Serikat Petani Sebut Kenaikan Harga Beras Sangat Merugikan
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai kenaikan harga beras kali ini merugikan petani dan konsumen sekaligus. Pasalnya, petani juga merupakan konsumen yang juga membeli beras dengan harga tinggi.
"Petani padi sendiri juga adalah konsumen yang membeli beras dengan harga yang tinggi," katanya dalam rilis di Jakarta, Minggu (14/1/2018).
Menurut Henry, dengan melakukan impor beras maka petani akan sangat dirugikan yang membuat petani tak punya patokan untuk berproduksi maupun dalam harga. "Harusnya pemerintah Indonesia punya kebijakan yang ajeg, yang permanen. Impor beras ini melanggar UU Pangan No 18/2012. Ini juga menunjukkan data Kementan – yang katanya surplus beras – tidak benar karena data produksi beras bukan dari BPS melainkan Kementan sendiri," imbuh dia.
Hal senada disampaikan petani SPI asal Pringsewu Lampung Muhlasin yang menyatakan bahwa harga untuk jenis beras medium di tingkat pabrik terus naik. Menurutnya, kondisi ini dipicu oleh banyaknya pedagang beras dan spekulan dari Jawa yang membeli beras dalam skala besar di pabrik-pabrik di Lampung, terutama Lampung Tengah, Pringsewu, dan Tanggamus.
"Mengenai panen, baru satu bulan lagi petani di beberapa daerah melakukan panen, sementara panen raya baru akan 2-3 bulan lagi karena rata-rata umur padi bervariasi antara 20 hari setelah tanam (HST) sampai 40 HST di seputar Pringsewu, Lampung Tengah, Metro dan sebagian besar Lampung," katanya.
Dia pun menyesalkan, kenaikan harga beras kali ini malah tidak dinikmati oleh petani. Muhlasin menerangkan, sebagian besar petani padi hanya memiliki lahan yang sempit, rata-rata di Lampung hanya memiliki lahan 3.000 m2, bahkan kurang.
"Jadi pada saat panen memang terpaksa harus langsung dijual untuk menutupi kebutuhan hidup, membayar pupuk, dan sebagainya, jadi hanya sedikit yang bisa disimpan untuk makan," tandasnya.
"Petani padi sendiri juga adalah konsumen yang membeli beras dengan harga yang tinggi," katanya dalam rilis di Jakarta, Minggu (14/1/2018).
Menurut Henry, dengan melakukan impor beras maka petani akan sangat dirugikan yang membuat petani tak punya patokan untuk berproduksi maupun dalam harga. "Harusnya pemerintah Indonesia punya kebijakan yang ajeg, yang permanen. Impor beras ini melanggar UU Pangan No 18/2012. Ini juga menunjukkan data Kementan – yang katanya surplus beras – tidak benar karena data produksi beras bukan dari BPS melainkan Kementan sendiri," imbuh dia.
Hal senada disampaikan petani SPI asal Pringsewu Lampung Muhlasin yang menyatakan bahwa harga untuk jenis beras medium di tingkat pabrik terus naik. Menurutnya, kondisi ini dipicu oleh banyaknya pedagang beras dan spekulan dari Jawa yang membeli beras dalam skala besar di pabrik-pabrik di Lampung, terutama Lampung Tengah, Pringsewu, dan Tanggamus.
"Mengenai panen, baru satu bulan lagi petani di beberapa daerah melakukan panen, sementara panen raya baru akan 2-3 bulan lagi karena rata-rata umur padi bervariasi antara 20 hari setelah tanam (HST) sampai 40 HST di seputar Pringsewu, Lampung Tengah, Metro dan sebagian besar Lampung," katanya.
Dia pun menyesalkan, kenaikan harga beras kali ini malah tidak dinikmati oleh petani. Muhlasin menerangkan, sebagian besar petani padi hanya memiliki lahan yang sempit, rata-rata di Lampung hanya memiliki lahan 3.000 m2, bahkan kurang.
"Jadi pada saat panen memang terpaksa harus langsung dijual untuk menutupi kebutuhan hidup, membayar pupuk, dan sebagainya, jadi hanya sedikit yang bisa disimpan untuk makan," tandasnya.
(fjo)