AirBnB Gerus Okupansi Hotel

Jum'at, 24 November 2017 - 10:50 WIB
AirBnB Gerus Okupansi...
AirBnB Gerus Okupansi Hotel
A A A
JAKARTA - Keberadaan bisnis berbasis online di Tanah Air tak henti mengusik bisnis konvensional. Setelah perusahaan taksi dan ojek pangkalan babak belur tergerus kehadiran Grab, Go-Jek, dan Uber, kini kalangan perhotelan juga sudah terusik.

Adalah aplikasi AirBnB yang dituding telah menggerus okupansi hotel kelas bawah. Kehadirannya di tengarai membuat konsumen lebih memilih pesan kamar diaplikasi tersebut karena bisa mendapatkan hunian sementara dengan harga lebih miring.

Atas kondisi tersebut, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintah mengambil sikap. Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan sharing economy tidak menjadi masalah sepanjang di lakukan dengan regulasi yang fair. Namun faktanya, persaingan yang terjadi tidak sehat.

“Menurut kami tidak fair. Hotel itu saat berdiri saja mesti pakai amdal, harus ikuti regulasi pemerintah daerah dan pusat, belum lagi bayar pajak ke pusat maupun daerah. Lalu tiba-tiba ada yang sama sekali tidak bayar, tapi ikut jualan,” ujarnya di Jakarta.

Dia menandaskan, pihaknya tidak masalah jika hanya satu atau dua unit akomodasi saja yang disewakan oleh setiap orang. Namun, jika ada para pemilik apartemen yang menyewakan da lam jumlah banyak dalam satu gedung maka hal itu patut dipertanyakan.

“Kalau mereka satu gedung apartemen ber kumpul jadi satu, itu kan sama saja mereka bikin service apartment. Kenapa enggak bikin hotel saja sekalian?” cetusnya.

Hariyadi mengakui PHRI belum melakukan pembicaraan secara resmi dengan pemerintah terkait masalah yang timbul atas keberadaan platform sharing economy disektor akomodasi itu.

Namun, dia menandaskan pihaknya tengah fokus meminta kepada pemerintah untuk membenahi regulasi terkait Online Travel Agent (OTA) asing, dengan tujuan agar OTA asing mendirikan badan usaha tetap (BUT) di Indonesia sehingga OTA asing itu juga bisa dipungut pajak.

“Selama ini yang dikejar-kejar PPH 26 kan pihak hotel, padahal kami dari hotel enggak bisa motong. Kita minta mereka ikut aturan kita perpajakan kita sehingga persaingan lebih sehat dan level playing field-nya sama. Dengan begitu, kami juga bisa mengoreksi komisinya supaya realistis, ya sekitar 15% lah,” tuturnya.

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo Samuel A Pengerapan mengatakan saat ini Menteri Kominfo Rudiantara terus melakukan koordinasi dengan Menteri Pariwisata Arief Yahya terkait tuntutan PHRI, termasuk untuk untuk memblokir aplikasi AirBnB di Indonesia.

Dari hasil pembicaraan dengan kementerian terkait tersebut akan disimpulkan nasib aplikasi AirBnB di Tanah Air, yaitu apakah itu di blokir atau tetap beroperasi dengan be berapa ketentuan. Meski demikian, Samuel masih belum bisa menyebutkan kapan hal tersebut akan diputuskan.

“Yang pasti, Pak Menteri Rudiantara sudah membuat langkah dengan membahas dengan Kemenpar; untuk hasilnya, nanti kita informasikan lagi,” jelas Samuel tadi malam. Samuel mengakui, keberadaan layanan sewa rumah atau pun apartemen berbasis teknologi tersebut tidak bisa di hindari.

Untuk itu, pemerintah masih mendalami keuntungan dan kerugian dari keberadaan aplikasi AirBnB di Tanah Air. “Tidak selamanya merugikan, ini ada keuntungannya juga, bisa mendorong ekonomi masyarakat. Untuk itu, kami masih akan membahas agar industri ini bisa tetap kondusif,” tutupnya.

Head of Public Policy AirBnB Southeast Asia Mich Goh mengatakan, konsep home sharing membawa manfaat besar bagi bangsa Indonesia, mulai diversifikasi pariwisata hingga menghasilkan aktivitas ekonomi yang signifikan bagi masyara kat lokal dan sekitarnya. Sampai saat ini, ada lebih dari 880.000 tamu yang datang ke Indonesia dengan menggunakan jasa AirBnB.

Sementara tuan rumah AirBnB di Indonesia telah memperoleh pemasuk an lebih dari Rp1 triliun dalam setahun terakhir dari hasil menyewakan rumah mereka.

“Konsep home sharing juga telah membantu dalam menyalurkan manfaat wisata di luar destinasi liburan pada umumnya, memungkinkan beragam komunitas memperoleh manfaat dari pariwisata dan perhotelan,” ujar Goh dalam pernyataan tertulisnya kemarin.

Terkait pembayaran pajak seperti yang disorot sejumlah pihak, AirBnB menyatakan bahwa mereka mengikuti per aturan yang berlaku. Layanan aplikasi berbasis di Amerika Serikat (AS) itu memastikan membayar semua pajak yang harus di bayarkan di seluruh dunia.

“Pajak perusahaan adalah pajak atas laba, dan AirBnB adalah perusahaan muda yang banyak berinvestasi di masa depan,” ujar dia.

AirBnB juga menerangkan bahwa tuan rumah AirBnB dipastikan mendapat 97% biaya yang dikenakan kepada penyewa. Dalam setahun terakhir, tuan rumah AirBnB di Indonesia Rp28,4 juta dengan total pendapatan seluruh tuan rumah Rp1,15 triliun.

“Kami mendorong jumlah masyarakat untuk berwisata dan berbelanja di lingkungan lokal seki tar nya. Ini berarti bahwa seba gian besar uang yang di ha sil kan oleh platform AirBnB te tap berada dimasyarakat setempat,” ujarnya. AirBnB adalah pionir dalam layanan marketplace akomodasi yang dikembangkan sejak 2008 di AS.

AirBnB yang merupakan singkatan dari air bed and breakfast memiliki model bisnis seperti Uber, bertindak selaku broker bagi pemilik rumah, apartemen, atau tempat menginap lainnya untuk disewakan kepada konsumen yang membutuhkan.

Konsep tersebut mendapat sambutan dari para pelancong yang biasanya bepergian karena mereka bisa mendapatkan harga lebih murah ketimbang hotel. Terbukti, sejak berdiri sembilan tahun beroperasi, tercatat sudah ada lebih dari 220 juta tamu yang menginap di seluruh dunia.

Pengamat marketing Yuswohady berpendapat kehadiran AirBnB yang di Indonesia dan kemudian di anggap menggerus pasar perhotelan, sama halnya ketika para pengusaha taksi konvensional berhadapan dengan taksi online seperti Uber, Grab, dan Go-Jek.

Kondisi yang dialami dunia perhotelan tersebut, ujar Yuswohady, lagi-lagi menunjukkan bahwa saat ini merupakan era disrupsi yang tidak bisa dihindari. Selain itu, keluhan yang disampaikan PHRI kembali menegaskan bahwa teknologi selalu bergerak lebih cepat dibandingkan regulasi yang ada.

“Hadirnya inovasi teknologi memungkinkan masyarakat melakukan sharing economi sehingga lebih efisien. Namun, di sisi lain ada yang merasa terganggu karena akan ke hi lang an eksistensi,” ujar dia.

Kendati demikian, dia berkeyakinan bahwa ada satu hal yang tidak bisa dibentuk oleh aplikasi online, yakni terkait corporate culture alias budaya perusahaan.

Menurutnya, sebuah perusahaan yang memiliki kultur budaya yang kuat akan dapat bertahan karena mereka memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan punya rasa memiliki yang tinggi dibanding yang berbasis online.

“Ini yang masih banyak orang tidak percaya. Padahal menurut saya, corporate culture ini sangat penting. Contoh lihat saja bagaimana Blue Bird yang dulu sempat tergerus pasarnya karena kehadiran taksi online. Karena mereka konsisten memberikan pelayanan yang baik, Blue Bird tetap jadi pilihan bagi konsumen yang ingin pelayanan bagus,” ujar dia.

Dia memperkirakan akan banyak industri yang terdampak dari kehadiran inovasi teknologi berbasis aplikasi ini. Setelah dulu di sektor transportasi, kini sektor perhotelan, bisa jadi nanti kehadiran fin ancial technology (fintech) juga akan menjadi tantangan besar bagi industri keuangan pada masa mendatang. (Inda Susanti/Heru Febrianto/Yanto Kusdiantono)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0706 seconds (0.1#10.140)