Menjaga Kenaikan Produksi Pertanian di Tengah Perubahan Iklim
A
A
A
JAKARTA - Upaya khusus (Upsus) dengan target swasembada pangan pertanian sudah dilaksanakan sejak dimulainya era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Sinergi antara seluruh instansi dan pelaku terkait dalam menyukseskan program ini melibatkan pemerintah, petani, masyarakat dan TNI.
Untuk mencapai target yang sudah ditetapkan investasi pemerintah secara refocusing di bidang infrastruktur irigasi, alat dan mesin pertanian dan sarana produksi lainnya. Dalam perjalanannya, faktor iklim menjadi suatu hal yang perlu disikapi melalui pendekatan mitigasi dan adaptasi.
"Seperti yang terjadi pada tahun 2015 terjadinya fenomina el-nino (kekeringan) menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pencapaian kenaikan produksi pertanian, khususnya padi," kata Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Pending Dadih Permana lewat keterangan resmi di Jakarta, Rabu (1/11/2017).
Lebih lanjut Pending Dadih menjelaskan, perubahan pola hujan saat ini sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti pergeseran awal musim hujan dan perubahan intensitas curah hujan bulanan dengan keragaman dan deviasi yang semakin tinggi serta peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim, terutama curah hujan, angin, banjir dan rob.
"Perubahan Iklim yang terjadi saat ini berpengaruh terhadap eksistensi sumberdaya lahan dan air, penurunan luas areal tanam dan produktivitas pertanian," ungkapnya.
Degradasi sumberdaya lahan dan sumberdaya air akibat dari perubahan iklim, jelas dia, menuntut untuk segera dilakukan upaya adaptasi terutama pada infrastruktur pengairan untuk meminimalisir terjadinya ancaman kekeringan atau banjir. Dengan luasan lahan sawah tadah hujan di Indonesia seluas 2,8 juta ha, apabila tidak dikelola dengan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, akan menjadikan lahan tersebut terlantar pada musim kemarau dan kelebihan air pada musim penghujan.
"Ancaman banjir semakin intensif yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi produksi terutama akibat meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman. Terdapat indikasi, sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpotensi besar terserang hama wereng coklat," ujarnya.
Menghadapi perubahan iklim yang terjadi saat ini, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian bersama dengan instansi terkait lainnya, antara lain TNI-AD dan petani tetap bertekad menggenjot produksi pertanian dengan melakukan upaya upaya adaptasi melalui berbagai macam program.
Di antaranya yaitu kegiatan fokus adaptasi budidaya pertanian meliputi perbaikan manajemen pengelolaan air termasuk sistem dan jaringan irigasi, pengembangan teknologi panen air (embung, dam parit dan long-storage) dan efisiensi penggunaan air seperti irigasi tetes dan mulsa.
"Kemudian pengembangan teknologi pengelolaan lahan untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman, dan pengembangan sistem perlindungan usahatani dari kegagalan akibat perubahan iklim atau crop weather insurance," tuturnya.
Pengembangan infrastruktur air irigasi pada skala usaha tani oleh Kementerian Pertanian dilakukan melalui pola bantuan pemerintah dan dikerjakan secara swadaya melibatkan petani penerima manfaat. Petani dilibatkan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan serta perawatan infrastruktur bangunan.
"Kegiatan tersebut berdampak sangat signifikan terhadap peningkatan indeks pertanaman dan penambahan luas areal tanam," tambah pria yang pernah menjabat Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementan ini.
Dia mencontohkan pembangunan infrastruktur Dam Parit (Damparit) di Kabupaten Bima dan Sukabumi dengan Bantuan pemerintah Rp100 juta. Kegiatan pembangunan dan parit atau bendung sederhana dengan membendung aliran anak sungai dan menaikan air ke areal sawah sebagai suplesi irigasi.
"Dengan pola bantuan pemerintah Rp 100 juta yang dikerjakan melalui swadaya petani dan masyarakat, mampu meningkatkan indeks pertanaman 0,5 pada lahan 45 ha. Sehingga dampak dari kegiatan ini adalah tambahan produksi sebanyak 135 ton Gabah Kering Panen (GKP)," jelas dia.
Kemudian pembangunan infrastruktur embung pertanian yang dilaksanakan di Kabupaten Garut dan Ponorogo dengan bantuan pemerintah Rp100 juta. Embung pertanian dibangun dengan tujuan untuk menampung air hujan dan run-off aliran mata air yang terbuang.
"Dengan pola bantuan pemerintah Rp 100 juta yang dikerjakan melalui swadaya petani dan masyarakat, mampu meningkatkan indeks pertanaman 0,5 pada lahan 20 ha. Sehingga dampak dari kegiatan ini adalah tambahan produksi sebanyak 60 ton GKP," jelas Pending Dadih.
Sementara pengembangan Water Long Storage di Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu secara swadaya, melibatkan kelompok tani dan TNI-AD. Kegiatan pengembangan Water Long Storage dilaksanakan dengan cara normalisasi saluran pembuang (long storage) sepanjang 1,9 km di Indramayu dan pembenahan bendung dan pintu pintu air diujung saluran.
"Kegiatan ini diharapkan mampu memperpanjang waktu ketersediaan air di musim kemarau. Di kabupaten Indramayu, Water Long Storage dapat membantu pengairan pada lahan pertanian 900 ha. Dengan asumsi terjadi peningkatan indeks pertanaman sebesar 0,5, maka dampak dari kegiatan normalisasi ini berkontribusi terhadap penambahan produksi padi sebesar 2.700 ton GKP," papar dia.
Dan yang terakhir, pengembangan Irigasi Perpompaan/Perpipaan di Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen dilaksanakan secara swadaya petani. Kegiatan Pengembangan Irigasi Perpompaan/perpipaan ini dilaksanakan dalam rangka memanfaatkan air permukaan untuk dialirkan ke lahan sawah seluas 60 ha yang disekitarnya tidak terdapat sumber air.
Sehingga pada lahan sawah yang tadinya hanya melaksanakan pertanaman satu kali dalam setahun (musim hujan) dapat ditingkatkan menjadi 1,5-2 kali dalam setahun. "Dampak dari kegiatan ini adalah penambahan produksi padi sebesar 180 ton GKP," tambahnya.
Melalui upaya pengembangan infrastruktur air dan program bantuan pemerintah lainnya yang diusung oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, ditengah fenomena perubahan iklim yang terjadi, tingkat produksi pada sektor pertanian, khususnya padi tetap mampu dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
"Terbukti dengan capaian angka produksi padi nasional yang pada tahun 2014 mencapai 70,85 ton merangkak naik pada tahun 2015 menjadi 75,39 juta ton dan pada tahun 2016 produksi padi nasional sebanyak 79,4 juta ton," pungkasnya.
Untuk mencapai target yang sudah ditetapkan investasi pemerintah secara refocusing di bidang infrastruktur irigasi, alat dan mesin pertanian dan sarana produksi lainnya. Dalam perjalanannya, faktor iklim menjadi suatu hal yang perlu disikapi melalui pendekatan mitigasi dan adaptasi.
"Seperti yang terjadi pada tahun 2015 terjadinya fenomina el-nino (kekeringan) menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pencapaian kenaikan produksi pertanian, khususnya padi," kata Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Pending Dadih Permana lewat keterangan resmi di Jakarta, Rabu (1/11/2017).
Lebih lanjut Pending Dadih menjelaskan, perubahan pola hujan saat ini sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti pergeseran awal musim hujan dan perubahan intensitas curah hujan bulanan dengan keragaman dan deviasi yang semakin tinggi serta peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim, terutama curah hujan, angin, banjir dan rob.
"Perubahan Iklim yang terjadi saat ini berpengaruh terhadap eksistensi sumberdaya lahan dan air, penurunan luas areal tanam dan produktivitas pertanian," ungkapnya.
Degradasi sumberdaya lahan dan sumberdaya air akibat dari perubahan iklim, jelas dia, menuntut untuk segera dilakukan upaya adaptasi terutama pada infrastruktur pengairan untuk meminimalisir terjadinya ancaman kekeringan atau banjir. Dengan luasan lahan sawah tadah hujan di Indonesia seluas 2,8 juta ha, apabila tidak dikelola dengan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, akan menjadikan lahan tersebut terlantar pada musim kemarau dan kelebihan air pada musim penghujan.
"Ancaman banjir semakin intensif yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi produksi terutama akibat meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman. Terdapat indikasi, sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpotensi besar terserang hama wereng coklat," ujarnya.
Menghadapi perubahan iklim yang terjadi saat ini, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian bersama dengan instansi terkait lainnya, antara lain TNI-AD dan petani tetap bertekad menggenjot produksi pertanian dengan melakukan upaya upaya adaptasi melalui berbagai macam program.
Di antaranya yaitu kegiatan fokus adaptasi budidaya pertanian meliputi perbaikan manajemen pengelolaan air termasuk sistem dan jaringan irigasi, pengembangan teknologi panen air (embung, dam parit dan long-storage) dan efisiensi penggunaan air seperti irigasi tetes dan mulsa.
"Kemudian pengembangan teknologi pengelolaan lahan untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman, dan pengembangan sistem perlindungan usahatani dari kegagalan akibat perubahan iklim atau crop weather insurance," tuturnya.
Pengembangan infrastruktur air irigasi pada skala usaha tani oleh Kementerian Pertanian dilakukan melalui pola bantuan pemerintah dan dikerjakan secara swadaya melibatkan petani penerima manfaat. Petani dilibatkan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan serta perawatan infrastruktur bangunan.
"Kegiatan tersebut berdampak sangat signifikan terhadap peningkatan indeks pertanaman dan penambahan luas areal tanam," tambah pria yang pernah menjabat Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementan ini.
Dia mencontohkan pembangunan infrastruktur Dam Parit (Damparit) di Kabupaten Bima dan Sukabumi dengan Bantuan pemerintah Rp100 juta. Kegiatan pembangunan dan parit atau bendung sederhana dengan membendung aliran anak sungai dan menaikan air ke areal sawah sebagai suplesi irigasi.
"Dengan pola bantuan pemerintah Rp 100 juta yang dikerjakan melalui swadaya petani dan masyarakat, mampu meningkatkan indeks pertanaman 0,5 pada lahan 45 ha. Sehingga dampak dari kegiatan ini adalah tambahan produksi sebanyak 135 ton Gabah Kering Panen (GKP)," jelas dia.
Kemudian pembangunan infrastruktur embung pertanian yang dilaksanakan di Kabupaten Garut dan Ponorogo dengan bantuan pemerintah Rp100 juta. Embung pertanian dibangun dengan tujuan untuk menampung air hujan dan run-off aliran mata air yang terbuang.
"Dengan pola bantuan pemerintah Rp 100 juta yang dikerjakan melalui swadaya petani dan masyarakat, mampu meningkatkan indeks pertanaman 0,5 pada lahan 20 ha. Sehingga dampak dari kegiatan ini adalah tambahan produksi sebanyak 60 ton GKP," jelas Pending Dadih.
Sementara pengembangan Water Long Storage di Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu secara swadaya, melibatkan kelompok tani dan TNI-AD. Kegiatan pengembangan Water Long Storage dilaksanakan dengan cara normalisasi saluran pembuang (long storage) sepanjang 1,9 km di Indramayu dan pembenahan bendung dan pintu pintu air diujung saluran.
"Kegiatan ini diharapkan mampu memperpanjang waktu ketersediaan air di musim kemarau. Di kabupaten Indramayu, Water Long Storage dapat membantu pengairan pada lahan pertanian 900 ha. Dengan asumsi terjadi peningkatan indeks pertanaman sebesar 0,5, maka dampak dari kegiatan normalisasi ini berkontribusi terhadap penambahan produksi padi sebesar 2.700 ton GKP," papar dia.
Dan yang terakhir, pengembangan Irigasi Perpompaan/Perpipaan di Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen dilaksanakan secara swadaya petani. Kegiatan Pengembangan Irigasi Perpompaan/perpipaan ini dilaksanakan dalam rangka memanfaatkan air permukaan untuk dialirkan ke lahan sawah seluas 60 ha yang disekitarnya tidak terdapat sumber air.
Sehingga pada lahan sawah yang tadinya hanya melaksanakan pertanaman satu kali dalam setahun (musim hujan) dapat ditingkatkan menjadi 1,5-2 kali dalam setahun. "Dampak dari kegiatan ini adalah penambahan produksi padi sebesar 180 ton GKP," tambahnya.
Melalui upaya pengembangan infrastruktur air dan program bantuan pemerintah lainnya yang diusung oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, ditengah fenomena perubahan iklim yang terjadi, tingkat produksi pada sektor pertanian, khususnya padi tetap mampu dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
"Terbukti dengan capaian angka produksi padi nasional yang pada tahun 2014 mencapai 70,85 ton merangkak naik pada tahun 2015 menjadi 75,39 juta ton dan pada tahun 2016 produksi padi nasional sebanyak 79,4 juta ton," pungkasnya.
(akr)