DPR Minta UU PNPB Tidak Bebani Rakyat
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah agar Undang-undang mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang baru tidak membebani rakyat. PNBP tidak boleh menjadikan negara bebas mengambil pungutan atas pelayanan yang diberikan kepada rakyatnya.
Selama ini objek PNBP adalah pelayanan publik yang diberikan oleh negara mulai dari yang bersifat kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan hingga yang bersifat administratif. "Di sinilah kita harus jeli dalam merumuskan jangan sampai UU PNBP menjadi celah bagi pemerintah untuk mengurangi tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan publik yang prima," kata anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam, Rabu (8/11/2017).
Menurut dia, pelayanan publik merupakan amanah konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. "Idealnya memang pelayanan publik disediakan negara secara cuma-cuma," jelasnya.
Tapi jika kemampuan negara belum memungkinkan, lanjut dia, maka ada ruang di mana pengguna layanan dapat diminta kontribusinya untuk membiayai sebagian layanan tersebut. "Secara prinsip PKS ingin agar kontribusi ini seminimal mungkin dan jika betul-betul diperlukan saja untuk meningkatkan kualitas layanan," ungkapnya.
Anggota Komisi XI DPR lainnya Amir Uskara menyatakan, dari pada melakukan pungutan PNPB pada layanan masyarakat maka pemerintah seharusnya bisa mengoptimalkan PNBP dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) termasuk minyak dangas, pertambangan, panas bumi, kehutanan, serta, kelautan dan perikanan.
"Optimalisasi PNBP darisektor-sektor ini sebagai operasionalisasi dari Pasal 33 UUD 1945. PNBP SDA juga penting untuk sustainability atau keberlanjutan pembangunan, mengingat sebagian besar objek pungutannya dari sektor yang ekstraktif atau tak terbaharui," ungkap politikus Fraksi PPP ini.
Salah satu contoh kasus terkait PNBP SDA ini ialah temuan di tahun lalu dari hasil audit BPK mengenai tunggakan senilai Rp21 triliun dari lima perusahaan tambang. Tunggakan ini berasal dari tagihan negara berupa dana hasil produksi batubara (DHPB) atau royalti hasil tambang.
Selama ini objek PNBP adalah pelayanan publik yang diberikan oleh negara mulai dari yang bersifat kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan hingga yang bersifat administratif. "Di sinilah kita harus jeli dalam merumuskan jangan sampai UU PNBP menjadi celah bagi pemerintah untuk mengurangi tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan publik yang prima," kata anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam, Rabu (8/11/2017).
Menurut dia, pelayanan publik merupakan amanah konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. "Idealnya memang pelayanan publik disediakan negara secara cuma-cuma," jelasnya.
Tapi jika kemampuan negara belum memungkinkan, lanjut dia, maka ada ruang di mana pengguna layanan dapat diminta kontribusinya untuk membiayai sebagian layanan tersebut. "Secara prinsip PKS ingin agar kontribusi ini seminimal mungkin dan jika betul-betul diperlukan saja untuk meningkatkan kualitas layanan," ungkapnya.
Anggota Komisi XI DPR lainnya Amir Uskara menyatakan, dari pada melakukan pungutan PNPB pada layanan masyarakat maka pemerintah seharusnya bisa mengoptimalkan PNBP dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) termasuk minyak dangas, pertambangan, panas bumi, kehutanan, serta, kelautan dan perikanan.
"Optimalisasi PNBP darisektor-sektor ini sebagai operasionalisasi dari Pasal 33 UUD 1945. PNBP SDA juga penting untuk sustainability atau keberlanjutan pembangunan, mengingat sebagian besar objek pungutannya dari sektor yang ekstraktif atau tak terbaharui," ungkap politikus Fraksi PPP ini.
Salah satu contoh kasus terkait PNBP SDA ini ialah temuan di tahun lalu dari hasil audit BPK mengenai tunggakan senilai Rp21 triliun dari lima perusahaan tambang. Tunggakan ini berasal dari tagihan negara berupa dana hasil produksi batubara (DHPB) atau royalti hasil tambang.
(amm)