Rentan Diselewengkan, Skema Subsidi Elpiji Perlu Diubah
A
A
A
JAKARTA - Subsidi elpiji yang selama ini disalurkan melalui produk/barang dinilai rawan diselewengkan. Subsidi elpiji dinilai akan lebih tepat sasaran jika diberikan langsung kepada orang atau penerima yang berhak.
"Subsidi yang diberikan terhadap barang itu selalu lebih rentan daripada subsidi yang diberikan terhadap orang. Apalagi jika di sana ada disparitas harga yang tinggi," ujar pengamat energi dari Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS) Ali Ahmudi, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (18/10/2017).
Namun, lanjut dia, untuk menerapkan subsidi langsung kepada orang, dibutuhkan basis data penerima yang akurat. Selama ini, kata dia, jumlah masyarakat miskin yang dinilai berhak atas subsidi elpiji masih belum jelas.
Dosen Ekonomi Energi dan Sumber Daya Mineral Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya menambahkan, agar subsidi elpiji tepat sasaran, wacana mengenai kartu subsidi perlu segera direalisasikan. Berly menambahkan, dengan inflasi yang relatif terkendali, saat ini sebetulnya masih ada ruang untuk mengurangi subsidi elpiji 3kg.
“Janji-janji kartu dari mulai elpiji, BBM, itu realisasinya sampai saat ini belum berjalan. Jangan sampai elpiji 3 kg ini dinikmati oleh restoran-restoran yang menghabiskan ratusan tabung padahal mereka untungnya sudah banyak,” ujarnya.
Subsidi elpiji dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 ditetapkan sebesar Rp20 triliun dengan asumsi program subsidi langsung dimulai secara bertahap pada 2017. Namun, karena pola distribusi tak kunjung diubah, jumlah subsidi diperkirakan membengkak, karena naiknya harga elpiji di pasar internasional, serta penggunaan yang tidak tepat sasaran di lapangan, baik oleh rumah tangga menengah dan mapan, pertanian, peternakan, bahkan restoran hingga jasa laundry pakaian.
“Selama ini elpiji 3 kg bisa dikonsumsi siapa saja karena tidak diatur dengan mekanisme distribusi tertutup, sehingga konsumsi terus meningkat. Ini kan juga jadi cost bagi Pertamina,” ujar Berly.
Lebih lanjut, Ali Ahmudi mengatakan, agar subsidi tak makin membesar, ke depan perlu disiapkan alternatif bahan bakar selain elpiji agar masyarakat memiliki pilihan lain. Dari sisi produksi, jelas Ali, produksi elpiji nasional hanya 1,4 juta metrik ton (MT). Sementara kebutuhannya secara nasional mencapai 5 juta MT, sehingga butuh impor lebih dari 3 juta MT. jumlah itu menurutnya akan makin membesar seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia.
"Karena itu, ke depan harus pula dicarikan sumber energi yang lebih murah, misalnya gas alam melalui jaringan gas kota ataupun biomassa," tuturnya.
"Subsidi yang diberikan terhadap barang itu selalu lebih rentan daripada subsidi yang diberikan terhadap orang. Apalagi jika di sana ada disparitas harga yang tinggi," ujar pengamat energi dari Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS) Ali Ahmudi, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (18/10/2017).
Namun, lanjut dia, untuk menerapkan subsidi langsung kepada orang, dibutuhkan basis data penerima yang akurat. Selama ini, kata dia, jumlah masyarakat miskin yang dinilai berhak atas subsidi elpiji masih belum jelas.
Dosen Ekonomi Energi dan Sumber Daya Mineral Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya menambahkan, agar subsidi elpiji tepat sasaran, wacana mengenai kartu subsidi perlu segera direalisasikan. Berly menambahkan, dengan inflasi yang relatif terkendali, saat ini sebetulnya masih ada ruang untuk mengurangi subsidi elpiji 3kg.
“Janji-janji kartu dari mulai elpiji, BBM, itu realisasinya sampai saat ini belum berjalan. Jangan sampai elpiji 3 kg ini dinikmati oleh restoran-restoran yang menghabiskan ratusan tabung padahal mereka untungnya sudah banyak,” ujarnya.
Subsidi elpiji dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 ditetapkan sebesar Rp20 triliun dengan asumsi program subsidi langsung dimulai secara bertahap pada 2017. Namun, karena pola distribusi tak kunjung diubah, jumlah subsidi diperkirakan membengkak, karena naiknya harga elpiji di pasar internasional, serta penggunaan yang tidak tepat sasaran di lapangan, baik oleh rumah tangga menengah dan mapan, pertanian, peternakan, bahkan restoran hingga jasa laundry pakaian.
“Selama ini elpiji 3 kg bisa dikonsumsi siapa saja karena tidak diatur dengan mekanisme distribusi tertutup, sehingga konsumsi terus meningkat. Ini kan juga jadi cost bagi Pertamina,” ujar Berly.
Lebih lanjut, Ali Ahmudi mengatakan, agar subsidi tak makin membesar, ke depan perlu disiapkan alternatif bahan bakar selain elpiji agar masyarakat memiliki pilihan lain. Dari sisi produksi, jelas Ali, produksi elpiji nasional hanya 1,4 juta metrik ton (MT). Sementara kebutuhannya secara nasional mencapai 5 juta MT, sehingga butuh impor lebih dari 3 juta MT. jumlah itu menurutnya akan makin membesar seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia.
"Karena itu, ke depan harus pula dicarikan sumber energi yang lebih murah, misalnya gas alam melalui jaringan gas kota ataupun biomassa," tuturnya.
(fjo)