Konsumen Minta BI Tak Ikut Campur Soal E-Money
A
A
A
JAKARTA - Pengacara yang mewakili konsumen Indonesia David Maruhum L Tobing menegaskan Bank Indonesia (BI) tidak seharusnya ikut campur dalam persoalan transaksi menggunakan uang elektronik (e-money). Sebab, hal tersebut adalah transaksi bisnis antara pengelola jalan tol dengan perbankan.
(Baca Juga: Gubernur BI Dilaporkan ke Ombudsman Soal Biaya Isi Ulang E-Money
Hal ini terkait dengan rencana Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan yang membebankan konsumen untuk membayar isi ulang (top up) e-money. Rencananya, peraturan tersebut akan dikeluarkan pada akhir September 2017.
"Jadi sekali lagi bahwa sebenarnya transaksi antara pengelola tol ataupun pengusaha lain dengan bank itu adalah transaksi business to business, yang pengaturannya harusnya sudah jelas antara mereka saja. Dalam hal ini BI tidak perlu ikut campur," katanya di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/9/2017).
Sebab, kata dia, jika BI ikut campur maka yang terjadi adalah mereka akan pro terhadap pengusaha yang dalam hal ini perbankan. Sementara kepentingan konsumen dikesampingkan. "Kalau ikut campur, maka dia akan pro kepada pengusaha, dalam hal ini perbankan. Sementara konsumen dirugikan," imbuh dia.
(Baca Juga: Top Up Fee E-Money, BI Ambil Kesempatan di Atas Penderitaan
David menambahkan, dalam Undang-undang (UU) Mata Uang ditegaskan bahwa semua pihak dilarang menolak transaksi dengan menggunakan mata uang rupiah. Jika tidak, maka akan dikenakan dengan maksimum Rp200 juta.
"Uang rupiah adalah uang logam dan uang kertas, di dalam UU Mata Uang diatur kalau menolak rupiah kena pidana satu tahun atau kena denda maksimum Rp200 juta. Jadi harusnya pengelola tol juga tidak menerapkan kebijakan menolak transaksi tunai. Karena transaksi tunai berdasarkan peraturan BI, adalah transaksi menggunakan uang logam dan uang kertas," imbuh dia.
Dia pun mengimbau agar kebijakan yang dibuat tidak merugikan konsumen. Konsumen harus diberikan pilihan antara uang tunai dan uang elektronik. "Selama UU Mata Uang masih mengatur tentang uang logam dan uang kertas, tidak boleh menolak uang tersebut. Itulah yang saya sampaikan," tandasnya.
(Baca Juga: Gubernur BI Dilaporkan ke Ombudsman Soal Biaya Isi Ulang E-Money
Hal ini terkait dengan rencana Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan yang membebankan konsumen untuk membayar isi ulang (top up) e-money. Rencananya, peraturan tersebut akan dikeluarkan pada akhir September 2017.
"Jadi sekali lagi bahwa sebenarnya transaksi antara pengelola tol ataupun pengusaha lain dengan bank itu adalah transaksi business to business, yang pengaturannya harusnya sudah jelas antara mereka saja. Dalam hal ini BI tidak perlu ikut campur," katanya di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/9/2017).
Sebab, kata dia, jika BI ikut campur maka yang terjadi adalah mereka akan pro terhadap pengusaha yang dalam hal ini perbankan. Sementara kepentingan konsumen dikesampingkan. "Kalau ikut campur, maka dia akan pro kepada pengusaha, dalam hal ini perbankan. Sementara konsumen dirugikan," imbuh dia.
(Baca Juga: Top Up Fee E-Money, BI Ambil Kesempatan di Atas Penderitaan
David menambahkan, dalam Undang-undang (UU) Mata Uang ditegaskan bahwa semua pihak dilarang menolak transaksi dengan menggunakan mata uang rupiah. Jika tidak, maka akan dikenakan dengan maksimum Rp200 juta.
"Uang rupiah adalah uang logam dan uang kertas, di dalam UU Mata Uang diatur kalau menolak rupiah kena pidana satu tahun atau kena denda maksimum Rp200 juta. Jadi harusnya pengelola tol juga tidak menerapkan kebijakan menolak transaksi tunai. Karena transaksi tunai berdasarkan peraturan BI, adalah transaksi menggunakan uang logam dan uang kertas," imbuh dia.
Dia pun mengimbau agar kebijakan yang dibuat tidak merugikan konsumen. Konsumen harus diberikan pilihan antara uang tunai dan uang elektronik. "Selama UU Mata Uang masih mengatur tentang uang logam dan uang kertas, tidak boleh menolak uang tersebut. Itulah yang saya sampaikan," tandasnya.
(akr)