UMP Harus Pertimbangkan Kondisi Ekonomi

Rabu, 01 November 2017 - 08:09 WIB
UMP Harus Pertimbangkan Kondisi Ekonomi
UMP Harus Pertimbangkan Kondisi Ekonomi
A A A
JAKARTA - Kalangan dunia usaha khawatir kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta dapat menyebabkan relokasi industri ke luar ibukota. Penetapan upah diminta tetap mempertimbangkan kondisi dunia usaha yang akhir-akhir ini tertekan akibat turunnya daya beli.

Hingga kemarin, kenaikan UMP DKI Jakarta masih belum diputuskan. Kalangan buruh ngotot menginginkan UMP di Jakarta 2018 sebesar Rp3,9 juta, naik dibanding tahun ini Rp3,35 juta. Kenaikan tersebut didasarkan atas dasar survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dibuat kalangan serikat pekerja.

Pemerintah DKI dan Dewan Pengupahan sebelumnya menyepakati upah buruh untuk 2018 sebesar Rp3,6 juta. Meski belum diputuskan secara resmi, Pemerintah DKI memastikan bahwa upah buruh mempertimbangkan banyak faktor sehingga keputusan yang dibuat sama-sama mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, kekawatiran adanya relokasi industri ke luar kota tetap ada. Namun, kata dia, kalangan pengusaha masih bisa menempuh opsi lain apabila keberatan menerapkan kenaikan UMP.

“Kan ada diatur dalam regulasi pemerintah yaitu jika ada perusahaan tidak dapat melaksanakan UMP maka ada kesempatan mengajukan penangguhan,” kata Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang kepada KORAN SINDO tadi malam.

Sarman yang juga Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta dari unsur pengusaha berharap, akan ada keputusan terbaik mulai dari pengusaha, pekerja dan pemerintah sehingga iklim usaha dan investasi menjadi kondusif.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengakui, UMP telah diatur dalam PP No 78/2015 yang mempertimbangkan formula penambahan dari pertumbuhan ekonomi nasional (PDB) dan data inflasi nasional.

"Tetapi ini dalam catatan ekonomi stabil dan maju, lalu tumbuh dan berkembang, kenyataannya ada beberapa industri yang tergerus bisnisnya, jadi perlu adanya pengkajian ulang terhadap situasi ini," kata Roy tadi malam.

Dia berharap pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan UMP sebesar 8,7% pada 2018 mendatang. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan oleh seluruh industri di Tanah Air. Menurutnya, ada beberapa industri yang makin meredup dan tidak sesuai harapan.

"Perlu adanya kearifan lokal, karena pada saat PP itu dibuat, UMP naik sesuai pertumbuhan ekonomi, jangan sampai kenaikan UMP ini semakin menggerus industri yang tengah meredup," ujarnya.

Ritel menjadi salah satu sektor yang paling merasakan adanya pelemahan aktivitas ekonomi. Di Jakarta, dalam beberapa bulan terakhir sejumlah toko ritel tutup akibat kalah bersaing dan kehilangan pembeli.

Roy tidak tidak memungkiri, biaya kebutuhan hidup masyarakat saat ini terus beranjak naik. Untuk itu, kenaikan UMP seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan pokok pekerja, bukan dari tersier atau pun kebutuhan sekunder. Dia berharap hal ini bisa didiskusikan oleh seluruh pihak.

"Perlu kebijakan dan kedewasaan dari pemberi kerja, tenaga kerja, pemda, pemerintah, untuk memikirkan industri yang tengah meredup ini, dikhawatirkan akhirnya akan berguguran hingga terjadi PHK," tegasnya.

Menurutnya, seluruh pemangku kepentingan harus mencari jalan keluar terhadap pelaku industri yang masih melambat. Misalnya, pemda dan pemerintah harus bisa mencari keseimbangan dari segi pemberi kerja dan tenaga kerja. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam kenaikan UMP tersebut.

"Industri yang masih mengalami perlambatan yaitu tekstil, makanan dan minuman, ritel, dan berkaitan dengan konsumen masyarakat, karena terjadi perubahan perilaku belanja di masyarakat," paparnya.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menginginkan, kenaikan UMP mengikuti ketentuan dari pemerintah. Berdasarkan surat edaran Kementerian Ketenagakerjaan, kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71% dihitung berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional (pertumbuhan PDB) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). "Kita inginnya ikut aturan pemerintah saja. Angka 8,7% itu okelah," ujarnya.

Temui Buruh
Di balaikota, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, banyak tekanan dalam mengambil keputusan UMP. Kondisi ini membuat pihaknya baru akan mengumumkan kenaikan UMP pada hari ini (Rabu, 1/11).

Sandi, panggilan Sandiaga Uno, kemarin menemui ribuan buruh yang sejak pagi berunjuk rasa di depan Balai Kota, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Menurut dia, Pemerintah DKI akan terus mencari terobosan inovasi agar tuntutan kesejahteraan buruh bisa ditingkatkan.

"Kita buka semua opsi, kita hadirkan proses yang terbuka, akan undang beberapa pihak untuk memikirkan. Saya akan intens 24 jam ke depan memberikan laporan ke Pak Gubernur. Keputusannya paling tidak mendapatkan solusi yang win win," kata Sandi.

Dia menjelaskan, kebijakan pengupahan bukan hanya untuk mereka yang sudah bekerja, tetapi juga bagi yang belum bekerja meningat masih banyak sekali yang masih menganggur.

Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dakhiri menegaskan, penetapan UMP 2018 menjadi kewenangan Gubernur dan harus berdasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

"Jadi bukan saya yang menetapkan besaran kenaikannya. Yang menetapkan UMP-nya itu kan Gubernur sesuai dengan kewenangannya. Datanya itu berasal dari BPS (Badan Pusat Statistik). Itulah yang saya informasikan melalui surat edaran," kata Hanif di Jakarta kemarin.

Hanif mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/20 17 pada tanggal 13 Oktober 2017 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2017.

UMP tahun 2018 ditetapkan dan diumumkan secara serentak pada tanggal 1 November 2017. Dalam surat edaran ersebut, kenaikan UMP 2018 dihitung berdasarkan data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional (pertumbuhan Produk Domestik Bruto) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Dalam surat edaran itu disebutkan inflasi nasional periode September 2016-September 2017 sebesar 3,72% dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 4,99% sehingga besaran kenaikan UMP 2018 adalah sebesar 8,71%.

Sementara itu, Sekretaris Komisi C DPRD DKI Jakarta James Arifin Sianipar meminta, penetapan UMP DKI 2018 ditentukan dengan seadil-adilnya. Artinya, angka kenaikan UMP yang ditetapkan tidak boleh merugikan pekerja, tapi tidak boleh juga membebankan perusahaan.

Selain itu, James juga meminta agar survei KHL benar-benar dijadikan referensi untuk menghitung jumlah kenaikan UMP. Menurutnya, tidak dapat dimungkiri apabila ada sejumlah harga kebutuhan yang terus merangkak naik sepanjang tahun.

Anggota Dewan Pengupahan dari unsur serikat pekerja Jayadi menjelaskan, dalam audiensi Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta, Kamis (26/10), Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno meminta dilakukannya survei KHL untuk memotret kondisi riil kebutuhan pekerja di DKI Jakarta. Hasil yang dicapai dalam survei dan telah disidangkan Dewan Pengupahan tersebut sebesar Rp3.603.531 dan nilai tersebut disepakati oleh tiga unsur baik pemerintah, pengusaha dan unsur serikat pekerja.

"Banyak kejanggalan dalam penetapa survei KHL yang dilakukan dewan pengupahan Pemprov DKI. Kami harap Gubernur dan Wakil Gubernur DKI dapat memutuskan UMP berdasarkan kondisi yang nyata. Karena berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, dalam menetapkan UMP, selain KHL juga memperhatikan inflasi, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas," tambah Ketua DPF FSP LEM SPSI DKI Jakarta Yulianto.

Di bagian lain, ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal berpendapat, rencana pemerintah menetapkan kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71% akan memberatkan kalangan usaha. Meski begitu, kenaikan UMP tidak bisa dihindari.

"Saya kira kalau sudah ditetapkan kalangan usaha harus mengakomodasi. Meski kita akui sektor usaha juga dalam tren yang lemah dilihat dari daya beli masyarakat yang yang cenderung stagnan," kata dia.

Menurutnya, pemerintah hendaknya memberikan insentif kepada sektor usaha. Apalagi, sektor usaha di dalam negeri yang terkena hantaman seperti sektor ritel dan industri.

"Dengan insentif tentu bisa dicegah agar sektor-sektor tersebut bisa bertahan sembari pemerintah membereskan masalah perekonomian sebagai hal yang vital," ucapnya.

Dia menambahkan, saat ini fokus pemerintah hanya berusaha menarik investor baru untuk menanamkan modal, sedangkan sektor usaha yang sudah ada cenderung tidak mengalami peningkatan yang berarti.

"Jadi supaya sektor usaha bisa bertahan mengikuti UMP, ya seharusnya ada insentif di situ. Misalnya, insetif pajak dan sebagainya. Bagaimanapun, UMP tidak bisa dihindari sebab perhitungannya juga sudah ada sebagaimana dijabarkan dalam paket kebijakan ekonomi pemerintahan sekarang," pungkasnya. (bima setiyadi/oktiani endarwati/heru febrianto/ichsan amin/ant)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9737 seconds (0.1#10.140)