Budi Karya Siap Fasilitasi Masalah Sekolah Pilot di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan siap memfasilitasi masalah sekolah pilot di Indonesia untuk memperbaiki output pilot yang dihasilkan. Menurut dia, pihaknya akan menampung aspirasi pengelola sekolah pilot yang meliputi ketersediaan prasarana bandara, dukungan sertifikasi serta dukungan lain kepada sekolah-sekolah pilot tersebut.
"Silahkan nanti kumpul kepada saya. Kita bicara jujur sama-sama. Termasuk sertifikasi tapi ini terkait pemenuhan kualifikasi. Jadi ada koreksi dan intropeksi diri," ujar dia, Minggu (24/9/2017).
Budi Karya menambahkan, terkait masalah perizinan ketika akan terbang di sebuah bandara, pihaknya akan memfasilitasi dengan memberikan kemudahan. "Kalau masalah bandara, sebaiknya bandara yang digunakan untuk latihan jangan bandara reguler yang ramai untuk kegiatan komersial," terangnya.
Sebelumnya, kalangan sekolah pilot melalui Asosiasi atau Perkumpulan Institusi Penerbangan Indonesia (PIP2I) mengeluhkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan sekolah pilot di Indonesia. Misalnya, keterbatasan penggunaan bandara sebagai tempat latihan, batasan kepemilikan pesawat latih serta bayar konsesi kepada pengelola bandara Angkasa Pura.
Ketua Umum PIP2I, Karin Item mengungkapkan permasalahan tersebut jika tak mendapat sokongan pemerintah akan mengancam keberadaan pilot lokal. "Apalagi mereka yang baru lulus dari sekolah pilot. Butuh proses yang lama untuk bisa menjadi pilot dengan rating dari pesawat pabrikan," ungkap dia, belum lama ini.
Untuk diketahui, seorang siswa pilot di dalam negeri, maksimal harus terbang dengan jumlah jam terbang tertentu. Setelah lulus, mereka juga masih harus mendapatkan sertifikasi terbang yang dikeluarkan oleh lembaga internasional maupun pabrikan pesawat.
Sedangkan fakta yang ada di dalam negeri, sekolah-sekolah pilot untuk menerbangkan pesawat latih yang dimiliki sekolah pilot harus memanfaatkan sejumlah bandara komersial.
"Kalau bandara komersil harus minta izin dulu dengan regulator penerbangan udara, membayar biaya konsesi penggunaan lahan bandara kepada pengelola serta izin-izin lain yang pengurusan tidak cepat. Butuh waktu berpekan hingga berbulan," ungkap Karen.
Tidak hanya itu, sekolah pilot di Indonesia kebanyakan juga harus berpindah-pindah bandara ketika mereka dilarang menerbangkan pesawat latih. Hal ini akan menambah biaya bagi sekolah-sekolah penerbangan di lingkup asosiasi.
Hal yang sama diungkapkan mantan pilot AirAsia, Kapten Imron Siregar yang mengatakan, jika kondisi tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin pilot asing bisa lebih banyak bekerja di Indonesia. Padahal, kata dia, kemampuan sekolah pilot Indonesia memiliki silabus dengan standar sama di luar negeri yang tingkat pendidikan pilotnya sudah maju.
"Pilot kita bukan tidak lebih bagus dari mereka. Tapi akses mereka (pilot asing) lebih mudah untuk terbang ke ke kita karena sertifikasi sekolah mereka cenderung lebih mudah didapat dan tidak berbelit ditunjang dengan fasilitas latihan terbang yang memadai," ungkapnya.
Mengenai pernyataan Menteri Perhubungan yang menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi surplus pilot juga diakui asosiasi ini. "Kita surplus tapi tidak semuanya terbang juga. Alasannya mendapat sertifikasi terbang itu, harus membutuhkan izin ini dan izin itu dari banyak pihak. Tentu saja ongkosnya mahal sekali," pungkas Imron.
PIP2I sendiri merupakan perkumpulan sekolah pilot di indonesia yang berjumlah sebanyak 18 sekolah pilot. Jumlah tersebut terus berkurang karena tidak adanya dukungan di sektor ini dari sisi kemudahan, fasilitas maupun regulasi.
"Silahkan nanti kumpul kepada saya. Kita bicara jujur sama-sama. Termasuk sertifikasi tapi ini terkait pemenuhan kualifikasi. Jadi ada koreksi dan intropeksi diri," ujar dia, Minggu (24/9/2017).
Budi Karya menambahkan, terkait masalah perizinan ketika akan terbang di sebuah bandara, pihaknya akan memfasilitasi dengan memberikan kemudahan. "Kalau masalah bandara, sebaiknya bandara yang digunakan untuk latihan jangan bandara reguler yang ramai untuk kegiatan komersial," terangnya.
Sebelumnya, kalangan sekolah pilot melalui Asosiasi atau Perkumpulan Institusi Penerbangan Indonesia (PIP2I) mengeluhkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan sekolah pilot di Indonesia. Misalnya, keterbatasan penggunaan bandara sebagai tempat latihan, batasan kepemilikan pesawat latih serta bayar konsesi kepada pengelola bandara Angkasa Pura.
Ketua Umum PIP2I, Karin Item mengungkapkan permasalahan tersebut jika tak mendapat sokongan pemerintah akan mengancam keberadaan pilot lokal. "Apalagi mereka yang baru lulus dari sekolah pilot. Butuh proses yang lama untuk bisa menjadi pilot dengan rating dari pesawat pabrikan," ungkap dia, belum lama ini.
Untuk diketahui, seorang siswa pilot di dalam negeri, maksimal harus terbang dengan jumlah jam terbang tertentu. Setelah lulus, mereka juga masih harus mendapatkan sertifikasi terbang yang dikeluarkan oleh lembaga internasional maupun pabrikan pesawat.
Sedangkan fakta yang ada di dalam negeri, sekolah-sekolah pilot untuk menerbangkan pesawat latih yang dimiliki sekolah pilot harus memanfaatkan sejumlah bandara komersial.
"Kalau bandara komersil harus minta izin dulu dengan regulator penerbangan udara, membayar biaya konsesi penggunaan lahan bandara kepada pengelola serta izin-izin lain yang pengurusan tidak cepat. Butuh waktu berpekan hingga berbulan," ungkap Karen.
Tidak hanya itu, sekolah pilot di Indonesia kebanyakan juga harus berpindah-pindah bandara ketika mereka dilarang menerbangkan pesawat latih. Hal ini akan menambah biaya bagi sekolah-sekolah penerbangan di lingkup asosiasi.
Hal yang sama diungkapkan mantan pilot AirAsia, Kapten Imron Siregar yang mengatakan, jika kondisi tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin pilot asing bisa lebih banyak bekerja di Indonesia. Padahal, kata dia, kemampuan sekolah pilot Indonesia memiliki silabus dengan standar sama di luar negeri yang tingkat pendidikan pilotnya sudah maju.
"Pilot kita bukan tidak lebih bagus dari mereka. Tapi akses mereka (pilot asing) lebih mudah untuk terbang ke ke kita karena sertifikasi sekolah mereka cenderung lebih mudah didapat dan tidak berbelit ditunjang dengan fasilitas latihan terbang yang memadai," ungkapnya.
Mengenai pernyataan Menteri Perhubungan yang menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi surplus pilot juga diakui asosiasi ini. "Kita surplus tapi tidak semuanya terbang juga. Alasannya mendapat sertifikasi terbang itu, harus membutuhkan izin ini dan izin itu dari banyak pihak. Tentu saja ongkosnya mahal sekali," pungkas Imron.
PIP2I sendiri merupakan perkumpulan sekolah pilot di indonesia yang berjumlah sebanyak 18 sekolah pilot. Jumlah tersebut terus berkurang karena tidak adanya dukungan di sektor ini dari sisi kemudahan, fasilitas maupun regulasi.
(ven)