Kebutuhan Tembakau Kurang 196 Ribu Ton/Tahun
A
A
A
JAKARTA - Kebutuhan tembakau sebagai bahan baku rokok nasional ternyata cukup banyak kekurangannya. Dalam setahun, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) memprediksi kekurangannya mencapai 196 ribu ton.
Ketua Umum Gappri, Ismanu Sumiran menyatakan pada 2016, kebutuhan tembakau untuk memproduksi rokok totalnya mencapai 399,96 ribu ton. Sedangkan tembakau dari petani secara nasional hanya 302 ribu ton.
"Bisa dibayangkan kekurangannya. Jadi wajar kalau para pelaku industri rokok mengimpor tembakau dari India dan sebagian negara ASEAN," ungkapnya di Jakarta, Selasa (24/10/2017).
Atas dasar itulah, Ismanu meminta pemerintah mencari solusi dengan cara melakukan program intensifikasi. Sebab, kalau ekstensifikasi tidak memungkinkan, lahan yang tersedia sudah tidak bisa bertambah, justru sebaliknya berkurang.
"Apalagi produksi rokok lebih banyak ke kretek maka tembakau lokal juga tersedot. Terpaksa untuk tembakau, kita harus impor," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Ismanu juga menyampaikan market share rokok secara nasional. Untuk tahun 2012, dibagi dalam tiga besar yaitu SKM yang kretek maupun reguler pasarnya sekitar 62,92% dan tahun 2016 naik menjadi 71,14%. Kenaikan SKM ini selalu diiringi SKT yang menurun.
"Penurunan SKT tahun 2012 angkanya 27,67 persen, lalu tahun 2016 di angka 20,26 persen. Sedangkan di sektor rokok putih stabil di angka 5 persen sampai 6,5 persen," katanya.
Bahkan, lanjut Ismanu, saat ini kondisi pabrikan rokok nasional ada sekitar 1.400. Namun dari jumlah itu, pabrikan rokok yang aktif, tersisa 600 yang berizin dan sekitar 200 aktif berproduksi.
Ketua Umum Gappri, Ismanu Sumiran menyatakan pada 2016, kebutuhan tembakau untuk memproduksi rokok totalnya mencapai 399,96 ribu ton. Sedangkan tembakau dari petani secara nasional hanya 302 ribu ton.
"Bisa dibayangkan kekurangannya. Jadi wajar kalau para pelaku industri rokok mengimpor tembakau dari India dan sebagian negara ASEAN," ungkapnya di Jakarta, Selasa (24/10/2017).
Atas dasar itulah, Ismanu meminta pemerintah mencari solusi dengan cara melakukan program intensifikasi. Sebab, kalau ekstensifikasi tidak memungkinkan, lahan yang tersedia sudah tidak bisa bertambah, justru sebaliknya berkurang.
"Apalagi produksi rokok lebih banyak ke kretek maka tembakau lokal juga tersedot. Terpaksa untuk tembakau, kita harus impor," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Ismanu juga menyampaikan market share rokok secara nasional. Untuk tahun 2012, dibagi dalam tiga besar yaitu SKM yang kretek maupun reguler pasarnya sekitar 62,92% dan tahun 2016 naik menjadi 71,14%. Kenaikan SKM ini selalu diiringi SKT yang menurun.
"Penurunan SKT tahun 2012 angkanya 27,67 persen, lalu tahun 2016 di angka 20,26 persen. Sedangkan di sektor rokok putih stabil di angka 5 persen sampai 6,5 persen," katanya.
Bahkan, lanjut Ismanu, saat ini kondisi pabrikan rokok nasional ada sekitar 1.400. Namun dari jumlah itu, pabrikan rokok yang aktif, tersisa 600 yang berizin dan sekitar 200 aktif berproduksi.
(ven)