Tren Mata Uang Digital Harus Diwaspadai
A
A
A
JAKARTA - Ekonomi digital terus menunjukkan perkembangan pesat, salah satunya BlockChain Technology yang sangat penting dalam menciptakan mata uang digital, seperti Bitcoin. Perkembangan teknologi Blockchain dan Bitcoin di Indonesia sudah mulai pesat sejak 2015.
Pengamat IT Heru Sutadi menilai pemerintah dan industri harus segera menyiapkan infrastruktur ekonomi dengan basis teknologi digital baik secara regulasi maupun edukasi di masyarakat. Perubahan harus dilakukan cepat atau lambat karena masyarakat Indonesia bisa mengaksesnya.
"Saat ini regulator melindungi pengguna dan pelaku industri keuangan. Itu wajar saja, sehingga tren digital payment lebih berkembang karena perusahaan startup. Kita sudah telat dibanding negara lainnya karena lambatnya perubahan UU dan aturan. Teknologi baru butuh edukasi karena masyarakat cukup antusias, terbukti produk gopay cepat tersebar," ujar Heru dalam diskusi mengenai Transformasi Digital Keuangan, Jakarta, Jumat (10/11/2017).
Menurutnya, keunggulan BlockChain adalah data yang bisa dipertukarkan. Teknologi ini melakukan pencatatan transaksi terintegrasi dengan teknologi modern, dengan kode unik yang tidak bisa diubah.
Hal ini akan merevolusi cara kerja internet, perbankan dan hal lainnya. "BlockChain banyak bermanfaat untuk efisiensi, transparansi, dan simplifikasi di berbagai sektor. Mulai untuk industri keuangan, kelistrikan, hingga perkebunan. Jangan langsung ditolak apabila ada yang negatif. Perkembangan teknologi pasti memiliki dua sisi," terang dia.
Menurutnya, teknologi Blockchain bisa membantu di beberapa sektor seperti kesehatan untuk membantu data pasien antara RS sehingga dapat memudahkan proses pengobatan. Bidang kelistrikan juga bisa terbantu apabila nanti penyediaan listrik oleh swasta.
Sedangkan dalam industri telekomunikasi bisa membantu pelanggan menggunakan antar operator. "Saat ini memang ekosistem untuk BlockChain belum sempurna di seluruh dunia. Tapi nantinya pasti menjadi lebih baik sehingga koneksi antar bank nantinya tidak perlu lagi lewat sentral bank. Sehingga, peran bank sentral akan berkurang kedepannya," tuturnya.
Dia menjelaskan, kondisi saat ini memunculkan masyarakat digital yang akhirnya membuat industri jasa keuangan perlu mengoptimalkan potensi tersebut agar 'kue bisnis' tidak diambil pihak asing.
Masyarakat digital adalah mereka yang berselancar di dunia maya dan biasanya menggunakan komputer atau telepon pintar yang dimiliki. Adapun kondisi seperti ini bisa dimanfaatkan lantaran ekonomi digital bisa memberikan dorongan lebih terhadap laju perekonomian Indonesia.
"Disampaikan juga oleh Presiden Jokowi bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan mencapai 6%-7% jika ekonomi digital ini tidak dimaksimalkan. Kontribusi ekonomi digital ini bisa sekitar 1,2%-1,5% tambahannya terhadap pertumbuhan ekonomi," ungkap Heru.
Menurutnya, hingga kuartal II/2017, perkembangan transaksi financial technology (fintech) di dunia mencapai USD8,4 miliar dengan 293 kesepakatan. Sedangkan di Asia Pasifik, transaksi fintech mencapai USD760 juta dengan 51 kesepakatan. Namun sayangnya, Indonesia belum terlihat signifikan dalam aspek fintech.
"Indonesia belum terlalu terlihat. Di Asia ini ekonomi digital yang dominasi adalah Tiongkok, Singapura, dan India. Kalau di Indonesia sendiri kan baru ramai tentang fintech sekitar 1-2 tahun belakangan ini. Tentu saja ini menjadi evaluasi kenapa kita tertinggal," tuturnya.
Dia tidak menampik ada sejumlah persoalan terkait perkembangan ekonomi digital termasuk digital keuangan di Indonesia. Salah satunya, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang dinilai terlalu moderat dan sangat berhati-hati.
Hal ini tentu tidak negatif, tetapi tentu perlu dicarikan solusi agar ekonomi digital bisa benar-benar memberi keuntungan. "Saya sudah bicara ini sejak 2008 tapi mulai ramainya itu 1-2 tahun belakangan ini. BI saat itu terbilang moderat. Karena menekankan tentang KYC, adanya pengawasan ketat money laundry, tentang dana teroris, dan lainnya. Tapi saya rasa, perlu ada upaya untuk bisa menyelesaikan tantangan ini," jelas Heru.
Sementara, Direktur Inovasi Teknologi Keuangan Hitachi Data System Genady Chybranov mengatakan, Hitachi baru saja meluncurkan Hitachi Vantara sebagai entitas bisnis baru untuk memberikan solusi manajemen bagi perusahaan komersial dan industri. Perusahaan ini gabungan dari operasional Hitachi Data Systems, Hitachi Insight Group, dan Pentaho.
Salah satu solusi yang ditawarkan Hitachi Vantara adalah kebutuhan untuk industri perbankan. Hal itu tidak lepas dari transformasi perbankan di Indonesia selama dua tahun hingga lima tahun ke depan akan sangat bergantung pada teknologi.
Karena itu, Hitachi Vantara menawarkan solusi untuk mengelola data dari infrastruktur dasar. Berbekal pemanfaatan analisis big data, perusahaan akan mendapatkan hasil tersebut secara real-time untuk membantunya menerapkan strategi terbaik dan meningkatkan kepuasaan nasabah.
"Melalui solusi yang kami tawarkan, perbankan dapat mengetahui profil nasabahnya secara lebih lengkap sehingga dapat mengoptimalkan pengalaman termasuk untuk beberapa kanal layanan perbankan," tuturnya dalam kesempatan sama.
Selain itu, untuk kebutuhan perbankan, solusi dari Hitachi Vantara juga dapat digunakan untuk keperluan blockchain. Di masa depan blockhain diprediksi sangat potensial.
"Blockchain memiliki masa depan cerah karena menghubungkan industri secara bersama. Karenanya, kami juga menawarkan solusi agar blockchain dapat bekerja dengan optimal," imbuh dia.
Genady menuturkan, pemanfaatan big data memungkinkan industri perbankan menciptakan layanan bisnis baru. Pengalaman nasabah, di sisi lain, juga akan semakin ditingkatkan hingga dapat dipersonalisasi sesuai kebutuhan pelanggan.
"Salah satu yang kami lakukan adalah mengembangkan pengalaman bertransaksi bagi nasabah bank di kantor cabang. Namun untuk hal ini, memang disesuaikan dengan kebutuhan bank itu sendiri. Adapun yang sudah kami terapkan adalah menciptakan self-service station," ujarnya.
Pengamat IT Heru Sutadi menilai pemerintah dan industri harus segera menyiapkan infrastruktur ekonomi dengan basis teknologi digital baik secara regulasi maupun edukasi di masyarakat. Perubahan harus dilakukan cepat atau lambat karena masyarakat Indonesia bisa mengaksesnya.
"Saat ini regulator melindungi pengguna dan pelaku industri keuangan. Itu wajar saja, sehingga tren digital payment lebih berkembang karena perusahaan startup. Kita sudah telat dibanding negara lainnya karena lambatnya perubahan UU dan aturan. Teknologi baru butuh edukasi karena masyarakat cukup antusias, terbukti produk gopay cepat tersebar," ujar Heru dalam diskusi mengenai Transformasi Digital Keuangan, Jakarta, Jumat (10/11/2017).
Menurutnya, keunggulan BlockChain adalah data yang bisa dipertukarkan. Teknologi ini melakukan pencatatan transaksi terintegrasi dengan teknologi modern, dengan kode unik yang tidak bisa diubah.
Hal ini akan merevolusi cara kerja internet, perbankan dan hal lainnya. "BlockChain banyak bermanfaat untuk efisiensi, transparansi, dan simplifikasi di berbagai sektor. Mulai untuk industri keuangan, kelistrikan, hingga perkebunan. Jangan langsung ditolak apabila ada yang negatif. Perkembangan teknologi pasti memiliki dua sisi," terang dia.
Menurutnya, teknologi Blockchain bisa membantu di beberapa sektor seperti kesehatan untuk membantu data pasien antara RS sehingga dapat memudahkan proses pengobatan. Bidang kelistrikan juga bisa terbantu apabila nanti penyediaan listrik oleh swasta.
Sedangkan dalam industri telekomunikasi bisa membantu pelanggan menggunakan antar operator. "Saat ini memang ekosistem untuk BlockChain belum sempurna di seluruh dunia. Tapi nantinya pasti menjadi lebih baik sehingga koneksi antar bank nantinya tidak perlu lagi lewat sentral bank. Sehingga, peran bank sentral akan berkurang kedepannya," tuturnya.
Dia menjelaskan, kondisi saat ini memunculkan masyarakat digital yang akhirnya membuat industri jasa keuangan perlu mengoptimalkan potensi tersebut agar 'kue bisnis' tidak diambil pihak asing.
Masyarakat digital adalah mereka yang berselancar di dunia maya dan biasanya menggunakan komputer atau telepon pintar yang dimiliki. Adapun kondisi seperti ini bisa dimanfaatkan lantaran ekonomi digital bisa memberikan dorongan lebih terhadap laju perekonomian Indonesia.
"Disampaikan juga oleh Presiden Jokowi bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan mencapai 6%-7% jika ekonomi digital ini tidak dimaksimalkan. Kontribusi ekonomi digital ini bisa sekitar 1,2%-1,5% tambahannya terhadap pertumbuhan ekonomi," ungkap Heru.
Menurutnya, hingga kuartal II/2017, perkembangan transaksi financial technology (fintech) di dunia mencapai USD8,4 miliar dengan 293 kesepakatan. Sedangkan di Asia Pasifik, transaksi fintech mencapai USD760 juta dengan 51 kesepakatan. Namun sayangnya, Indonesia belum terlihat signifikan dalam aspek fintech.
"Indonesia belum terlalu terlihat. Di Asia ini ekonomi digital yang dominasi adalah Tiongkok, Singapura, dan India. Kalau di Indonesia sendiri kan baru ramai tentang fintech sekitar 1-2 tahun belakangan ini. Tentu saja ini menjadi evaluasi kenapa kita tertinggal," tuturnya.
Dia tidak menampik ada sejumlah persoalan terkait perkembangan ekonomi digital termasuk digital keuangan di Indonesia. Salah satunya, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang dinilai terlalu moderat dan sangat berhati-hati.
Hal ini tentu tidak negatif, tetapi tentu perlu dicarikan solusi agar ekonomi digital bisa benar-benar memberi keuntungan. "Saya sudah bicara ini sejak 2008 tapi mulai ramainya itu 1-2 tahun belakangan ini. BI saat itu terbilang moderat. Karena menekankan tentang KYC, adanya pengawasan ketat money laundry, tentang dana teroris, dan lainnya. Tapi saya rasa, perlu ada upaya untuk bisa menyelesaikan tantangan ini," jelas Heru.
Sementara, Direktur Inovasi Teknologi Keuangan Hitachi Data System Genady Chybranov mengatakan, Hitachi baru saja meluncurkan Hitachi Vantara sebagai entitas bisnis baru untuk memberikan solusi manajemen bagi perusahaan komersial dan industri. Perusahaan ini gabungan dari operasional Hitachi Data Systems, Hitachi Insight Group, dan Pentaho.
Salah satu solusi yang ditawarkan Hitachi Vantara adalah kebutuhan untuk industri perbankan. Hal itu tidak lepas dari transformasi perbankan di Indonesia selama dua tahun hingga lima tahun ke depan akan sangat bergantung pada teknologi.
Karena itu, Hitachi Vantara menawarkan solusi untuk mengelola data dari infrastruktur dasar. Berbekal pemanfaatan analisis big data, perusahaan akan mendapatkan hasil tersebut secara real-time untuk membantunya menerapkan strategi terbaik dan meningkatkan kepuasaan nasabah.
"Melalui solusi yang kami tawarkan, perbankan dapat mengetahui profil nasabahnya secara lebih lengkap sehingga dapat mengoptimalkan pengalaman termasuk untuk beberapa kanal layanan perbankan," tuturnya dalam kesempatan sama.
Selain itu, untuk kebutuhan perbankan, solusi dari Hitachi Vantara juga dapat digunakan untuk keperluan blockchain. Di masa depan blockhain diprediksi sangat potensial.
"Blockchain memiliki masa depan cerah karena menghubungkan industri secara bersama. Karenanya, kami juga menawarkan solusi agar blockchain dapat bekerja dengan optimal," imbuh dia.
Genady menuturkan, pemanfaatan big data memungkinkan industri perbankan menciptakan layanan bisnis baru. Pengalaman nasabah, di sisi lain, juga akan semakin ditingkatkan hingga dapat dipersonalisasi sesuai kebutuhan pelanggan.
"Salah satu yang kami lakukan adalah mengembangkan pengalaman bertransaksi bagi nasabah bank di kantor cabang. Namun untuk hal ini, memang disesuaikan dengan kebutuhan bank itu sendiri. Adapun yang sudah kami terapkan adalah menciptakan self-service station," ujarnya.
(izz)