SP JICT Klarifikasi Sepak Terjang Hutchinson Hingga Gaji Pegawai
A
A
A
JAKARTA - Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) memberikan klarifikasi terkait sepak terjang Hutchinson di Indonesia, yang disampaikan dalam sebuah tulisan bertajuk 'ABS'. Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan Hakim menyayangkan bahwa digambarkan ada celah agar Hutchinson bisa langgeng di JICT.
Hutchison Ports milik taipan Hong Kong, Li Ka Shing dinilai sebagai investor yang harus didukung karena sudah sejak 1999 berinvestasi di Indonesia. Selain mengelola terminal peti kemas di Tanjung Priok, ada beberapa investasi infrastruktur dan telekomunikasi yang sudah dilakukan.
Namun Ketua Serikat Pekerja JICT Nova menerangkan bahwa ada kejanggalan kontrak baru yang diperpanjang 5 tahun sebelum kontrak berakhir, dimana kontrak Hutchinson selama 20 tahun (1999-2019).
"Dari investigasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelindo II dan Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menemukan perpanjangan kontrak JICT (2015-2039) kepada Hutchison tanpa izin konsesi pemerintah," ungkapnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (6/11/2017).
Selain itu, Nona juga menilai hal itu sudah merugikan negara sedikitnya Rp4,08 triliun. Hutchison juga ditunjuk langsung tanpa tender yang memadai. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menyidik kasus tersebut.
"Menjadi pertanyaan kenapa tidak menulis manifestasi bisnis Hutchison yang menurut BPK melanggar aturan di Indonesia. Lagipula pelanggaran hukum Hutchison dalam kasus JICT, merupakan ancaman serius terhadap reputasi global grup bisnis Li Ka Shing," ungkapnya.
Sementara serikat pekerja menegaskan JICT sudah dikelola anak bangsa sejak tahun 1978 yang saat itu bernama Unit Terminal Petikemas (UTPK). Ketika Hutchison datang tahun 1999, 99% putra putri bangsa tetap mengoperasikan JICT.
"Dalam perjanjian 1999, tercantum 'saham merah putih' untuk semangat nasionalisasi saat berakhir kontrak tahun 2019. Seharusnya alih pengetahuan dan teknologi sudah selesai. Indonesia bisa berdaulat atas pintu gerbang perekonomian nasional pada tahun 2019. Pemerintah pun dapat memberikan Hutchison kesempatan menggarap pelabuhan lain yang belum maju," ujar Nova
Hutchison diklaim berjasa dalam memberikan remunerasi terbaik dan melatih karyawan. Namun SP JICT mengungkapkan bahwa gaji terendah pegawai JICT bukanlah Rp36 juta, melainkan Rp 7,9 juta. Remunerasi ini telah menghitung kemampuan perusahaan dan produktivitas pekerja. Sampai saat ini, produktivitas JICT yang terbaik di Indonesia.
"Jika dibandingkan, Pelindo II jauh lebih banyak mengirimkan pegawai untuk belajar ke luar negeri. Anggaran training JICT juga hanya terserap kurang dari 20% dalam 3 tahun terakhir. Bahkan biaya 'technical know how' yang dipungut Hutchison bernilai triliunan Rupiah. Namun realisasi "know-how" tidak pernah jelas seperti apa. Biaya ini sangat besar ketimbang biaya training setiap pekerja USD 1.000 per tahun," paparnya.
Nova menambahkan para pekerja yang dikirim ke luar negeri, kebanyakan untuk memperbaiki produktivitas pelabuhan Hutchison. Contoh di Oman dan Tanzania. Bahkan pelabuhan Felixtowe, Inggris belajar sistem petikemas yang dioperasikan langsung oleh putra putri bangsa. Jadi kemampuan anak bangsa sangat diakui oleh Hutchison.
Lebih lanjut Ia juga menegaskan hal ini bukan soal penafsiran sempit nasionalisme dan sentimen berlebihan anti asing. Tapi dari fakta objektif kasus JICT, penting bagi pemerintah mengambil sikap tegas.
"Pemerintah harus menjadikan kasus JICT sebagai preseden penegakan hukum di Indonesia. Investor akan senang jika ada kejelasan aturan main. Ini justru yang harus digelorakan kepada Presiden. Namun dalam kasus JICT, seperti ada pihak yang coba bermain di area abu-abu untuk membidik "mutualisme" sempit dalam bentuk rente," tandasnya.
Hutchison Ports milik taipan Hong Kong, Li Ka Shing dinilai sebagai investor yang harus didukung karena sudah sejak 1999 berinvestasi di Indonesia. Selain mengelola terminal peti kemas di Tanjung Priok, ada beberapa investasi infrastruktur dan telekomunikasi yang sudah dilakukan.
Namun Ketua Serikat Pekerja JICT Nova menerangkan bahwa ada kejanggalan kontrak baru yang diperpanjang 5 tahun sebelum kontrak berakhir, dimana kontrak Hutchinson selama 20 tahun (1999-2019).
"Dari investigasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelindo II dan Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menemukan perpanjangan kontrak JICT (2015-2039) kepada Hutchison tanpa izin konsesi pemerintah," ungkapnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (6/11/2017).
Selain itu, Nona juga menilai hal itu sudah merugikan negara sedikitnya Rp4,08 triliun. Hutchison juga ditunjuk langsung tanpa tender yang memadai. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menyidik kasus tersebut.
"Menjadi pertanyaan kenapa tidak menulis manifestasi bisnis Hutchison yang menurut BPK melanggar aturan di Indonesia. Lagipula pelanggaran hukum Hutchison dalam kasus JICT, merupakan ancaman serius terhadap reputasi global grup bisnis Li Ka Shing," ungkapnya.
Sementara serikat pekerja menegaskan JICT sudah dikelola anak bangsa sejak tahun 1978 yang saat itu bernama Unit Terminal Petikemas (UTPK). Ketika Hutchison datang tahun 1999, 99% putra putri bangsa tetap mengoperasikan JICT.
"Dalam perjanjian 1999, tercantum 'saham merah putih' untuk semangat nasionalisasi saat berakhir kontrak tahun 2019. Seharusnya alih pengetahuan dan teknologi sudah selesai. Indonesia bisa berdaulat atas pintu gerbang perekonomian nasional pada tahun 2019. Pemerintah pun dapat memberikan Hutchison kesempatan menggarap pelabuhan lain yang belum maju," ujar Nova
Hutchison diklaim berjasa dalam memberikan remunerasi terbaik dan melatih karyawan. Namun SP JICT mengungkapkan bahwa gaji terendah pegawai JICT bukanlah Rp36 juta, melainkan Rp 7,9 juta. Remunerasi ini telah menghitung kemampuan perusahaan dan produktivitas pekerja. Sampai saat ini, produktivitas JICT yang terbaik di Indonesia.
"Jika dibandingkan, Pelindo II jauh lebih banyak mengirimkan pegawai untuk belajar ke luar negeri. Anggaran training JICT juga hanya terserap kurang dari 20% dalam 3 tahun terakhir. Bahkan biaya 'technical know how' yang dipungut Hutchison bernilai triliunan Rupiah. Namun realisasi "know-how" tidak pernah jelas seperti apa. Biaya ini sangat besar ketimbang biaya training setiap pekerja USD 1.000 per tahun," paparnya.
Nova menambahkan para pekerja yang dikirim ke luar negeri, kebanyakan untuk memperbaiki produktivitas pelabuhan Hutchison. Contoh di Oman dan Tanzania. Bahkan pelabuhan Felixtowe, Inggris belajar sistem petikemas yang dioperasikan langsung oleh putra putri bangsa. Jadi kemampuan anak bangsa sangat diakui oleh Hutchison.
Lebih lanjut Ia juga menegaskan hal ini bukan soal penafsiran sempit nasionalisme dan sentimen berlebihan anti asing. Tapi dari fakta objektif kasus JICT, penting bagi pemerintah mengambil sikap tegas.
"Pemerintah harus menjadikan kasus JICT sebagai preseden penegakan hukum di Indonesia. Investor akan senang jika ada kejelasan aturan main. Ini justru yang harus digelorakan kepada Presiden. Namun dalam kasus JICT, seperti ada pihak yang coba bermain di area abu-abu untuk membidik "mutualisme" sempit dalam bentuk rente," tandasnya.
(akr)