Hipka: Waspadai Turbulensi Ekonomi Tahun Depan
A
A
A
JAKARTA - Memasuki tahun 2018 menjadi tantangan tersendiri bagi dunia usaha. Optimisme menangkap peluang pertumbuhan ekonomi membutuhkan kejelian di tengah tahun politik.
Presidium Majelis Nasional KAHMI yang juga Ketua BPP Himpunan Pengusaha KAHMI (Hipka) Kamrussamad mengatakan, proyeksi ekonomi Indonesia 2018 berpotensi turbulensi jika Pilkada serentak tidak dapat dikendalikan dan diamankan dengan baik.
"Jika tak terkendali dapat berdampak hengkangnya investor yang memang sudah cemas menghadapi tahun politik 2018-2019," kata dia di sela peluncuran Program Gerakan Wirausaha Berdaya (Garuda) di Madiun, Jawa Timur, akhir pekan lalu.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 sekitar 5,0% dengan skala prioritas kebijakan pembangunan infrastruktur nasional belum mampu menggerakan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara maksimal.
Salah satu indikator kecemasan adalah tingkat kemiskinan mengalami kenaikan data BPS maret 2017 1,83% menjadi 27.771.220 orang yang terbagi 10.670.000 orang berada di kota dan 17.101.220 orang berada di Pedesaan.
Dia menuturkan, kemiskinan meningkat karena diakibatkan dua hal yaitu angka pengangguran semakin meningkat, tercatat angkatan kerja Indonesia 131 juta. Sedangkan terserap 124 juta orang dan juga jika dibanding pertumbuhan angkatan kerja 3 juta per tahun, sementara daya serap 150.000 orang per tahun.
Faktor kedua yang berpotensi meningkatkan kemiskinan adalah ketimpangan ekonomi indeks rasio gini 2017 secara nasional sebesar 0,40-0,41 sedangkan rasio gini untuk daerah sebesar 0,33-0,41.
Kamrussamad mengatakan, angin segar pada 2018 sejatinya masih berhembus. Optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terlihat dari proyeksi Bank Dunia. Tahun 2018, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia dapat tumbuh 5,3%.
Angka tersebut lebih tinggi dari proyeksi 2017 yang sebesar 5,1%. Proyeksi itu ditopang oleh membaiknya konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.
Selain pertumbuhan ekonomi yang masih optimistis, kata Kamrussamad, statistik perbankan Indonesia juga mencatat nilai kredit pembiayaan masih cukup tinggi, yakni Rp26,87 triliun. Kondisi ini mampu mendorong dunia usaha kembali menggeliat.
"Di sisi lain, butuh sumber daya manusia yang berkualitas dalam mengantisipasi perubahan dunia yang cepat di era digitalisasi saat ini," pungkas Kamrussamad.
Presidium Majelis Nasional KAHMI yang juga Ketua BPP Himpunan Pengusaha KAHMI (Hipka) Kamrussamad mengatakan, proyeksi ekonomi Indonesia 2018 berpotensi turbulensi jika Pilkada serentak tidak dapat dikendalikan dan diamankan dengan baik.
"Jika tak terkendali dapat berdampak hengkangnya investor yang memang sudah cemas menghadapi tahun politik 2018-2019," kata dia di sela peluncuran Program Gerakan Wirausaha Berdaya (Garuda) di Madiun, Jawa Timur, akhir pekan lalu.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 sekitar 5,0% dengan skala prioritas kebijakan pembangunan infrastruktur nasional belum mampu menggerakan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara maksimal.
Salah satu indikator kecemasan adalah tingkat kemiskinan mengalami kenaikan data BPS maret 2017 1,83% menjadi 27.771.220 orang yang terbagi 10.670.000 orang berada di kota dan 17.101.220 orang berada di Pedesaan.
Dia menuturkan, kemiskinan meningkat karena diakibatkan dua hal yaitu angka pengangguran semakin meningkat, tercatat angkatan kerja Indonesia 131 juta. Sedangkan terserap 124 juta orang dan juga jika dibanding pertumbuhan angkatan kerja 3 juta per tahun, sementara daya serap 150.000 orang per tahun.
Faktor kedua yang berpotensi meningkatkan kemiskinan adalah ketimpangan ekonomi indeks rasio gini 2017 secara nasional sebesar 0,40-0,41 sedangkan rasio gini untuk daerah sebesar 0,33-0,41.
Kamrussamad mengatakan, angin segar pada 2018 sejatinya masih berhembus. Optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terlihat dari proyeksi Bank Dunia. Tahun 2018, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia dapat tumbuh 5,3%.
Angka tersebut lebih tinggi dari proyeksi 2017 yang sebesar 5,1%. Proyeksi itu ditopang oleh membaiknya konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.
Selain pertumbuhan ekonomi yang masih optimistis, kata Kamrussamad, statistik perbankan Indonesia juga mencatat nilai kredit pembiayaan masih cukup tinggi, yakni Rp26,87 triliun. Kondisi ini mampu mendorong dunia usaha kembali menggeliat.
"Di sisi lain, butuh sumber daya manusia yang berkualitas dalam mengantisipasi perubahan dunia yang cepat di era digitalisasi saat ini," pungkas Kamrussamad.
(izz)