Revisi UU Ketenagakerjaan Tak Hanya Soal Pesangon dan Upah
A
A
A
JAKARTA - Revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang diusulkan oleh kalangan pengusaha, menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati tidak hanya persoalan pesangon dan upah karyawan. Tetapi tentang kepastian hukum dunia usaha yang dinilai lebih mendesak.
"Permasalahan UMP (upah minimum provinsi) dan pesangon hanya bagian kecil dan tidak terlalu krusial bagi dunia usaha," katanya saat diskusi di Hotel Mercure Jakarta, Kamis (20/10/2017).
(Baca Juga: KSPI Minta Hak Pekerja di UU Ketenagakerjaan Tak Diotak-atik
Lebih lanjut, Enny justru khawatir menjelang peristiwa politik, lantaran masalah perburuhan seolah-olah menjadi ritual tahunan. Mengemuka saat peristiwa politik, bukan menjelang Mayday atau event-event buruh. "Instrument buruh ini sangat menarik untuk dibesar-besarkan persoalannya. Kebutuhan masyarakat yang paling mendesak saat ini adalah kesempatan kerja," paparnya.
Ia menambahkan, permasalahan di UU Ketenagakerjaan yang dinilai tidak bersahabat dengan dunia usaha bukan sekedar masalah pesangon. Namun, formulasi hak dan kewajiban mengenai perburuhan, juga menimbulkan ketidakpastian, sehingga dikeluhkan.
"Pesangon itu hak buruh. Bila diberhentikan dengan sebab-sebab yang memang membutuhkan pemenuhan hak-hak buruh. Namun, tidak ada pengusaha yang ingin mengalami kebangkrutan," ujar dia.
Hanya saja, sambungnya ketika pemerintah memformulasikan kewajiban pengusaha saat mem-PHK karyawan, perlu adanya klasifikasi. Sebab, masih ada perusahaan yang mengaku bangkrut untuk menghindari pajak.
Atas dasar itulah, Enny memberikan masukan, yang perlu ditata saat ini adalah iklim ketenagakerjaan kondusif. Juga adanya kepastian regulasi sebagai panduan investor tanpa mengabaikan hak-hak pekerja. "Perlu komunikasi yang transparan. Pemerintah juga harus hadir jangan hanya sampai di pembuatan regulasi. Tapi harus hadir di antara pengusaha dan pekerja," pungkasnya.
"Permasalahan UMP (upah minimum provinsi) dan pesangon hanya bagian kecil dan tidak terlalu krusial bagi dunia usaha," katanya saat diskusi di Hotel Mercure Jakarta, Kamis (20/10/2017).
(Baca Juga: KSPI Minta Hak Pekerja di UU Ketenagakerjaan Tak Diotak-atik
Lebih lanjut, Enny justru khawatir menjelang peristiwa politik, lantaran masalah perburuhan seolah-olah menjadi ritual tahunan. Mengemuka saat peristiwa politik, bukan menjelang Mayday atau event-event buruh. "Instrument buruh ini sangat menarik untuk dibesar-besarkan persoalannya. Kebutuhan masyarakat yang paling mendesak saat ini adalah kesempatan kerja," paparnya.
Ia menambahkan, permasalahan di UU Ketenagakerjaan yang dinilai tidak bersahabat dengan dunia usaha bukan sekedar masalah pesangon. Namun, formulasi hak dan kewajiban mengenai perburuhan, juga menimbulkan ketidakpastian, sehingga dikeluhkan.
"Pesangon itu hak buruh. Bila diberhentikan dengan sebab-sebab yang memang membutuhkan pemenuhan hak-hak buruh. Namun, tidak ada pengusaha yang ingin mengalami kebangkrutan," ujar dia.
Hanya saja, sambungnya ketika pemerintah memformulasikan kewajiban pengusaha saat mem-PHK karyawan, perlu adanya klasifikasi. Sebab, masih ada perusahaan yang mengaku bangkrut untuk menghindari pajak.
Atas dasar itulah, Enny memberikan masukan, yang perlu ditata saat ini adalah iklim ketenagakerjaan kondusif. Juga adanya kepastian regulasi sebagai panduan investor tanpa mengabaikan hak-hak pekerja. "Perlu komunikasi yang transparan. Pemerintah juga harus hadir jangan hanya sampai di pembuatan regulasi. Tapi harus hadir di antara pengusaha dan pekerja," pungkasnya.
(akr)