Jokowi Sulit Wujudkan Target Pertumbuhan Ekonomi Nasional
A
A
A
YOGYAKARTA - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional yang dipatok 5,2%. Kemungkinan laju pertumbuhan ekonomi pada 2017 hanya 5,1%.
"Hampir dipastikan laju pertumbuhan ekonomi 2017 tidak memenuhi target APBN, yakni 5,1% dari target 5,2%," jelas Rektor Universitas Widya Mataram, Edy Suandi Hamid, pada pertemuan media bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Yogyakarta di Jogja City Mall Yogyakarta dengan topik Prospek ekonomi dan Bisnis 2018, Kamis (21/12/2017).
Sejak tahun 2015, laju pertumbuhan ekonomi selalu di bawah target, yakni hanya 4,88% dari target 5,2%. Itu merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 2009. Begitu juga di tahun 2016, hanya tumbuh 5,02% dari target 5,3%.
Menurut Edy, hal yang sama bukan tidak mungkin lagi terjadi tahun 2018 nanti, yakni pertumbuhan ekonomi di bawah target. Padahal target yang ditetapkan tidak terlalu tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi pada masa rezim-rezim sebelumnya. Seperti era pemerintahan SBY maupun pemerintahan Soeharto, yang jauh mampu menunjukkan pertumbuhan ekonomi.
Realitas pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun terakhir ini, jauh dari janji-janji kampanye saat pencapresan. Dimana dalam kampanye selalu menargetkan rata-rata pertumbuhan ekonomi 7% per tahun. Bahkan sempat dijanjikan akan mampu tumbuh dua digit.
Situasi perekonomian dunia yang tidak kondusif, yang cenderung melemah, utamanya yang banyak bermitra dengan Indonesia, yakni China serta Amerika Serikat, menjadi kambing hitam dari target-target yang tidak tercapai itu. Ini menunjukkan bahwa mesin birokrasi yang ada belum bergerak maksimal untuk melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah yang sebetulnya di atas kertas sudah cukup baik.
Presiden sebenarnya sudah mewujudkan paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan mencapai 16 jilid. Pembangunan infrastruktur yang besar-besaran, pengucuran dana desa yang terus meningkat, belum maksimal menggerakkan perekonomian lebih cepat. Program pembangunan seperti ini tidak sepenuhnya efektif, dan dampaknya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang.
"Ini tidak lepas dari beban anggaran berat untuk melaksanakannya dan membebani banyak BUMN untuk merealisasikannya" ujarnya.
Edy yang juga menjadi pengurus ISEI ini, memandang laju pertumbuhan ekonomi rendah tidak selalu buruk, sepanjang berkualitas. Perlu dukungan fiskal yang ekspansif. Masalahnya, APBN 2018 juga cukup berat dengan belanja negara Rp2.220 triliun dan pendapatan negara sebesar Rp 1.894,7 triliun.
"Tahun 2018, suhu politik akan memanas yang bisa menimbulkan ketidakpastian dalam perekonomian nasional," jelasnya.
Sekretaris ISEI Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Susilo mengatakan tahun 2018 yang merupakan tahun politik bisa memberikan dampak positif dan negatif dalam perekonomian. Tahun politik bisa memberikan ekspansi terhadap belanja ekonomi masyarakat. Partai akan menggelontorkan dana bagi konstituante yang akan menggerakan konsumsi.
"Tetapi investor juga akan wait and see, apakah nanti akan aman atau tidak. Mereka tidak mau mengambil risiko dengan berspekulasi," jelasnya.
"Hampir dipastikan laju pertumbuhan ekonomi 2017 tidak memenuhi target APBN, yakni 5,1% dari target 5,2%," jelas Rektor Universitas Widya Mataram, Edy Suandi Hamid, pada pertemuan media bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Yogyakarta di Jogja City Mall Yogyakarta dengan topik Prospek ekonomi dan Bisnis 2018, Kamis (21/12/2017).
Sejak tahun 2015, laju pertumbuhan ekonomi selalu di bawah target, yakni hanya 4,88% dari target 5,2%. Itu merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 2009. Begitu juga di tahun 2016, hanya tumbuh 5,02% dari target 5,3%.
Menurut Edy, hal yang sama bukan tidak mungkin lagi terjadi tahun 2018 nanti, yakni pertumbuhan ekonomi di bawah target. Padahal target yang ditetapkan tidak terlalu tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi pada masa rezim-rezim sebelumnya. Seperti era pemerintahan SBY maupun pemerintahan Soeharto, yang jauh mampu menunjukkan pertumbuhan ekonomi.
Realitas pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun terakhir ini, jauh dari janji-janji kampanye saat pencapresan. Dimana dalam kampanye selalu menargetkan rata-rata pertumbuhan ekonomi 7% per tahun. Bahkan sempat dijanjikan akan mampu tumbuh dua digit.
Situasi perekonomian dunia yang tidak kondusif, yang cenderung melemah, utamanya yang banyak bermitra dengan Indonesia, yakni China serta Amerika Serikat, menjadi kambing hitam dari target-target yang tidak tercapai itu. Ini menunjukkan bahwa mesin birokrasi yang ada belum bergerak maksimal untuk melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah yang sebetulnya di atas kertas sudah cukup baik.
Presiden sebenarnya sudah mewujudkan paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan mencapai 16 jilid. Pembangunan infrastruktur yang besar-besaran, pengucuran dana desa yang terus meningkat, belum maksimal menggerakkan perekonomian lebih cepat. Program pembangunan seperti ini tidak sepenuhnya efektif, dan dampaknya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang.
"Ini tidak lepas dari beban anggaran berat untuk melaksanakannya dan membebani banyak BUMN untuk merealisasikannya" ujarnya.
Edy yang juga menjadi pengurus ISEI ini, memandang laju pertumbuhan ekonomi rendah tidak selalu buruk, sepanjang berkualitas. Perlu dukungan fiskal yang ekspansif. Masalahnya, APBN 2018 juga cukup berat dengan belanja negara Rp2.220 triliun dan pendapatan negara sebesar Rp 1.894,7 triliun.
"Tahun 2018, suhu politik akan memanas yang bisa menimbulkan ketidakpastian dalam perekonomian nasional," jelasnya.
Sekretaris ISEI Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Susilo mengatakan tahun 2018 yang merupakan tahun politik bisa memberikan dampak positif dan negatif dalam perekonomian. Tahun politik bisa memberikan ekspansi terhadap belanja ekonomi masyarakat. Partai akan menggelontorkan dana bagi konstituante yang akan menggerakan konsumsi.
"Tetapi investor juga akan wait and see, apakah nanti akan aman atau tidak. Mereka tidak mau mengambil risiko dengan berspekulasi," jelasnya.
(ven)