40% Surat Utang Dipegang Asing, Ekonomi RI Tergantung Global

Selasa, 03 Oktober 2017 - 11:13 WIB
40% Surat Utang Dipegang Asing, Ekonomi RI Tergantung Global
40% Surat Utang Dipegang Asing, Ekonomi RI Tergantung Global
A A A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa stabilitas sektor keuangan dan makro di Indonesia banyak ditentukan oleh kondisi yang terjadi di luar negeri. Hal ini lantaran dana yang dipakai untuk pembangunan di Indonesia banyak berasal dari luar negeri.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan, 40% surat utang Indonesia saat ini dimiliki asing. Karena itu, apa yang terjadi di luar negeri akan sangat memengaruhi kondisi perekonomian Tanah Air.

"Pemerintah itu sebagaimana pemerintahan di negara lain itu ada defisit anggaran. Tapi kan defisit dijaga tidak boleh lebih dari 3% dari PDB. Karena, defisit didanai oleh surat utang. Surat utang pemerintah 40% dimiliki asing," katanya dalam acara Rakornas Kadin di Jakarta, Selasa (3/10/2017).

Menurutnya, kreditur Indonesia saat ini tidak lagi didominasi lembaga keuangan global seperti World Bank dan Asian Development Bank (ADB). Melainkan, didominasi fund manager yang ada di Singapura, New York, Hong Kong, hingga London.

Sebab itu, pemerintah dan BI selalu memberikan informasi mengenai kondisi perekonomian di Indonesia. "Karena, kalau mereka cabut, kurs goyang, harga obligasi jatuh dan stabilitas terganggu. Stabilitas terganggu bank tidak mau lending dan seterusnya," imbuh dia.

Mirza menilai, saat ini kondisi ekonomi global sudah cukup membaik. Namun, yang perlu diantisipasi sejak dini adalah peluang naiknya suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Sebab, saat ini ekonomi AS telah tumbuh di level 2,2%. Meskipun lebih kecil dibanding perkiraan awal, namun untuk negara sebesar Paman Sam maka tumbuh 2% sudah menjadi angka bagus.

"Kalau ekonomi kencang biasanya akan terjadi inflasi. Pada saat inflasi naik, kalau dibiarin itu berbahaya dan akan mengganggu daya beli masyarakat. Inflasi juga akan membuat ekspor tidak bersaing. Sehingga saat inflasi gejalanya naik, biasanya bank sentral jaga-jaga untuk menaikkan suku bunga," tuturnya.

Sementara Eropa, lanjut dia, pada saat krisis 2010 hingga 2012 menurunkan tingkat suku bunganya hingga negatif. Namun, saat ini prekonomian Eropa sudah mulai bangkit, dan bank sentralnya mulai bersiap menaikkan suku bunga.

"Sehingga situasi 2017-2018-2019, di mana suku bunga AS masih naik, suku bunga Eropa mulai naik. Kita enggak tahu Jepang. Tapi bisa saja, karena ekonominya sudah mulai menunjukkan perbaikan," terang Mirza.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7686 seconds (0.1#10.140)