Listrik Terpenuhi, Ekonomi Terakselarasi
A
A
A
JAKARTA - Salah satu proyek andalan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) di bidang infrastruktur adalah proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). Proyek tersebut digadang-gadang akan mampu mengatasi krisis listrik yang masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Saat diresmikan pada Mei 2015 lalu, Presiden Jokowi optimistis proyek prestisius ini akan tercapai selama lima tahun kepemimpinannya. Hal ini guna mewujudkan kemandirian energi nasional. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2015-2024 ada 109 proyek Program 35.000 MW di seluruh Indonesia.
Sebanyak 35 proyek berkapasitas 10.000 MW akan ditangani langsung PLN. Sementara sisianya sebanya 74 proyek berkapasitas 25.000 MW mengundang partisipasi swasta sebanyak 74 proyek. Tak kurang dari 14.593 MW pembangkit baru tengah dalam fase konstruksi.
Data yang dilansir PT Perusahaan Listrik Negara (persero)/PLN menyebutkan, hingga Juli 2017 pembangkit yang sudah dalam tahap commercial operation date (COD) mencapai 758 MW, disusul lebih dari 14.000 MW lainnya yang tengah dibangun dan segera masuk ke sistem.
Pembangunan pembangkit-pembangkit yang tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua itu membawa perubahan besar. Satu hal yang pasti, di sejumlah daerah, cadangan listrik saat ini sudah cukup besar sehingga yang tadinya mengalami defisit, kini mulai surplus pasokan listrik.
Sebagai contoh, di Jawa cadangan listrik kini mencapai 7.432 MW, di Sumatera bagian utara cadangan listrik tersedia hingga 413 MW, dan di Sumatera bagian selatan cadangannya mencapai 531 MW.
Jokowi kala itu mengaku memiliki ambisi untuk mengembangkan lebih besar energi baru terbarukan seperti angin, geothermal, hidropower, air, tumbuhan nabati dan bio massa. Dengan mengembangkan energi baru terbarukan tersebut, ketergantungan terhadap energi fosil bisa dikurangi.
"Selama hampir 70 tahun Indonesia merdeka, baru 50 ribu MW yang dibangun pemerintah. Sebab itu banyak yang menyangsikan dalam 35.000 MW, lima tahun dianggap ambisius," tuturnya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini meyakini proyek kelistrikan tersebut dapat direalisasikan. Sebab, program itu juga ditunjang dengan kebijakan pendukung, seperti penyederhanaan dari sisi regulasi.
Namun, selang beberapa waktu berjalan, pemerintah akhirnya mengakui bahwa sulit untuk merealisasikan proyek tersebut hanya dalam jangka waktu lima tahun. Pemerintah memutuskan untuk merevisi target tersebut menjadi hanya sekitar 19.000 MW pada 2019. Sementara sisanya, dikerjakan setelah target pertama terselesaikan.
Perkembangan Proyek 35.000 MW
Terlepas dari berbagai polemik yang ada, proyek prestisius 35.000 MW terbukti menunjukkan progress yang signifikan. Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, program 35.000 MW merupakan program infrastruktur strategis untuk mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia.
"Untuk merealisasikan 35 GW membutuhkan dana yang tidak sedikit dan memerlukan dukungan dari semua stakeholder," katanya.
Edwin menjabarkan, progress pembangunan proyek 35.000 MW saat ini adalah, pada 2015 masih terdapat 11 sistem di antaranya Sumatra bagian utara, Tanjung Pinang, Lampung, Belitung, Lombok, Kupang, Kalbar, Sulteng, Sultra, Sulutenggo, dan Jayapura yang masih defisit. Namun, saat ini sudah tidak ada lagi sistem yang defisit. "Rasio Elektrifikasi saat ini mencapai 92,8%," imbuh dia.
Selain itu, saat ini juga telah ada penambahan kapasitas pembangkit tahun 2014-2016 sebesar 7.701 MW dan ditargetkan tambahan pada tahun 2017 sebesar 2.600 MW. Serta, penambahan transmisi tahun 2014-2016 sebesar 6.800 KMS dan ditargetkan tambahan pada tahun 2017 sebesar 8.594 KMS. "Penambahan gardu induk tahun 2014-2016 sebesar 10.025 MVA dan ditargetkan tambahan pada tahun 2017 sebesar 14.280 MVA," tuturnya.
Menurutnya, porsi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dalam komposisi produksi tenaga listrik menurun dari 11,4% pada tahun 2014 menjadi 5,8% pada tahun 2017. Sedangkan biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik telah menurun. "BPP tenaga listrik menurun dari Rp 1.419/kWh pada tahun 2014 menjadi Rp 1.303/kWh pada tahun 2017," sebut dia.
Dalam saat yang bersamaan, tambahnya, PLN juga mengemban tugas PSO, dimana selain menjual listrik bersubsidi kepada beberapa golongan pelanggan, juga berupaya memberikan tarif yang mampu meningkatkan daya saing bisnis dan industri. "Dan, selama tahun 2017 tidak ada kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) untuk pelanggan non subsidi meskipun terjadi lonjakan harga energi primer terutama batubara," tandasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa pun mengatakan hal yang sama. Saat ini, proyek tersebut pun sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Menurutnya, pada 2014 lalu setidaknya masih ada 12 wilayah yang mengalami krisis listrik. Namun saat ini, seluruh wilayah di Indonesia sudah terjamah listrik dan tak ada lagi krisis.
Bahkan, pemadaman listrik bergilir pun cenderung berkurang. Hanya saja, kata Fabby, yang perlu diperhatikan adalah mengenai kehandalan dari pembangkit-pembangkit listrik PLN. "Ya kalau kita lihat sampai saat ini sudah tidak ada daerah krisis listrik. 2014 itu masih ada 12 wilayah yang krisis listrik. Sekarang tidak ada. Listriknya sudah berlebih, masalah nya hanya kehandalan (reabilitas) saja. Tapi saya kira manfaat masyarakat itu lebih berkurang lah pemadaman," tuturnya.
Menurut catatannya, saat ini sebanyak 15.000 MW tengah dalam tahap konstruksi. Selain itu, ada pula yang telah menandatangani perjanjian jual beli listrik (power purchasing agreement/PPA) sebanyak 7.000 MW. "Dan yang sudah commissioning kan sekitar 7.000 MW. Kalau dibilang jalan sih jalan ya," akunya.
Namun demikian, Fabby pun mengakui proyek tersebut tidak akan rampung pada 2019. Proyek 35.000 MW diperkirakan baru rampung pada 2023. Selain itu, dia menilai bahwa Indonesia memang belum membutuhkan listrik hingga sebanyak 35.000 MW pada 2019. Setidaknya, pada 2019 mendatang Indonesia hanya butuh sekitar 16.000 MW hingga 18.000 MW tambahan listrik.
"Jadi sebenarnya kalau saya memang menganjurkan agar programnya di extend saja. Kalau lihat kondisi pertumbuhan sekarang sih ya sampai 2023 lah. Karena praktis dari yang dibangun sekarang ini nggak mungkin bisa selesai 2019. Dan memang kita nggak butuh sebanyak 35.000 MW itu," ungkap Fabby.
Masih menurut Fabby, dimundurkannya waktu penyelesaian proyek 35.000 MW pun akan membuat likuiditas keuangan PLN menjadi lebih longgar. Sebab, saat ini likuiditas perseroan sangat ketat karena sebagian besar proyek didanai oleh kas internal PLN.
Akibatnya, kemampuan perseroan untuk melakukan pinjaman pun menjadi lebih sempit. "Saran saya, proyek ini diperpanjang adalah untuk pendanaan transmisi. PLN nggak perlu ngotot untuk pendanaan transmisi. Kalau diperpanjang kan berarti dari sisi likuiditas keuangan itu lebih longgar," pungkasnya.
Saat diresmikan pada Mei 2015 lalu, Presiden Jokowi optimistis proyek prestisius ini akan tercapai selama lima tahun kepemimpinannya. Hal ini guna mewujudkan kemandirian energi nasional. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2015-2024 ada 109 proyek Program 35.000 MW di seluruh Indonesia.
Sebanyak 35 proyek berkapasitas 10.000 MW akan ditangani langsung PLN. Sementara sisianya sebanya 74 proyek berkapasitas 25.000 MW mengundang partisipasi swasta sebanyak 74 proyek. Tak kurang dari 14.593 MW pembangkit baru tengah dalam fase konstruksi.
Data yang dilansir PT Perusahaan Listrik Negara (persero)/PLN menyebutkan, hingga Juli 2017 pembangkit yang sudah dalam tahap commercial operation date (COD) mencapai 758 MW, disusul lebih dari 14.000 MW lainnya yang tengah dibangun dan segera masuk ke sistem.
Pembangunan pembangkit-pembangkit yang tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua itu membawa perubahan besar. Satu hal yang pasti, di sejumlah daerah, cadangan listrik saat ini sudah cukup besar sehingga yang tadinya mengalami defisit, kini mulai surplus pasokan listrik.
Sebagai contoh, di Jawa cadangan listrik kini mencapai 7.432 MW, di Sumatera bagian utara cadangan listrik tersedia hingga 413 MW, dan di Sumatera bagian selatan cadangannya mencapai 531 MW.
Jokowi kala itu mengaku memiliki ambisi untuk mengembangkan lebih besar energi baru terbarukan seperti angin, geothermal, hidropower, air, tumbuhan nabati dan bio massa. Dengan mengembangkan energi baru terbarukan tersebut, ketergantungan terhadap energi fosil bisa dikurangi.
"Selama hampir 70 tahun Indonesia merdeka, baru 50 ribu MW yang dibangun pemerintah. Sebab itu banyak yang menyangsikan dalam 35.000 MW, lima tahun dianggap ambisius," tuturnya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini meyakini proyek kelistrikan tersebut dapat direalisasikan. Sebab, program itu juga ditunjang dengan kebijakan pendukung, seperti penyederhanaan dari sisi regulasi.
Namun, selang beberapa waktu berjalan, pemerintah akhirnya mengakui bahwa sulit untuk merealisasikan proyek tersebut hanya dalam jangka waktu lima tahun. Pemerintah memutuskan untuk merevisi target tersebut menjadi hanya sekitar 19.000 MW pada 2019. Sementara sisanya, dikerjakan setelah target pertama terselesaikan.
Perkembangan Proyek 35.000 MW
Terlepas dari berbagai polemik yang ada, proyek prestisius 35.000 MW terbukti menunjukkan progress yang signifikan. Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, program 35.000 MW merupakan program infrastruktur strategis untuk mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia.
"Untuk merealisasikan 35 GW membutuhkan dana yang tidak sedikit dan memerlukan dukungan dari semua stakeholder," katanya.
Edwin menjabarkan, progress pembangunan proyek 35.000 MW saat ini adalah, pada 2015 masih terdapat 11 sistem di antaranya Sumatra bagian utara, Tanjung Pinang, Lampung, Belitung, Lombok, Kupang, Kalbar, Sulteng, Sultra, Sulutenggo, dan Jayapura yang masih defisit. Namun, saat ini sudah tidak ada lagi sistem yang defisit. "Rasio Elektrifikasi saat ini mencapai 92,8%," imbuh dia.
Selain itu, saat ini juga telah ada penambahan kapasitas pembangkit tahun 2014-2016 sebesar 7.701 MW dan ditargetkan tambahan pada tahun 2017 sebesar 2.600 MW. Serta, penambahan transmisi tahun 2014-2016 sebesar 6.800 KMS dan ditargetkan tambahan pada tahun 2017 sebesar 8.594 KMS. "Penambahan gardu induk tahun 2014-2016 sebesar 10.025 MVA dan ditargetkan tambahan pada tahun 2017 sebesar 14.280 MVA," tuturnya.
Menurutnya, porsi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dalam komposisi produksi tenaga listrik menurun dari 11,4% pada tahun 2014 menjadi 5,8% pada tahun 2017. Sedangkan biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik telah menurun. "BPP tenaga listrik menurun dari Rp 1.419/kWh pada tahun 2014 menjadi Rp 1.303/kWh pada tahun 2017," sebut dia.
Dalam saat yang bersamaan, tambahnya, PLN juga mengemban tugas PSO, dimana selain menjual listrik bersubsidi kepada beberapa golongan pelanggan, juga berupaya memberikan tarif yang mampu meningkatkan daya saing bisnis dan industri. "Dan, selama tahun 2017 tidak ada kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) untuk pelanggan non subsidi meskipun terjadi lonjakan harga energi primer terutama batubara," tandasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa pun mengatakan hal yang sama. Saat ini, proyek tersebut pun sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Menurutnya, pada 2014 lalu setidaknya masih ada 12 wilayah yang mengalami krisis listrik. Namun saat ini, seluruh wilayah di Indonesia sudah terjamah listrik dan tak ada lagi krisis.
Bahkan, pemadaman listrik bergilir pun cenderung berkurang. Hanya saja, kata Fabby, yang perlu diperhatikan adalah mengenai kehandalan dari pembangkit-pembangkit listrik PLN. "Ya kalau kita lihat sampai saat ini sudah tidak ada daerah krisis listrik. 2014 itu masih ada 12 wilayah yang krisis listrik. Sekarang tidak ada. Listriknya sudah berlebih, masalah nya hanya kehandalan (reabilitas) saja. Tapi saya kira manfaat masyarakat itu lebih berkurang lah pemadaman," tuturnya.
Menurut catatannya, saat ini sebanyak 15.000 MW tengah dalam tahap konstruksi. Selain itu, ada pula yang telah menandatangani perjanjian jual beli listrik (power purchasing agreement/PPA) sebanyak 7.000 MW. "Dan yang sudah commissioning kan sekitar 7.000 MW. Kalau dibilang jalan sih jalan ya," akunya.
Namun demikian, Fabby pun mengakui proyek tersebut tidak akan rampung pada 2019. Proyek 35.000 MW diperkirakan baru rampung pada 2023. Selain itu, dia menilai bahwa Indonesia memang belum membutuhkan listrik hingga sebanyak 35.000 MW pada 2019. Setidaknya, pada 2019 mendatang Indonesia hanya butuh sekitar 16.000 MW hingga 18.000 MW tambahan listrik.
"Jadi sebenarnya kalau saya memang menganjurkan agar programnya di extend saja. Kalau lihat kondisi pertumbuhan sekarang sih ya sampai 2023 lah. Karena praktis dari yang dibangun sekarang ini nggak mungkin bisa selesai 2019. Dan memang kita nggak butuh sebanyak 35.000 MW itu," ungkap Fabby.
Masih menurut Fabby, dimundurkannya waktu penyelesaian proyek 35.000 MW pun akan membuat likuiditas keuangan PLN menjadi lebih longgar. Sebab, saat ini likuiditas perseroan sangat ketat karena sebagian besar proyek didanai oleh kas internal PLN.
Akibatnya, kemampuan perseroan untuk melakukan pinjaman pun menjadi lebih sempit. "Saran saya, proyek ini diperpanjang adalah untuk pendanaan transmisi. PLN nggak perlu ngotot untuk pendanaan transmisi. Kalau diperpanjang kan berarti dari sisi likuiditas keuangan itu lebih longgar," pungkasnya.
(akr)