Gapki Nilai Sawit Paling Efisien Gunakan Lahan
A
A
A
NUSA DUA - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, perkebunan kelapa sawit sangat efisien dalam penggunaan lahan dibanding tananam pengasil minyak nabati lain.
Berdasarkan studi dari LMC International, sebuah lembaga riset dari Inggris, untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati (vegetable oil) dunia pada 2025, cukup diperlukan tambahan lahan 12 juta hektare (ha).
Sementara apabila menggunakan tanaman rapeseed membutuhkan tambahan lahan 50,5 juta ha. Jika dipenuhi tanaman minyak matahari (sun flower) membutuhkan tambahan lahan 70,4 juta ha, dan tanaman soyben butuh tambahan lahan 96 juta ha.
"Tapi kalau dengan sawit hanya perlu 12,6 juta ha. Bahkan kalau produktivitas sawit bisa ditingkatkan menjadi rata-rata 8 ton CPO per ha per tahun, hanya perlu penambahan lahan 6 juta ha saja," ujar Joko saat memberikan sambutan pada pembukaan 13th Indonesia Palm Oil Conference and 2018 Price Outlook di Bali Nusa Convention Center, Bali, Kamis (2/10/2017).
Karena itu, ke depan produktivitas dan isu keberlanjutan akan menentukan dalam persaingan minyak nabati dunia. Karena itu kemitraan antara perusahaan dengan petani menjadi sangat penting. "Dan kita perlu mendapat dukungan lebih besar dari pemerintah," ujar dia.
Joko menuturkan, pengembangan kelapa sawit Indonesia harus selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Hal ini dilakukan untuk menepis tudingan-tudingan negatif yang dilakukan asing terhadap industri sawit Indonesia.
"Di sisi lain, negara-negara maju juga akan semakin protektif melindungi pasar mereka terhadap penetrasi minyak sawit," imbuhnya.
Pada kesempatan tersebut, dia memperkirakan produksi minyak sawit tahun ini mencapai 36,5 juta ton atau lebih tinggi dibanding total produksi tahun lalu yang mencapai 34,5 juta ton.
Peningkatan produksi ini dipastikan akan memberikan dampak lebih positif terhadap perekonomian nasional. "Ini membuktikan bahwa selama ini telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Karena itu, peran industri sawit sangat penting," katanya.
Atas dasar itu, Joko berharp pemerintah mempertahankan Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia dan menemukan pasar ekspor baru. "Kami juga membutuhkan iklim investasi kondusif dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) harus terus diperkuat," tegasnya.
Berdasarkan studi dari LMC International, sebuah lembaga riset dari Inggris, untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati (vegetable oil) dunia pada 2025, cukup diperlukan tambahan lahan 12 juta hektare (ha).
Sementara apabila menggunakan tanaman rapeseed membutuhkan tambahan lahan 50,5 juta ha. Jika dipenuhi tanaman minyak matahari (sun flower) membutuhkan tambahan lahan 70,4 juta ha, dan tanaman soyben butuh tambahan lahan 96 juta ha.
"Tapi kalau dengan sawit hanya perlu 12,6 juta ha. Bahkan kalau produktivitas sawit bisa ditingkatkan menjadi rata-rata 8 ton CPO per ha per tahun, hanya perlu penambahan lahan 6 juta ha saja," ujar Joko saat memberikan sambutan pada pembukaan 13th Indonesia Palm Oil Conference and 2018 Price Outlook di Bali Nusa Convention Center, Bali, Kamis (2/10/2017).
Karena itu, ke depan produktivitas dan isu keberlanjutan akan menentukan dalam persaingan minyak nabati dunia. Karena itu kemitraan antara perusahaan dengan petani menjadi sangat penting. "Dan kita perlu mendapat dukungan lebih besar dari pemerintah," ujar dia.
Joko menuturkan, pengembangan kelapa sawit Indonesia harus selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Hal ini dilakukan untuk menepis tudingan-tudingan negatif yang dilakukan asing terhadap industri sawit Indonesia.
"Di sisi lain, negara-negara maju juga akan semakin protektif melindungi pasar mereka terhadap penetrasi minyak sawit," imbuhnya.
Pada kesempatan tersebut, dia memperkirakan produksi minyak sawit tahun ini mencapai 36,5 juta ton atau lebih tinggi dibanding total produksi tahun lalu yang mencapai 34,5 juta ton.
Peningkatan produksi ini dipastikan akan memberikan dampak lebih positif terhadap perekonomian nasional. "Ini membuktikan bahwa selama ini telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Karena itu, peran industri sawit sangat penting," katanya.
Atas dasar itu, Joko berharp pemerintah mempertahankan Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia dan menemukan pasar ekspor baru. "Kami juga membutuhkan iklim investasi kondusif dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) harus terus diperkuat," tegasnya.
(izz)