Untung Jual Kartu Perdana, Bank Tak Perlu Top Up Fee E-Money
A
A
A
JAKARTA - Perbankan disayangkan sebagai penyedia kartu harus membebankan biaya isi ulang atau top up uang elektronik (e-money) kepada konsumen. Pasalnya peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menerangkan dalam bisnis e-money, sebetulnya bank sudah mendapatkan untung tanpa harus ada pengenaan biaya isi ulang.
"Misalnya dari awal kan masyarakat sudah bayar kartu e-money. Beli perdana Rp50 ribu, dapat saldo Rp30 ribu, harga kartu Rp20 ribu. Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank. Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana e-money tidak perlu lagi memungut fee top-up, karena dinilai memberatkan konsumen," jelasnya Jakarta, Rabu (20/9/2017).
(Baca Juga: Bank-bank BUMN Batal Pungut Biaya Isi Ulang E-Money
Lebih lanjut Ia mencontohkan seperti di Hongkong yang menggunakan octopus card. Untuk biaya maintenance mesin EDC dan investasi infrastruktur ditanggung perusahaan penerbit kartu dan operator jasa transportasi publik. Bahkan dengan sharing cost tersebut si konsumen bisa dapat potongan harga. Insentif ini yang membuat 95% penduduk Hongkong menggunakan Octopus card.
"Dalam konteks Indonesia, sharing cost ini bisa dilakukan antara bank penerbit kartu, jasa penyelenggara jalan tol dan merchant penyedia top up. Jadi kalau kebijakan tarif ini tetap dilakukan, masyarakat kembali lagi pakai uang cash. Kecuali di tol karena terpaksa," tegasnya.
Menurutnya ketika dikenakan biaya isi ulang e-money, dikhawatirkan masyarakat akan kembali menggunakan uang tunai dalam bertransaksi dan justru menjadi kemunduran. Ketika pemerintah belakangan gencar menyerukan gerakan non-tunai, sehingga terang dia apa yang dilakukan Bank Indonesia (BI) yang akan mengatur biaya top up e-money tersebut dinilai kurang tepat.
"Di satu sisi menyuruh masyarakat memakai e-money dan mendorong gerakan non tunai tapi justru dikenakan pungutan. Ini jelas disinsentif bagi nasabah emoney khususnya masyarakat pengguna jasa transportasi umum dan tol," paparnya.
"Misalnya dari awal kan masyarakat sudah bayar kartu e-money. Beli perdana Rp50 ribu, dapat saldo Rp30 ribu, harga kartu Rp20 ribu. Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank. Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana e-money tidak perlu lagi memungut fee top-up, karena dinilai memberatkan konsumen," jelasnya Jakarta, Rabu (20/9/2017).
(Baca Juga: Bank-bank BUMN Batal Pungut Biaya Isi Ulang E-Money
Lebih lanjut Ia mencontohkan seperti di Hongkong yang menggunakan octopus card. Untuk biaya maintenance mesin EDC dan investasi infrastruktur ditanggung perusahaan penerbit kartu dan operator jasa transportasi publik. Bahkan dengan sharing cost tersebut si konsumen bisa dapat potongan harga. Insentif ini yang membuat 95% penduduk Hongkong menggunakan Octopus card.
"Dalam konteks Indonesia, sharing cost ini bisa dilakukan antara bank penerbit kartu, jasa penyelenggara jalan tol dan merchant penyedia top up. Jadi kalau kebijakan tarif ini tetap dilakukan, masyarakat kembali lagi pakai uang cash. Kecuali di tol karena terpaksa," tegasnya.
Menurutnya ketika dikenakan biaya isi ulang e-money, dikhawatirkan masyarakat akan kembali menggunakan uang tunai dalam bertransaksi dan justru menjadi kemunduran. Ketika pemerintah belakangan gencar menyerukan gerakan non-tunai, sehingga terang dia apa yang dilakukan Bank Indonesia (BI) yang akan mengatur biaya top up e-money tersebut dinilai kurang tepat.
"Di satu sisi menyuruh masyarakat memakai e-money dan mendorong gerakan non tunai tapi justru dikenakan pungutan. Ini jelas disinsentif bagi nasabah emoney khususnya masyarakat pengguna jasa transportasi umum dan tol," paparnya.
(akr)