Kepala Bekraf Triawan Munaf: Semangat Menata Industri Kreatif
A
A
A
PEMERINTAH mempunyai mimpi besar mengembangkan sektor ekonomi kreatif. Sektor ini diyakini mampu bersaing dengan negara lain karena negeri ini memiliki modal ide-ide segar dari para pelaku usaha rintisan. Kendati demikian, masih perlu perbaikan di segala sisi agar anak-anak muda kreatif memiliki kanal khusus yang bisa mengakomodasi karyakarya mereka. Harapannya, sektor ini secara ekonomi bisa dirasakan oleh masyarakat luas.
"Kalau dari sisi kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan produk kita tidak kalah dengan luar, tinggal bagaimana kita membangun mindset agar bisa lebih mengglobal," ujar Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf saat wawancara khusus dengan KORAN SINDO di kantornya beberapa waktu lalu.
Pada kesempatan tersebut Triawan bercerita banyak soal lembaga yang dipimpinnya terkait apa saja yang telah dan akan dikerjaan pada tahun depan. Berikut petikan wawancaranya;
Presiden sangat concern di ekonomi kreatif, bagaimana Bekraf menjalankannya?
Ya, kita akan laksanakan. Ini memang jadi andalan ke depannya. Tapi kalau boleh saya gambarkan, ekonomi kreatif ini sebagai anatomi tubuh manusia, kita harus bisa menyembuhkan penyakit di tubuh dan di sisi lain bagaimana agar tubuh ini tetap tumbuh. Nah, dengan kondisi seperti ini, kita harus menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga harus mengakomodasi kepentingan pelaku usaha agar tetap jalan.
Apa saja tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan ekonomi kreatif?
Yang jelas, koordinasi antarinstitusi harus terus ditingkatkan. Kita harus mengatasi ketertinggalan di beberapa sektor yang masih kalah dibanding negara lain. Dan, yang juga penting adalah soal pendataan produk domestik bruto (PDB) di sektor ekonomi kreatif, masih banyak data aktivitas ekonomi dari sektor musik dan pertunjukan lain yang belum terekam sehingga tidak diketahui kontribusinya.
Apa saja sektor ekonomi kreatif yang diunggulkan tahun depan?
Digital. Dari sekian banyak subsektotr di Bekraf, sektor digital ini termasuk yang kami unggulkan. Secara umum, kita memiliki enam program unggulan yakni riset, edukasi, dan pengembangan program; pendanaan; pengembangan infrastruktur; promosi dan branding; penguatan hak kekayaan intelektual; dan hubungan antarlembaga.
Terkait infrastruktur ekonomi kreatif apakah sudah mendukung?
Kita ingin berikan insentif kepada pelaku usaha yang mengembangkan infrastruktrur yang mendukung ekonomi kreatif. Salah satunya bioskop. Ini berkat direvisinya Daftar Negatif Investasi (DNI) yang kini memberikan keleluasan bagi investor asing. Sudah ada Lotte Cinema dari Korea Selatan yang akan buka sejumlah layar bioskop di beberapa daerah mulai tahun depan. Tapi, ini sekali lagi ini soal bisnis, jadi tergantung kesiapan investor dan daerah yang punya lokasi. Yang saya tahu Lotte Cinema itu memang sedang gencar ekspansi di Indonesia. Mereka sangat cepat bergerak.
Soal regulasi?
Akan terus diperbaiki pastinya. Untuk memudahkan investor masuk kita harus mempermudah prosedur dan memperjelas. Misalnya saja ketika ada kesempatan untuk mempromosikan daerah melalui promo film, daerah itu mau agar mereka dijadikan tempat syuting film.
Bagaimana terkait perpajakan? Kemarin kan sempat ramai para penulis yang protes soal pajak?
Itu terus kita diskusikan bersama dengan pihak-pihak berkepentingan. Kita punya kelompok kerja (pokja) untuk bahas pajak penulisan. Nanti kita buat usulan kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di Kementerian Keuangan untuk menyampaikan solusinya. Terus yang kita upayakan juga adalah apakah ada insentif bagi pelaku usaha, agar dapat insentif. Ini tidak mudah, karena saya bukan ahlinya. Makanya kita undang konsultan pajak, penulis seperti Dewi Lestari juga kita ajak, juga dari pihak toko buku dan penerbit.
Berapa lama pembahasannya?
Kami sudah beberapa kali bertemu. Hasilnya nanti bukan kebijakan semata tetapi ekosistemnya. Bagaimana kita selaku pemerintah memberikan wadah agar pelaku usaha bisa berkreasi. Istilahnya, kita ini menyediakan akuariumnya, sehingga ikannya bisa berenang dengan nyaman.
Industri musik bagaimana?
Di sektor ini, kami sedang mengembangkan Platform Project Portamento. Ini adalah sistem di mana nantinya para musisi akan dengan mudah mengontrol siapa yang menggunakan karya mereka dan untuk apa penggunaannya. Dengan projek ini, seorang musisi bisa mengetahui secara detail, berapa rupiah yang masuk ke rekeningnya jika karyanya digunakan, sehingga hitungannya jelas. Tanpa sistem seperti ini, sampai kapan pun tidak akan beres karena tidak terkontrol. Kita tidak usah pusing dengan pembajakan CD atau yang lain karena itu susah sekali. Dengan Portamento kita akan lebih tahu karya kita dan harga karya kita.
Sejauh mana kontribusi Bekraf ke ekonomi nasional?
Data kita di 2015 itu sekitar Rp852 triliun kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Target saya pada 2017 ini bisa tembus Rp1.000 triliun. Kalau setiap tahun terjadi pertumbuhan sekitar Rp70 triliun itu bisa terus tumbuh konstan itu bagus sekali buat kita.
Soal permodalan ekonomi kreatif apa solusi yang ditawarkan?
Bekraf punya dana untuk bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Untuk pengembangan infrastruktur maupun untuk produksi karya. Intinya, sarana-sarana kreasi di berbagai tempat di daerah yang perlu dana bisa mengajukan dan kita bisa bantu. Misalnya, Pemerintah Daerah punya gedung kosong, tetapi mereka tidak punya dana, bisa diajukan ke kita. Kita sekarang punya aplikasi https://satupintu.bekraf.go.id. Dengan link ini, masyarakat bisa memasukkan proposal untuk memperolah pendanaan.
Aplikasi ini sangat membantu karena kalau manual repot. Natinya, proposal yang masuk melalui internet akan disaring. Selain itu, di Deputi Akses Permodalan, kita punya program Akatara. Ini adalah program untuk menjembatani para sineas perfilman yang ingin mencari investor. Kita pernah menggelar program fasilitasi ini dan responsnya bagus. Para sineas dan calon invstor bisa bertemu. Nilai yang bisa dikucurkan pun bervariasi, mulai dari Rp25 juta hingga miliaran. Sekarang kan banyak startup yang disuntik investor karena menarik. Padahal, di film itu juga prospektif. Di film, potensinya besar karena rata-rata peluang keberhasilannya bisa 14%, sementara di startup hanya 7-8%.
Pemerintah sedang menggodok pajak e-commerce apakah Bekraf diajak bicara?
Ya. Kita ikut terlibat juga untuk masalah ini. Saya setuju dengan itu. Yang saya belum puas adalah kenapa pelaku usaha e-commerce luar negeri belum dipajaki. Kita kurang tegas di situ. Kalau misalnya mereka tidak bayar pajak, tutup saja dulu. Kasihan kan pelaku e-commerce kita yang bayar pajak.
"Kalau dari sisi kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan produk kita tidak kalah dengan luar, tinggal bagaimana kita membangun mindset agar bisa lebih mengglobal," ujar Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf saat wawancara khusus dengan KORAN SINDO di kantornya beberapa waktu lalu.
Pada kesempatan tersebut Triawan bercerita banyak soal lembaga yang dipimpinnya terkait apa saja yang telah dan akan dikerjaan pada tahun depan. Berikut petikan wawancaranya;
Presiden sangat concern di ekonomi kreatif, bagaimana Bekraf menjalankannya?
Ya, kita akan laksanakan. Ini memang jadi andalan ke depannya. Tapi kalau boleh saya gambarkan, ekonomi kreatif ini sebagai anatomi tubuh manusia, kita harus bisa menyembuhkan penyakit di tubuh dan di sisi lain bagaimana agar tubuh ini tetap tumbuh. Nah, dengan kondisi seperti ini, kita harus menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga harus mengakomodasi kepentingan pelaku usaha agar tetap jalan.
Apa saja tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan ekonomi kreatif?
Yang jelas, koordinasi antarinstitusi harus terus ditingkatkan. Kita harus mengatasi ketertinggalan di beberapa sektor yang masih kalah dibanding negara lain. Dan, yang juga penting adalah soal pendataan produk domestik bruto (PDB) di sektor ekonomi kreatif, masih banyak data aktivitas ekonomi dari sektor musik dan pertunjukan lain yang belum terekam sehingga tidak diketahui kontribusinya.
Apa saja sektor ekonomi kreatif yang diunggulkan tahun depan?
Digital. Dari sekian banyak subsektotr di Bekraf, sektor digital ini termasuk yang kami unggulkan. Secara umum, kita memiliki enam program unggulan yakni riset, edukasi, dan pengembangan program; pendanaan; pengembangan infrastruktur; promosi dan branding; penguatan hak kekayaan intelektual; dan hubungan antarlembaga.
Terkait infrastruktur ekonomi kreatif apakah sudah mendukung?
Kita ingin berikan insentif kepada pelaku usaha yang mengembangkan infrastruktrur yang mendukung ekonomi kreatif. Salah satunya bioskop. Ini berkat direvisinya Daftar Negatif Investasi (DNI) yang kini memberikan keleluasan bagi investor asing. Sudah ada Lotte Cinema dari Korea Selatan yang akan buka sejumlah layar bioskop di beberapa daerah mulai tahun depan. Tapi, ini sekali lagi ini soal bisnis, jadi tergantung kesiapan investor dan daerah yang punya lokasi. Yang saya tahu Lotte Cinema itu memang sedang gencar ekspansi di Indonesia. Mereka sangat cepat bergerak.
Soal regulasi?
Akan terus diperbaiki pastinya. Untuk memudahkan investor masuk kita harus mempermudah prosedur dan memperjelas. Misalnya saja ketika ada kesempatan untuk mempromosikan daerah melalui promo film, daerah itu mau agar mereka dijadikan tempat syuting film.
Bagaimana terkait perpajakan? Kemarin kan sempat ramai para penulis yang protes soal pajak?
Itu terus kita diskusikan bersama dengan pihak-pihak berkepentingan. Kita punya kelompok kerja (pokja) untuk bahas pajak penulisan. Nanti kita buat usulan kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di Kementerian Keuangan untuk menyampaikan solusinya. Terus yang kita upayakan juga adalah apakah ada insentif bagi pelaku usaha, agar dapat insentif. Ini tidak mudah, karena saya bukan ahlinya. Makanya kita undang konsultan pajak, penulis seperti Dewi Lestari juga kita ajak, juga dari pihak toko buku dan penerbit.
Berapa lama pembahasannya?
Kami sudah beberapa kali bertemu. Hasilnya nanti bukan kebijakan semata tetapi ekosistemnya. Bagaimana kita selaku pemerintah memberikan wadah agar pelaku usaha bisa berkreasi. Istilahnya, kita ini menyediakan akuariumnya, sehingga ikannya bisa berenang dengan nyaman.
Industri musik bagaimana?
Di sektor ini, kami sedang mengembangkan Platform Project Portamento. Ini adalah sistem di mana nantinya para musisi akan dengan mudah mengontrol siapa yang menggunakan karya mereka dan untuk apa penggunaannya. Dengan projek ini, seorang musisi bisa mengetahui secara detail, berapa rupiah yang masuk ke rekeningnya jika karyanya digunakan, sehingga hitungannya jelas. Tanpa sistem seperti ini, sampai kapan pun tidak akan beres karena tidak terkontrol. Kita tidak usah pusing dengan pembajakan CD atau yang lain karena itu susah sekali. Dengan Portamento kita akan lebih tahu karya kita dan harga karya kita.
Sejauh mana kontribusi Bekraf ke ekonomi nasional?
Data kita di 2015 itu sekitar Rp852 triliun kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Target saya pada 2017 ini bisa tembus Rp1.000 triliun. Kalau setiap tahun terjadi pertumbuhan sekitar Rp70 triliun itu bisa terus tumbuh konstan itu bagus sekali buat kita.
Soal permodalan ekonomi kreatif apa solusi yang ditawarkan?
Bekraf punya dana untuk bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Untuk pengembangan infrastruktur maupun untuk produksi karya. Intinya, sarana-sarana kreasi di berbagai tempat di daerah yang perlu dana bisa mengajukan dan kita bisa bantu. Misalnya, Pemerintah Daerah punya gedung kosong, tetapi mereka tidak punya dana, bisa diajukan ke kita. Kita sekarang punya aplikasi https://satupintu.bekraf.go.id. Dengan link ini, masyarakat bisa memasukkan proposal untuk memperolah pendanaan.
Aplikasi ini sangat membantu karena kalau manual repot. Natinya, proposal yang masuk melalui internet akan disaring. Selain itu, di Deputi Akses Permodalan, kita punya program Akatara. Ini adalah program untuk menjembatani para sineas perfilman yang ingin mencari investor. Kita pernah menggelar program fasilitasi ini dan responsnya bagus. Para sineas dan calon invstor bisa bertemu. Nilai yang bisa dikucurkan pun bervariasi, mulai dari Rp25 juta hingga miliaran. Sekarang kan banyak startup yang disuntik investor karena menarik. Padahal, di film itu juga prospektif. Di film, potensinya besar karena rata-rata peluang keberhasilannya bisa 14%, sementara di startup hanya 7-8%.
Pemerintah sedang menggodok pajak e-commerce apakah Bekraf diajak bicara?
Ya. Kita ikut terlibat juga untuk masalah ini. Saya setuju dengan itu. Yang saya belum puas adalah kenapa pelaku usaha e-commerce luar negeri belum dipajaki. Kita kurang tegas di situ. Kalau misalnya mereka tidak bayar pajak, tutup saja dulu. Kasihan kan pelaku e-commerce kita yang bayar pajak.
(amm)