Divestasi 51% Saham Freeport di Antara Konsorsium dan Holding
A
A
A
JAKARTA - Divestasi PT Freeport Indonesia sebesar 51% saham sampai saat ini masih menunggu kepastian realisasi. Namun, wacana proses pengamblialihan sudah banyak didiskusikan.
Wacana yang terus didiskusikan adalah bentuk lembaga pemerintah yang nantinya menjadi pengelola Freeport. Mengerucut bentuk konsorsium BUMN atau membentuk holding BUMN baru.
Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi menyarankan, pemerintah bentuk konsorsium. Korsorsium terdiri dari beberapa BUMN yang bergerak dalam pertambangan.
Hal tersebut dikarenakan konsorsium dinilai lebih pas di tambang Grasberg, Papua yang padat modal dan risiko serta teknis tinggi. "Konsorsium itu lebih baik yang mengambil alih Freeport bila memang divestasi 51% direalisasikan," katanya di Jakarta, kemarin.
Peneliti Publish What You Pay Indobesia, Maryati Abdullah menuturkan, dengan konsorsium bebannya bisa dibagi dan secara politik bisa mengakomodasi kepentingan swasta nasional tanpa melalui tahapan.
"Sebab, kalau dalam Permen dan peraturan pemerintah itu kepentingan negara dulu baru pemerintah daerah dan swasta nasional," ujar dia.
Maryati menambahkan, kalau sekaligus untuk konsorsium dan langsung dibagi-bagi maka bisa jadi penurunan dalam konteks politik dan pasti akan terjadi perdebatan. Seperti kasus divestasi Batu Hijau bahwa pemerintah berfungsi sebagai pembina dan pengendali dan cukup menarik.
"Kedua, konsorsium harus satu suara dalam konteks pengendalian. Sebab, kalau konsorsium beda-beda suara akan sama saja terjadi polemik," jelasnya.
Hanya saja, lanjut Maryati, idealnya dengan cara holding. Namun, saat ini masih ada problem regulasi dan politik di DPR RI, apalagi saat ini kesehatan BUMN juga tidak semuanya clear.
"Saya masih ragu kalau BUMN sebab pasti akan banyak campur tangan politik dan sebagainya. Sebagaimana saat ini banyak BUMN yang masih merugi juga menjadi problem tersendiri dan masalah teknis di kemudian hari," ujar dia.
Wacana yang terus didiskusikan adalah bentuk lembaga pemerintah yang nantinya menjadi pengelola Freeport. Mengerucut bentuk konsorsium BUMN atau membentuk holding BUMN baru.
Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi menyarankan, pemerintah bentuk konsorsium. Korsorsium terdiri dari beberapa BUMN yang bergerak dalam pertambangan.
Hal tersebut dikarenakan konsorsium dinilai lebih pas di tambang Grasberg, Papua yang padat modal dan risiko serta teknis tinggi. "Konsorsium itu lebih baik yang mengambil alih Freeport bila memang divestasi 51% direalisasikan," katanya di Jakarta, kemarin.
Peneliti Publish What You Pay Indobesia, Maryati Abdullah menuturkan, dengan konsorsium bebannya bisa dibagi dan secara politik bisa mengakomodasi kepentingan swasta nasional tanpa melalui tahapan.
"Sebab, kalau dalam Permen dan peraturan pemerintah itu kepentingan negara dulu baru pemerintah daerah dan swasta nasional," ujar dia.
Maryati menambahkan, kalau sekaligus untuk konsorsium dan langsung dibagi-bagi maka bisa jadi penurunan dalam konteks politik dan pasti akan terjadi perdebatan. Seperti kasus divestasi Batu Hijau bahwa pemerintah berfungsi sebagai pembina dan pengendali dan cukup menarik.
"Kedua, konsorsium harus satu suara dalam konteks pengendalian. Sebab, kalau konsorsium beda-beda suara akan sama saja terjadi polemik," jelasnya.
Hanya saja, lanjut Maryati, idealnya dengan cara holding. Namun, saat ini masih ada problem regulasi dan politik di DPR RI, apalagi saat ini kesehatan BUMN juga tidak semuanya clear.
"Saya masih ragu kalau BUMN sebab pasti akan banyak campur tangan politik dan sebagainya. Sebagaimana saat ini banyak BUMN yang masih merugi juga menjadi problem tersendiri dan masalah teknis di kemudian hari," ujar dia.
(izz)