelanjutan dan lingkungan yang lebih baik di mana mereka tinggal," ujar Direktur PG Economics, Graham Brookes di Jakarta, Senin (11/9/2019).
Graham menegaskan tanaman transgenik memungkinkan petani untuk meningkatkan hasil panen tanpa menambah luas lahan. Menurutnya, teknologi tahan serangga yang digunakan dalam kapas dan jagung telah secara konsisten meningkatkan hasil panen dan mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh hama.
Dari 1996 hingga 2015 di semua pengguna teknologi ini, hasil panen meningkat rata-rata 13,1% untuk jagung dan 15% untuk kapas. "Petani yang menanam kedelai di Amerika Selatan mengalami kenaikan rata-rata9,6%," kata Graham.
Dari sisi lingkungan, lanjut Graham, sejak 1996 hingga 2015 penggunaan teknologi ini mengurangi penggunaan pestisida sebesar 619 juta kilogram (kg). "Ini lebih dari total produk pestisida yang digunakan di China setiap tahunnya," katanya.
Bioteknologi pangan, termasuk yang menghasilkan tanaman transgenik, berpotensi menjadi solusi bagi Indonesia mewujudkan kedaulatan pangan. Dengan mengadopsi teknologi ini berpotensi bisa meningkatkan produksi, tanpa menambah luas lahan.
Kendati demikian, pemerintah hingga saat ini masih bersikap hati-hati untuk menerima teknologi ini. Pengamat pertanian Bustanul Arifin menduga, sikap pemerintah tersebut didasari pada kegagalan penerapan teknologi hibrida pada benih padi.
"Kita pernah punya kegagalan di teknologi hibrida padi, walaupun jagung berhasil. Tapi kegagalan di padi itu membuat pemerintah gamang untuk menerapkan teknologi transgenik ini," kata Bustanul.
Menurutnya, pemerintah belum siap menerima kegagalan sehingga tidak berani ambil resiko. Sehingga pemerintah hingga kini bersikap hati-hati dalam menerapkan teknologi transgenik ini.
"Penyebab lainnya, perusahaan benih nasional maupun BUMN belum siap bersaing dengan perusahaan benih multinasional. Ini dugaan saya kenapa hingga saat ini pemerintah masih takut menerapkan teknologi ini," katanya.
Padahal untuk meningkatkan produktivitas, harus ada terobosan penggunaan teknologi. Ini mengingat produktivitas tanaman padi saat ini sudah tidak bisa ditingkatkan lagi. "Produktivitas tanaman di sentra tanaman padi sudah tidak bisa ditingkatkan. Oleh karena itu perlu adanya terobosan penggunaan teknologi baru. Bisa jadi teknologi transgenik ini bisa jadi jawaban," beber Bustanul.
(ven)