Investasi Jadi Fokus Utama Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya di Kabinet Kerja untuk fokus dan berkonsentrasi kepada persoalan investasi guna menjaga kepercayaan internasional terhadap pengelolaan ekonomi di Tanah Air. Menurut dia, kondisi peningkatan ekonomi Indonesia saat ini dapat dibuktikan dengan adanya kenaikan peringkat ease of doing business dari 120 ke-72.
Lembaga pemeringkat kredit, Standard & Poors (S&P), juga menyematkan peringkat layak Investasi kepada Indonesia. Terakhir, Fitch Ratings juga telah mengumumkan peningkatan peringkat dari sebelumnya BBB- menjadi BBB dengan outlook stabil kepada ekonomi Indonesia. "Momentum ini jangan sampai kita kehilangan. Oleh sebab itu, sekali lagi saya ingin lebih fokus dan konsentrasi lagi pada yang namanya investasi," kata Jokowi dalam arahannya saat rapat terbatas (Ratas) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Selain investasi, Jokowi meminta masalah ekspor atau perdagangan luar negeri harus diperhatikan secara serius. Baik itu bidang industri, energi, sumber daya dan mineral, kesehatan, pendidikan, pertahanan, pertanian, maupun kelautan hingga perikanan. "Semuanya harus satu, harus jadi satu arah sehingga problem-problem yang dihadapi di lapangan itu betul-betul bisa kita tangani dengan baik,” ujarnya. Jokowi berharap, jajarannya mampu segera mencari solusi bila terdapat persoalan agar jalannya pemerintahan dapat berlangsung dengan baik.
"Kemarin juga sudah saya sampaikan, kita ini kalau diibaratkan orang sakit, kita ini baik semuanya. Kolesterol baik, jantung baik, paru-paru baik, darah tinggi juga tidak ada, tapi kok ya enggak bisa lari cepat. Ini problemnya yang harus dicari di mana," katanya.
Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memasang target ambisius terhadap investasi di Indonesia. Tahun 2017 BKPM memasang target investasi yang masuk ke Indonesia sebesar Rp678 triliun dan pada 2018 mencapai Rp863 triliun. Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan, tingginya target investasi pada 2018 seiring dengan keinginan Presiden Jokowi sebelumnya agar pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 6,1% pada 2018. Oleh karena itu, investasi pun harus tinggi, mengingat saat ini komponen investasi menjadi andalan terbesar Indonesia untuk menopang ekonomi.
"Hanya investasi yang bisa digenjot. Kalau mau tumbuh 6,1%, investasi harus Rp863 triliun per tahun," katanya. Meski terlihat ambisius, Tom optimistis bahwa Indonesia mampu meraihnya. Alasannya, kondisi Indonesia yang stabil menjadi senjata untuk mendorong investasi. "Saya kira modal yang kita mulai pada awal tahun adalah Indonesia negara paling aman, paling stabil, dan paling reformasi. Dan kita harus bersyukur atas hal ini," imbuh dia.
Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Pengendalian Penanaman Modal BKPM Azhar Lubis mengatakan pihaknya optimistis aliran penanaman modal yang masuk terus tumbuh di 2018. Pencapaian penanaman modal hingga September 2017 telah mencapai Rp513 triliun atau 76% dari target untuk 2017 yang sebesar Rp678,8 triliun. "Kami yakin target 2017 dapat tercapai. Untuk tahun 2018 ini kami juga yakin bisa tumbuh karena sudah seharusnya. Kebutuhan pertumbuhan ekonomi nasional juga semakin tinggi," ujar Azhar kemarin.
Dia mengatakan investor akan selalu melihat prospek Indonesia dalam jangka 5–10 tahun. Karena itu sangat penting untuk merealisasi janji dan membuktikan komitmen pemerintah khususnya untuk perbaikan iklim investasi. Fokusnya dapat diarahkan pada rencana deregulasi dari 1 hingga 16 yang harus segera dilakukan. "Masalahnya ada pada penerapan di daerah. Seperti proses perizinan yang masih berbelit atau dipersulit di daerah masih banyak menghambat investor," ujarnya.
Menurutnya semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah harus menyamakan visi dalam melihat tujuan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional sehinggasemuanya harus punya impian yang sama.
"Dalam tiga tahun terakhir ada Rp5.000 triliun minat investasi untuk masuk. Ini buktinya minat investasi sangat tinggi. Tapi jangan hanya sebatas minat namun harus jadi realisasi. Realisasi investasi bisa memakan waktu 3 hingga 5 tahun. Namun sejak mulai proses konstruksi bisa dirasakan percepatan perekonomian yang bergerak," ujarnya.
Sementara itu ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan peringkat EODB Indonesia memang membaik yang disertai peringkat daya saing yang juga naik. Namun investor melihat sektor riil seperti daya beli yang lesu, industri pengolahan seperti kehabisan tenaga, dan banyak kebijakan seperti 16 paket kebijakan hanya macan kertas. "Ini yang membuat kepercayaan investor rendah," ujar Bhima.
Menurut Bhima, bukan hanya reformasi soal perizinan investasi yang didorong, tetapi sektor riil juga perlu diberi stimulus. Adapun selama ini stimulus tidak berjalan efektif. "Buktinya janji harga gas industri murah sampai sekarang ternyata masih mahal bahkan dibanding negara yang tidak punya gas alam," sebutnya.
Dia menilai ada harapan di 2018 untuk memacu investasi lebih tinggi namun tergantung kebijakan pemerintah. Karena yang diharapkan jadi stimulus ekonomi ada dua, yaitu belanja pemerintah dan ekspor. "Untuk belanja pemerintah seperti bansos jangan telat disalurkan. Kemudian program padat karya harus segera jalan di awal tahun. Ini untuk memulihkan daya beli dan meningkatkan permintaan sektor ritel," paparnya.
Soal ekspor, dia menyarankan pemerintah harus lebih agresif membuka jalan ke negara alternatif. Komoditas ekspor yang dipacu jangan sekadar bahan mentah, tetapi produk jadi sehingga bernilai tambahnya ositif. "Terakhir, jaga situasi politik dan kebijakan jangan aneh dan buat gaduh suasana sehingga tidak kondusif," urai Bhima.
Sementara itu di sektor perdagangan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2018 sekitar 5,2–5,4% dan laju inflasi pada kisaran 2,5–4,5%, maka pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 5–7%.
Lembaga pemeringkat kredit, Standard & Poors (S&P), juga menyematkan peringkat layak Investasi kepada Indonesia. Terakhir, Fitch Ratings juga telah mengumumkan peningkatan peringkat dari sebelumnya BBB- menjadi BBB dengan outlook stabil kepada ekonomi Indonesia. "Momentum ini jangan sampai kita kehilangan. Oleh sebab itu, sekali lagi saya ingin lebih fokus dan konsentrasi lagi pada yang namanya investasi," kata Jokowi dalam arahannya saat rapat terbatas (Ratas) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Selain investasi, Jokowi meminta masalah ekspor atau perdagangan luar negeri harus diperhatikan secara serius. Baik itu bidang industri, energi, sumber daya dan mineral, kesehatan, pendidikan, pertahanan, pertanian, maupun kelautan hingga perikanan. "Semuanya harus satu, harus jadi satu arah sehingga problem-problem yang dihadapi di lapangan itu betul-betul bisa kita tangani dengan baik,” ujarnya. Jokowi berharap, jajarannya mampu segera mencari solusi bila terdapat persoalan agar jalannya pemerintahan dapat berlangsung dengan baik.
"Kemarin juga sudah saya sampaikan, kita ini kalau diibaratkan orang sakit, kita ini baik semuanya. Kolesterol baik, jantung baik, paru-paru baik, darah tinggi juga tidak ada, tapi kok ya enggak bisa lari cepat. Ini problemnya yang harus dicari di mana," katanya.
Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memasang target ambisius terhadap investasi di Indonesia. Tahun 2017 BKPM memasang target investasi yang masuk ke Indonesia sebesar Rp678 triliun dan pada 2018 mencapai Rp863 triliun. Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan, tingginya target investasi pada 2018 seiring dengan keinginan Presiden Jokowi sebelumnya agar pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 6,1% pada 2018. Oleh karena itu, investasi pun harus tinggi, mengingat saat ini komponen investasi menjadi andalan terbesar Indonesia untuk menopang ekonomi.
"Hanya investasi yang bisa digenjot. Kalau mau tumbuh 6,1%, investasi harus Rp863 triliun per tahun," katanya. Meski terlihat ambisius, Tom optimistis bahwa Indonesia mampu meraihnya. Alasannya, kondisi Indonesia yang stabil menjadi senjata untuk mendorong investasi. "Saya kira modal yang kita mulai pada awal tahun adalah Indonesia negara paling aman, paling stabil, dan paling reformasi. Dan kita harus bersyukur atas hal ini," imbuh dia.
Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Pengendalian Penanaman Modal BKPM Azhar Lubis mengatakan pihaknya optimistis aliran penanaman modal yang masuk terus tumbuh di 2018. Pencapaian penanaman modal hingga September 2017 telah mencapai Rp513 triliun atau 76% dari target untuk 2017 yang sebesar Rp678,8 triliun. "Kami yakin target 2017 dapat tercapai. Untuk tahun 2018 ini kami juga yakin bisa tumbuh karena sudah seharusnya. Kebutuhan pertumbuhan ekonomi nasional juga semakin tinggi," ujar Azhar kemarin.
Dia mengatakan investor akan selalu melihat prospek Indonesia dalam jangka 5–10 tahun. Karena itu sangat penting untuk merealisasi janji dan membuktikan komitmen pemerintah khususnya untuk perbaikan iklim investasi. Fokusnya dapat diarahkan pada rencana deregulasi dari 1 hingga 16 yang harus segera dilakukan. "Masalahnya ada pada penerapan di daerah. Seperti proses perizinan yang masih berbelit atau dipersulit di daerah masih banyak menghambat investor," ujarnya.
Menurutnya semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah harus menyamakan visi dalam melihat tujuan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional sehinggasemuanya harus punya impian yang sama.
"Dalam tiga tahun terakhir ada Rp5.000 triliun minat investasi untuk masuk. Ini buktinya minat investasi sangat tinggi. Tapi jangan hanya sebatas minat namun harus jadi realisasi. Realisasi investasi bisa memakan waktu 3 hingga 5 tahun. Namun sejak mulai proses konstruksi bisa dirasakan percepatan perekonomian yang bergerak," ujarnya.
Sementara itu ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan peringkat EODB Indonesia memang membaik yang disertai peringkat daya saing yang juga naik. Namun investor melihat sektor riil seperti daya beli yang lesu, industri pengolahan seperti kehabisan tenaga, dan banyak kebijakan seperti 16 paket kebijakan hanya macan kertas. "Ini yang membuat kepercayaan investor rendah," ujar Bhima.
Menurut Bhima, bukan hanya reformasi soal perizinan investasi yang didorong, tetapi sektor riil juga perlu diberi stimulus. Adapun selama ini stimulus tidak berjalan efektif. "Buktinya janji harga gas industri murah sampai sekarang ternyata masih mahal bahkan dibanding negara yang tidak punya gas alam," sebutnya.
Dia menilai ada harapan di 2018 untuk memacu investasi lebih tinggi namun tergantung kebijakan pemerintah. Karena yang diharapkan jadi stimulus ekonomi ada dua, yaitu belanja pemerintah dan ekspor. "Untuk belanja pemerintah seperti bansos jangan telat disalurkan. Kemudian program padat karya harus segera jalan di awal tahun. Ini untuk memulihkan daya beli dan meningkatkan permintaan sektor ritel," paparnya.
Soal ekspor, dia menyarankan pemerintah harus lebih agresif membuka jalan ke negara alternatif. Komoditas ekspor yang dipacu jangan sekadar bahan mentah, tetapi produk jadi sehingga bernilai tambahnya ositif. "Terakhir, jaga situasi politik dan kebijakan jangan aneh dan buat gaduh suasana sehingga tidak kondusif," urai Bhima.
Sementara itu di sektor perdagangan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2018 sekitar 5,2–5,4% dan laju inflasi pada kisaran 2,5–4,5%, maka pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 5–7%.
(amm)