Kegiatan Operasional RAPP Terkendala RKU
A
A
A
JAKARTA - PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) tidak bisa lagi melakukan kegiatan operasional secara maksimal. Penyebabnya, karena Rencana Kerja Usaha (RKU) yang diperbaharui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ditolak. Padahal, RKU ini sangat penting untuk berlangsungnya proses produksi perusahaan.
"Izin kita memang tidak dicabut. Tapi kalau RKU ini tidak ada, kita juga tidak bisa jalan. Antara RKU dan IUP ini berdampingan, ini syarat wajib dan sudah ketentuannya seperti itu," kata juru bicara PT RAPP Andi Ryza Fardiansyah dalam keterangan resmi, Rabu (13/12/2017).
Andi yang juga bertindak sebagai kuasa hukum RAPP itu mengatakan, seharusnya KLHK bisa memberikan ketentuan peralihan pada saat RKU tengah direvisi. Sebab tidak mungkin sambil menunggu perbaikan RKU ini, perusahaan dibiarkan terlantar.
Andi juga mengkritik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dianggap inkonsisten. Kebijakan KLHK yang menerbitkan surat keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pembatalan keputusan Menteri Kehutanan No. SK.93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010-2019.
Dia mengatakan, SK tersebut mengakibatkan PT RAPP dan perusahaan yang mengelola hutan lain yang mengelola hutan milik pemerintah wajib melakukan revisi RKU. "Padahal RKU yang sudah ada dianggap telah memenuhi syarat," katanya.
Pemerintah memberikan sinyal bahwa dengan RKU yang ada, PT RAPP masih bisa menjalankan operasional perusahaan. Namun, izin tersebut hanya diberikan secara lisan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Izin ini dianggap bisa menimbulkan persoalan baru karena tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap.
"Memberikan izin secara lisan tapi RKU dibatalkan. Ini inkonsisten. Kami jadi bingung apakah ini diberikan izin atau tidak," kata Andi.
Andi menjelaskan, PT RAPP selama ini melakukan operasional usahanya berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup 93/2010 yang membuat perusahaan bisa memanfaatkan lahan hutan hingga 2019. Namun, di tengah jalan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 57/2016 tentang Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Gambut, izin yang telah diberikan kepada PT RAPP kemudian harus dikaji ulang dengan melakukan revisi RKU.
PP ini seharusnya tidak bisa membatalkan secara sepihak RKU yang telah diterbitkan sebelumnya. Musababnya dalam pasal 45 huruf a ketentuan peralihan PP 71/2014 jo. PP 57/2016 disebutkan bahwa izin usaha atau ekosistem untuk memanfaatkan Ekosistem Gambut pada fungsi hutan lindung Ekosistem Gambut yang telah terbit sebelum peraturan pemerintah ini berlaku dan sudah beroperasi, dinyatakan tetap berlaku sampai jagka waktu izin berakhir.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bandung, Bagir Manan menjelaskan, asas yang dipakai dalam menerapkan peraturan baru termasuk peraturan perubahan hanya mengikat ke depan (future binding). Mantan Ketua Mahkamah Agung ini mengatakan, berbagai akibat yang mengikat ke depan, maka peraturan baru tidak boleh berlaku surut atau non-retroaktif.
"Peraturan hanya mengikat ke depan atau future binding, dan sanksi semacam itu tidak diatur oleh peraturan terdahulu. Pemegang izin tidak dapat dikenakan sanksi karena di masa lalu tidak melaksanakan kewajiban. Penerapan sanksi hanya dapat diterapkan kalau terjadi pelanggaran di masa depan," kata Bagir.
Dia menjelaskan, ketentuan PP Nomor 57 Tahun 2016 sebagai PP baru pengganti PP Nomor 17 Tahun 2014 dapat dipandang sebagai sekadar penegasan atas ketentuan PP lama yang harus dipatuhi. "Namun, apabila persyaratan atau izin sudah ada, PP yang baru tidak dapat dijadikan dasar untuk secara serta merta mencabut perizinan usaha yang sudah ada. Ini merupakan asas yang berlaku ke depan," kata Bagir.
"Izin kita memang tidak dicabut. Tapi kalau RKU ini tidak ada, kita juga tidak bisa jalan. Antara RKU dan IUP ini berdampingan, ini syarat wajib dan sudah ketentuannya seperti itu," kata juru bicara PT RAPP Andi Ryza Fardiansyah dalam keterangan resmi, Rabu (13/12/2017).
Andi yang juga bertindak sebagai kuasa hukum RAPP itu mengatakan, seharusnya KLHK bisa memberikan ketentuan peralihan pada saat RKU tengah direvisi. Sebab tidak mungkin sambil menunggu perbaikan RKU ini, perusahaan dibiarkan terlantar.
Andi juga mengkritik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dianggap inkonsisten. Kebijakan KLHK yang menerbitkan surat keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pembatalan keputusan Menteri Kehutanan No. SK.93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010-2019.
Dia mengatakan, SK tersebut mengakibatkan PT RAPP dan perusahaan yang mengelola hutan lain yang mengelola hutan milik pemerintah wajib melakukan revisi RKU. "Padahal RKU yang sudah ada dianggap telah memenuhi syarat," katanya.
Pemerintah memberikan sinyal bahwa dengan RKU yang ada, PT RAPP masih bisa menjalankan operasional perusahaan. Namun, izin tersebut hanya diberikan secara lisan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Izin ini dianggap bisa menimbulkan persoalan baru karena tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap.
"Memberikan izin secara lisan tapi RKU dibatalkan. Ini inkonsisten. Kami jadi bingung apakah ini diberikan izin atau tidak," kata Andi.
Andi menjelaskan, PT RAPP selama ini melakukan operasional usahanya berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup 93/2010 yang membuat perusahaan bisa memanfaatkan lahan hutan hingga 2019. Namun, di tengah jalan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 57/2016 tentang Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Gambut, izin yang telah diberikan kepada PT RAPP kemudian harus dikaji ulang dengan melakukan revisi RKU.
PP ini seharusnya tidak bisa membatalkan secara sepihak RKU yang telah diterbitkan sebelumnya. Musababnya dalam pasal 45 huruf a ketentuan peralihan PP 71/2014 jo. PP 57/2016 disebutkan bahwa izin usaha atau ekosistem untuk memanfaatkan Ekosistem Gambut pada fungsi hutan lindung Ekosistem Gambut yang telah terbit sebelum peraturan pemerintah ini berlaku dan sudah beroperasi, dinyatakan tetap berlaku sampai jagka waktu izin berakhir.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bandung, Bagir Manan menjelaskan, asas yang dipakai dalam menerapkan peraturan baru termasuk peraturan perubahan hanya mengikat ke depan (future binding). Mantan Ketua Mahkamah Agung ini mengatakan, berbagai akibat yang mengikat ke depan, maka peraturan baru tidak boleh berlaku surut atau non-retroaktif.
"Peraturan hanya mengikat ke depan atau future binding, dan sanksi semacam itu tidak diatur oleh peraturan terdahulu. Pemegang izin tidak dapat dikenakan sanksi karena di masa lalu tidak melaksanakan kewajiban. Penerapan sanksi hanya dapat diterapkan kalau terjadi pelanggaran di masa depan," kata Bagir.
Dia menjelaskan, ketentuan PP Nomor 57 Tahun 2016 sebagai PP baru pengganti PP Nomor 17 Tahun 2014 dapat dipandang sebagai sekadar penegasan atas ketentuan PP lama yang harus dipatuhi. "Namun, apabila persyaratan atau izin sudah ada, PP yang baru tidak dapat dijadikan dasar untuk secara serta merta mencabut perizinan usaha yang sudah ada. Ini merupakan asas yang berlaku ke depan," kata Bagir.
(ven)