KA Cepat Bandung-Solo Perlu Kajian Matang

Kamis, 08 Februari 2018 - 10:28 WIB
KA Cepat Bandung-Solo Perlu Kajian Matang
KA Cepat Bandung-Solo Perlu Kajian Matang
A A A
JAKARTA - Pemerintah menancapkan ambisi tinggi dalam proyek pembangunan kereta api (KA) cepat. Jika sebelumnya KA cepat hanya direncanakan dari Jakarta ke Bandung, kini pemerintah membuka opsi baru, KA cepat akan diteruskan dari Bandung hingga Yogyakarta dan Solo.

Opsi baru pembangunan KA cepat ini disampaikan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Selain itu, muncul pula opsi rute KA cepat Jakarta-Bandung terhubung dengan Bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat.

Namun, rencana megaproyek ini banyak menuai kritik. Kalangan pengamat meminta pemerintah mengkaji lebih dalam apakah proyek KA cepat tersebut relevan diwujudkan, termasuk secara ekonomis.

Pengamat menilai jarak antara Bandung dan Solo terlalu dekat dan tidak akan menguntungkan secara ekonomi karena mobilitas masyarakat sudah terpenuhi dengan transportasi yang sudah ada.

Mereka juga menyarankan agar pembangunan infrastruktur transportasi dialihkan ke luar Jawa karena masyarakat di sana sangat membutuhkan moda transportasi yang layak. Terlebih, dana pembangunan KA cepat sangat besar.

”Bisa saja nanti (keYogyakarta dan Solo). Karena rata-rata kereta api cepat itu ja raknya pada 300-an kilometer baru agak kencang. Jadi kami belum tahu. Sekarang opsi kami buka,” kata Luhut di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin (5/2).

Luhut menandaskan bahwa opsi KA cepat hingga Yogyakarta-Solo masih akan dikaji terlebih dulu seiring dengan kajian evaluasi proyek kereta cepat secara keseluruhan. Renca nanya, Luhut akan melibatkan PT Sarana Mandiri Infrastruktur untuk mengevaluasi proyek kereta cepat secara keseluruhan sebab Presiden Joko Widodo menargetkan evaluasi selesai akhir bulan ini.

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi membenarkan ada opsi baru proyek KA cepat. Menurut dia, pembangunan tersebut bisa saja tidak berhenti di Bandung, tapi akan dilanjutkan hingga Bandara Kertajati, Majalengka, atau bahkan Yogjakarta-Solo. Menurut dia, ide untuk melakukan perubahan muncul setelah mempertimbangkan efektivitas dan asas kemanfaatan.

Secara teoritis semakin jauh trayek perjalanannya akan semakin bagus. Namun, dia menggariskan bahwa rencana ini masih dalam tahap pengkajian. Kajian ditargetkan bisa tuntas akhir Februari ini. ”Kalau penumpangnya lebih jauh, lebih banyak, kan malah lebih feasible,” ujarnya di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.

Budi mencontohkan, perubahan dari Jakarta-Bandung menjadi Jakarta-Bandung-Bandara Kertajati bisa menaikkan jumlah penumpang.

Dia bah kan memprediksi kenaikan nya bisa mencapai tiga kali lipat. Sedangkan penambahan panjang rel hanya sekitar 80 kilometer.

”Kan kalau bandara itu rutin, orang dari Karawang mau ke Kertajati buat keluar negeri disuruh bayar Rp300.000 kecil. Tapi, bukan harian, contoh,” paparnya.

Sementara itu, Komisi IV DPRD Jabar yang membidangi infrastruktur tidak mempersoalkan rencana tersebut. Namun, mereka meminta pemerintah pusat mau menempuh prosedur sesuai aturan yang berlaku seperti perizinan, tata ruang wilayah, dan analisis dampak lingkungan.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Jabar Daddy Rohanadi menandaskan, selama ini pihaknya selalu menekan swasta untuk menaati prosedur. Untuk itu, dia meminta pemerintah pusat memberi contoh yang baik.

”Kebijakan ini buat kita sifatnya given, kebijakan pusat yang tidak bisa ditolak daerah. Yang bisa menolak hanya teman-teman di DPR RI. Kami berteriak-teriak tidak akan didengar,” ungkapnya.

Selain prosedur yang harus di tempuh, Daddy juga mengingatkan pemerintah pusat agar menerapkan sistem ganti untung dalam pembebasan lahan proyek kereta cepat tersebut sehingga masyarakat pemilik lahan tidak dirugikan oleh kehadiran moda transportasi massal tersebut. ”Jadi, bereskan dulu (prosedurnya) dan terpenting masyarakat jangan ganti rugi, harus ganti untung,” tandasnya.

Luar Jawa Lebih Butuh
Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Uni versitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dwi Ardianta Kurniawan menyarankan proyek KA cepat yang akan diteruskan dari Bandung menuju Yogyakarta dan Solo dikaji mendalam, baik dari aspek, finansial, ekonomi, maupun lingkungan. Kajian sangat penting karena proyek tersebut tentu memerlukan dana yang besar sehingga dampaknya bagi pembangunan, masyarakat, dan lingkungan harus dipertimbangkan.

Dari sisi ekonomi misalnya apakah KA cepat bisa menghadirkan pendapatan di banding jalur reguler dan seberapa keuntungan yang didapatkan masyarakat dengan ada KA cepat tersebut, termasuk karena terbatasnya stasiun pemberhentian.

”Dengan kondisi ini, jelas dari aspek ekonomi bagi masyarakat, khususnya di sekitar rel, tidak akan berpengaruh ba nyak. Bahkan dapat dikatakan minim,” ungkapnya.

Terlepas dari berbagai pertimbangan, Ardianta melihat infrastruktur untuk kebutuhan di Pulau Jawa sebenarnya sudah tidak ada masalah dan mencukupi. Justru yang mestinya harus mendapatkan perhatian yakni infrastruktur di luar Jawa sebab di luar Jawa masih membutuhkan peningkatan infrastruktur tersebut.

”Kami justru menyarankan untuk infrastruktur dengan dana yang besar lebih baik untuk dikembangkan di luar Jawa,” tandasnya. Guru Besar Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ofyar M Tamin melihat, jarak Jakarta-Bandung terlalu dekat. Begitu juga Bandung-Yogyakarta. Karena kedekatan jarak tersebut, keberadaan kereta supercepat dengan kecepatan rata-rata 390 kilometer per jam menjadi kurang efektif dan efisien.

Selain itu, jarak pendek juga menyebabkan kecepatan puncak kereta tak akan ter capai. ”Jadi, KA supercepat idealnya membutuhkan jarak tempuh yang panjang. Semakin panjang jarak semakin efektif pemanfaatan kecepatan kereta yang mencapai 390 kilometer per jam,” katanya.

Dalam pandangan Ofyar, KA cepat idealnya melayani jalur Jakarta-Surabaya karena ke duanya merupakan kota bisnis. Saat ini para pebisnis di Jakarta dan Surabaya membutuhkan waktu lebih lama jika menggunakan transportasi pesawat udara. Hitung-hitungan, seseorang dari rumah di Jakarta ke bandara kurang lebih membutuhkan waktu dua jam. Pesawat terbang butuh satu jam lebih.

Sampai di bandara orang itu butuh angkutan lagi sampai rumah satu sampai dua jam. Kurang-lebih, dari rumah di Jakarta sampai tujuan di Surabaya total membutuhkan waktu lima jam. Jika menggunakan kereta, lebih cepat, dari rumah ke stasiun tidak butuh waktu satu jam.

”Notabene lokasi stasiun KA umumnya berada di tengah kota, lebih dekat dengan rumah atau lokasi yang dituju. Apalagi jika ditunjang oleh massrapid transit (MRT) dan moda angkutan massal terpadu. Selain itu, frekuensi penerbangan pesawat kan tidak bisa lebih cepat. Sebaliknya, frekuensi keberangkatan KA supercepat bisa 15 menit sekali,” ujarnya. Direktur Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas secara tegas menyatakan tidak sepakat dengan penambahan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung hingga Yogyakarta dan Solo. Alasannya, Pulau Jawa sudah banyak transportasi dan tinggal memperbaiki infrastruktur yang ada. Apalagi, anggarannya sangat besar, yakni Rp50 triliun.

”Kalau memiliki anggaran, lebih baik anggaran disalurkan keluar Jawa untuk perbaikan infrastruktur. Apalagi pulau-pulau kecil yang hampir tidak tersentuh pembangunan yang perlu diperhatikan,” ungkapnya.

Dia menuturkan, saat ini jalur Yogyakarta-Bandung sudah ada kereta, bus, serta pesawat. Yang dibutuhkan adalah perbaikan infrastruktur rel yang ada. Kalau Belanda bisa membangun trase lanjutnya, semestinya sekarang bisa lebih baik. ”Nah, sekarang harus diperbaiki, daerah labil di tanggul sehingga trase Yogya-Bandung bisa meningkatkan kecepatan per jalanan kereta yang ada,” tandas penulis Buku Pulung Gantung ini.

Senada, pengamat transportasi dari Universitas Ka tolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno juga menilai penambahan proyek KA cepat Jakarta- Bandung hingga Solo tidak tepat. Menurutnya, infrastruktur ke Pulau Jawa sudah memiliki banyak alternatif meliputi jalur kereta jarak jauh, jalan tol, hingga akses bandara.

”Saya pikir sudah tidak perlu sebab alternatifnya sudah sangat banyak. Jangan semua berpusat di Pulau Jawa. Sebaiknya yang di luar Jawa perlu mendapatkan prioritas,” ujarnya.

Menurut Djoko, pembangunan harus bisa merata ke Pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua. Sumatera bahkan memiliki kesempatan untuk pengembangan kereta karena jalurnya sudah tersedia.

”Persoalannya dibutuhkan kehendak pemerintah. Di Sumatera cocok untuk jalur ke reta, sebaliknya tidak cocok untuk sebagian jalan tol. Daripada jalan tol, saya cenderung memilih pembangunan jalur kereta,” ungkapnya.

Dia menambahkan, daerah-daerah di luar Pulau Jawa membutuhkan infrastruktur perkeretaapian agar tidak terlihat timpang. Apalagi, dana untuk pembangunan kereta cepat butuh dana sangat besar yang dibelanjakan lewat pinjaman dari luar.

”Ini butuh dana besar. Alangkah baiknya kalau dana besar ini dialihkan untuk infrastruktur di luar Pulau Jawa. Apalagi ini menggunakan pinjaman dari luar negeri,” pungkasnya. (Bakti Sarasa/ Ichsan Amin/ Priyo Setyawan/ Agus Warsudi / Suharjono)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3918 seconds (0.1#10.140)