Sektor Pertanian Butuh Sentuhan Permodalan Fintech
A
A
A
JAKARTA - Maraknya financial technology (fintech) yang belakangan muncul didorong untuk melirik sektor pertanian sebagai pilihan investasi. Peluang ini yang coba ditawarkan sejumlah penyedia atau pengelola platform investasi di bidang pertanian, entah itu bentuknya berupa crowdlending, peer-to-peer (P2P) lending, crowdfunding atau lainnya.
Dalam ajang CEO Talks dengan mengusung tema Value Investing in Agriculture Crowdfunding di Sapori Deli Restaurant, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jenderal (Purn) Moeldoko mengatakan, masih banyak potensi yang belum tergarap optimal di bidang pertanian. Lebih lanjut, Moeldoko mengajak masyarakat, khususnya pelaku fintech di bidang pertanian, sering-sering terjun ke lapangan untuk mengetahui kondisi real yang dihadapi oleh para petani.
"Silakan lihat langsung ke lapangan. Anda akan melihat potensi yang begitu besar. Para petani juga butuh sentuhan fintech agar lebih maju dan berkembang," ujar Moeldoko di Jakarta, Sabtu (27/1/2018).
Seperti halnya yang sudah dilakukan bersama HKTI, lewat inovasi dan pengembangan teknologi, Moeldoko juga terus mengupayakan agar para petani bisa menembus sektor permodalan.
"Semodern apa pun zaman, kita tetap butuh makan. Maka teknologi juga harus berperan aktif di sektor pertanian. Tidak akan rugi bila permodalan diarahkan ke teknologi pertanian," jelas pria yang kini menjabat sebagai Kepala Staf Presiden (KSP).
Sementara itu, Chairman & Co-Founder Tani Fund Pamitra Wineka dan CEO Vestifarm Dharma yang juga menjadi pembicara, menceritakan seputar kisah awal mendirikan perusahaan startup Vestifarm. Semuanya dimulai ketika Dharma mengunjungi sebuah desa di Sumedang, Jawa Barat, ketika saat itu ia bertemu dengan seorang peternak sapi bernama Mang Yon Yon.
Mang Yon Yon merupakan peternak sapi yang tersohor di desa itu. Dharma terkejut melihat tidak ada seekor sapi pun di kandang milik Mang Yon Yon. Lalu Ia menanyakan hal itu, namun Mang Yon Yon mengungkapkan kalau ia sudah tidak beternak sapi selama sembilan bulan karena keterbatasan modal.
Sejak itulah, Dharma bertekad untuk menciptakan platform Vestifarm yang bisa membantu petani dan peternak. Vestifarm sendiri menerapkan konsep syariah terkait bagi hasil antara investor dan peminjam (petani atau peternak).
Dalam konsep tersebut, Vestifarm membuat semacam kontrak bagi hasil kepada investor dan peminjam secara terpisah. Sampai sejauh ini, pendanaan yang telah disalurkan melalui Vestifarm tercatat sebesar lebih dari Rp 9 miliar.
Untuk mitigasi risiko, Tim Vestifarm juga melakukan survei langsung ke lokasi calon peminjam. Meski begitu, Dharma meneruskan, risiko dalam berinvestasi di sektor pertanian tetap ada, misalnya akibat faktor cuaca. Terlebih, Vestifarm tidak menggunakan asuransi dalam skema investasi yang ditawarkannya. Oleh sebab itu, dalam kontrak kerjasama yang dibuat, Vestifarm memuat klausul-klausul secara detil.
Permasalahan identik juga ditemui oleh Wineka dalam mengembangkan platform-nya, yakni Tani Fund. Ia berujar, sebenarnya sektor pertanian adalah penyumbang terbesar ke-2 Gross Domestic Product (GDP) Indonesia di tahun 2016.
Meski begitu, menurutnya masih banyak potensi yang belum tergali maksimal dari sektor ini. Lahan pertanian darat, misalnya, masih memiliki potensi sebanyak 14 juta hektare yang bisa digarap. Belum lagi untuk sektor yang berkaitan dengan kelautan. Usia para petani pun sebagian besar (61%) lebih dari 45 tahun. Hal ini menyiratkan minat generasi muda terhadap sektor pertanian masih rendah.
Selain itu, masalah rentenir juga menjadi sorotan dirinya dan tantangan tersendiri. Untuk soal ini, Tani Fund melakukan pendekatan edukatif kepada rentenir yang ternyata juga sebagian adalah petani itu sendiri.
"Berinvestaai di sektor pertanian cukup menjanjikan. Apalagi bila diiringi dengan aspek sosial, seperti membantu meningkatkan kesejahteraan petani atau peternak," paparnya.
Dalam ajang CEO Talks dengan mengusung tema Value Investing in Agriculture Crowdfunding di Sapori Deli Restaurant, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jenderal (Purn) Moeldoko mengatakan, masih banyak potensi yang belum tergarap optimal di bidang pertanian. Lebih lanjut, Moeldoko mengajak masyarakat, khususnya pelaku fintech di bidang pertanian, sering-sering terjun ke lapangan untuk mengetahui kondisi real yang dihadapi oleh para petani.
"Silakan lihat langsung ke lapangan. Anda akan melihat potensi yang begitu besar. Para petani juga butuh sentuhan fintech agar lebih maju dan berkembang," ujar Moeldoko di Jakarta, Sabtu (27/1/2018).
Seperti halnya yang sudah dilakukan bersama HKTI, lewat inovasi dan pengembangan teknologi, Moeldoko juga terus mengupayakan agar para petani bisa menembus sektor permodalan.
"Semodern apa pun zaman, kita tetap butuh makan. Maka teknologi juga harus berperan aktif di sektor pertanian. Tidak akan rugi bila permodalan diarahkan ke teknologi pertanian," jelas pria yang kini menjabat sebagai Kepala Staf Presiden (KSP).
Sementara itu, Chairman & Co-Founder Tani Fund Pamitra Wineka dan CEO Vestifarm Dharma yang juga menjadi pembicara, menceritakan seputar kisah awal mendirikan perusahaan startup Vestifarm. Semuanya dimulai ketika Dharma mengunjungi sebuah desa di Sumedang, Jawa Barat, ketika saat itu ia bertemu dengan seorang peternak sapi bernama Mang Yon Yon.
Mang Yon Yon merupakan peternak sapi yang tersohor di desa itu. Dharma terkejut melihat tidak ada seekor sapi pun di kandang milik Mang Yon Yon. Lalu Ia menanyakan hal itu, namun Mang Yon Yon mengungkapkan kalau ia sudah tidak beternak sapi selama sembilan bulan karena keterbatasan modal.
Sejak itulah, Dharma bertekad untuk menciptakan platform Vestifarm yang bisa membantu petani dan peternak. Vestifarm sendiri menerapkan konsep syariah terkait bagi hasil antara investor dan peminjam (petani atau peternak).
Dalam konsep tersebut, Vestifarm membuat semacam kontrak bagi hasil kepada investor dan peminjam secara terpisah. Sampai sejauh ini, pendanaan yang telah disalurkan melalui Vestifarm tercatat sebesar lebih dari Rp 9 miliar.
Untuk mitigasi risiko, Tim Vestifarm juga melakukan survei langsung ke lokasi calon peminjam. Meski begitu, Dharma meneruskan, risiko dalam berinvestasi di sektor pertanian tetap ada, misalnya akibat faktor cuaca. Terlebih, Vestifarm tidak menggunakan asuransi dalam skema investasi yang ditawarkannya. Oleh sebab itu, dalam kontrak kerjasama yang dibuat, Vestifarm memuat klausul-klausul secara detil.
Permasalahan identik juga ditemui oleh Wineka dalam mengembangkan platform-nya, yakni Tani Fund. Ia berujar, sebenarnya sektor pertanian adalah penyumbang terbesar ke-2 Gross Domestic Product (GDP) Indonesia di tahun 2016.
Meski begitu, menurutnya masih banyak potensi yang belum tergali maksimal dari sektor ini. Lahan pertanian darat, misalnya, masih memiliki potensi sebanyak 14 juta hektare yang bisa digarap. Belum lagi untuk sektor yang berkaitan dengan kelautan. Usia para petani pun sebagian besar (61%) lebih dari 45 tahun. Hal ini menyiratkan minat generasi muda terhadap sektor pertanian masih rendah.
Selain itu, masalah rentenir juga menjadi sorotan dirinya dan tantangan tersendiri. Untuk soal ini, Tani Fund melakukan pendekatan edukatif kepada rentenir yang ternyata juga sebagian adalah petani itu sendiri.
"Berinvestaai di sektor pertanian cukup menjanjikan. Apalagi bila diiringi dengan aspek sosial, seperti membantu meningkatkan kesejahteraan petani atau peternak," paparnya.
(ven)