Disruptif Ekonomi Bakal Lenyapkan 50 Juta Pekerjaan di Indonesia
A
A
A
NUSA DUA - Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Sumantri PS Brodjonegoro menerangkan, disruptif ekonomi (economic disruption) berpotensi berdampak kepada lenyapnya 50 juta pekerjaan di Indonesia. Hal ini mengutip hasil simulasi lembaga riset internasional MC Kinsey di Nusa Dua, Bali.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, disruptif ekonomi juga berpeluang menghilangkan momen pertumbuhan ekonomi yang berasal dari bonus demografi. Ekonomi disruptif merupakan salah satu bentuk revolusi dalam cara kita berpikir dan menggunakan barang atau jasa.
Hal yang sering menjadi sorotan dalam ekonomi disruptif di Indonesia, salah satunya adalah munculnya transportasi online. Menurut Bambang Brodjonegoro, munculnya disrupsi ekonomi ini akan membawa banyak pekerjaan yang awalnya dilakukan manusia bisa hilang digantikan robot serta kecerdasan buatan dalam bentuk lainnya atau artificial.
Pada kondisi itu juga berpotensi akan memunculkan kesenjangan baru sebagai dampak hilangnya pekerjaan tadi. "Orang-orang yang bekerja pada sektor yang tergantikan oleh teknologi menjadi kelompok yang sangat rentan," sebut Bambang saat membuka seminar internasional bertema Perluasan Jaminan Perlindungan Sosial di Era Ekonomi Disruptif yang digelar BPJS Ketenagakerjaan.
Meski di satu sisi disruptif ekonomi merugikan kalangan pekerja, namun di sisi lain memunculkan begitu banyak peluang-peluang pekerjaan baru. Hal inilah terang dia harus nmenjadi perhatian pemerintah. Misalnya kata dia, perlu adanya upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan tujuan membuat disruptif ekonomi justru menjadi momentum meraih kesempatan baru.
Di tempat yang sama, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengutarakan, pihaknya terus mendorong SDM yang menciptakan inovasi baru. Di antaranya dengan memperbaharui sistem teknologi guna mengantisipasi tantangan ekonomi saat ini yang lebih banyak mengandalkan digitalisasi. "Kami sudah melakukan pembaruan sistem teknologi yang sudah 100% dan dalam waktu dekat akan kami umumkan," kata dia.
Menurut Agus, secara internal pihaknya juga tidak ketinggalan menyikapi perkembangan digitalisasi saat ini yang bagi sebagian pihak dianggap mengganggu tatanan ekonomi konvensional atau disruptive economy.
Dengan banyaknya pekerjaan manusia yang bisa diambil alih secara digital, sebagaimana hasil riset lembaga survei internasional, McKinsey, maka banyak pekerjaan yang diprediksi akan hilang. Hal itu dapat mendorong pemutusan hubungan kerja.
Selain itu, digitalisasi dan otomotisasi juga berdampak terhadap keberlangsungan sistem jaminan sosial. Hal tersebut ditekankan olehnya perlu diantisipasi dengan menciptakan inovasi dan terobosan teknologi yang mengimbangi perkembangan digitalisasi saat ini.
Agus menambahkan, saat ini perekonomian bergerak secara digital. Konsekuensinya, semua orang mendapatkan kesempatan yang sama dan bisa bekerja tanpa mengenal batasan ruang dan waktu.
"Semua bisa dilakukan dalam genggaman, baik itu pekerja maupun pasar sasarannya. Semua menjadi semakin tidak terlihat, dan dari sisi jaminan sosial tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri," jelas.
Sambung Agus menjelaskan, disruptive economy, selain membawa impact serius pada tatanan perekonomian, juga membawa dampak dalam hal ketenagakerjaan, hubungan industrial, keberlangsungan sistem jaminan sosial, bahkan juga berdampak pada cara masyarakat berkomunikasi dan berinteraksi.
Karena itu, kata dia, BPJS Ketenagakerjaan memanfaatkan perkembangan digitalisasi yang terjadi saat ini dengan menciptakan inovasi pendaftaran peserta jaminan sosial. Ke depan, calon peserta bisa hanya mengandalkan telepon seluler dengan dibantu oleh petugas penggerak jaminan sosial Indonesia (Perisai).
"Kami meluncurkan inovasi jaminan sosial, yakni Perisai dengan melibatkan masyarakat bersama melakukan perlindungan sosial tenaga kerja. Mereka kami rekrut dari komunitas untuk membantu edukasi dan sosialisasi," ucapnya.
Dalam seminar itu, President Director International Social Security Association Joachim Breuer mengatakan, economic disruptive juga akan berdampak kepada institusi dana pensiun. Dalam hal ini, disrupsi ekonomi membuat hubungan karyawan dan pemberi kerja tidak jelas.
Hadirnya pekerja-pekerja individual membuat lembaga dana pensiun seperti halnya BPJS Ketenagakerjaan perlu mendefinisikan status baru dari para pekerja tersebut. "Karena itu, perlu didefinisikan ulang mengenai bagaimana seharusnya jaminan sosial untuk para pekerja ini," jelas dia.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, disruptif ekonomi juga berpeluang menghilangkan momen pertumbuhan ekonomi yang berasal dari bonus demografi. Ekonomi disruptif merupakan salah satu bentuk revolusi dalam cara kita berpikir dan menggunakan barang atau jasa.
Hal yang sering menjadi sorotan dalam ekonomi disruptif di Indonesia, salah satunya adalah munculnya transportasi online. Menurut Bambang Brodjonegoro, munculnya disrupsi ekonomi ini akan membawa banyak pekerjaan yang awalnya dilakukan manusia bisa hilang digantikan robot serta kecerdasan buatan dalam bentuk lainnya atau artificial.
Pada kondisi itu juga berpotensi akan memunculkan kesenjangan baru sebagai dampak hilangnya pekerjaan tadi. "Orang-orang yang bekerja pada sektor yang tergantikan oleh teknologi menjadi kelompok yang sangat rentan," sebut Bambang saat membuka seminar internasional bertema Perluasan Jaminan Perlindungan Sosial di Era Ekonomi Disruptif yang digelar BPJS Ketenagakerjaan.
Meski di satu sisi disruptif ekonomi merugikan kalangan pekerja, namun di sisi lain memunculkan begitu banyak peluang-peluang pekerjaan baru. Hal inilah terang dia harus nmenjadi perhatian pemerintah. Misalnya kata dia, perlu adanya upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan tujuan membuat disruptif ekonomi justru menjadi momentum meraih kesempatan baru.
Di tempat yang sama, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengutarakan, pihaknya terus mendorong SDM yang menciptakan inovasi baru. Di antaranya dengan memperbaharui sistem teknologi guna mengantisipasi tantangan ekonomi saat ini yang lebih banyak mengandalkan digitalisasi. "Kami sudah melakukan pembaruan sistem teknologi yang sudah 100% dan dalam waktu dekat akan kami umumkan," kata dia.
Menurut Agus, secara internal pihaknya juga tidak ketinggalan menyikapi perkembangan digitalisasi saat ini yang bagi sebagian pihak dianggap mengganggu tatanan ekonomi konvensional atau disruptive economy.
Dengan banyaknya pekerjaan manusia yang bisa diambil alih secara digital, sebagaimana hasil riset lembaga survei internasional, McKinsey, maka banyak pekerjaan yang diprediksi akan hilang. Hal itu dapat mendorong pemutusan hubungan kerja.
Selain itu, digitalisasi dan otomotisasi juga berdampak terhadap keberlangsungan sistem jaminan sosial. Hal tersebut ditekankan olehnya perlu diantisipasi dengan menciptakan inovasi dan terobosan teknologi yang mengimbangi perkembangan digitalisasi saat ini.
Agus menambahkan, saat ini perekonomian bergerak secara digital. Konsekuensinya, semua orang mendapatkan kesempatan yang sama dan bisa bekerja tanpa mengenal batasan ruang dan waktu.
"Semua bisa dilakukan dalam genggaman, baik itu pekerja maupun pasar sasarannya. Semua menjadi semakin tidak terlihat, dan dari sisi jaminan sosial tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri," jelas.
Sambung Agus menjelaskan, disruptive economy, selain membawa impact serius pada tatanan perekonomian, juga membawa dampak dalam hal ketenagakerjaan, hubungan industrial, keberlangsungan sistem jaminan sosial, bahkan juga berdampak pada cara masyarakat berkomunikasi dan berinteraksi.
Karena itu, kata dia, BPJS Ketenagakerjaan memanfaatkan perkembangan digitalisasi yang terjadi saat ini dengan menciptakan inovasi pendaftaran peserta jaminan sosial. Ke depan, calon peserta bisa hanya mengandalkan telepon seluler dengan dibantu oleh petugas penggerak jaminan sosial Indonesia (Perisai).
"Kami meluncurkan inovasi jaminan sosial, yakni Perisai dengan melibatkan masyarakat bersama melakukan perlindungan sosial tenaga kerja. Mereka kami rekrut dari komunitas untuk membantu edukasi dan sosialisasi," ucapnya.
Dalam seminar itu, President Director International Social Security Association Joachim Breuer mengatakan, economic disruptive juga akan berdampak kepada institusi dana pensiun. Dalam hal ini, disrupsi ekonomi membuat hubungan karyawan dan pemberi kerja tidak jelas.
Hadirnya pekerja-pekerja individual membuat lembaga dana pensiun seperti halnya BPJS Ketenagakerjaan perlu mendefinisikan status baru dari para pekerja tersebut. "Karena itu, perlu didefinisikan ulang mengenai bagaimana seharusnya jaminan sosial untuk para pekerja ini," jelas dia.
(akr)