Brand Bukan (Lagi) Pertimbangan Utama Konsumen Milenial

Minggu, 11 Februari 2018 - 08:24 WIB
Brand Bukan (Lagi) Pertimbangan Utama Konsumen Milenial
Brand Bukan (Lagi) Pertimbangan Utama Konsumen Milenial
A A A
JAKARTA - Perilaku konsumen Tanah Air tampaknya mulai berubah. Ada gejala konsumen pada generasi milenial tidak mempertimbangkan kekuatan brand atau merek saat memutuskan membeli barang atau jasa.

Pengamat bisnis dan marketing yang juga Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan, riset yang dilakukan perusahaannya terhadap generasi milenial menemukan, mereka tak lagi menjadikan brand sebagai alasan utama membeli atau mengonsumsi sebuah barang. Menurut dia, hampir 70,2% konsumen milenial tidak lagi menjadi konsumen yang loyal. Diperkirakan hanya 15,2% generasi milenial yang memilih untuk tetap menjadi konsumen loyal.

Dia menjelaskan, brand lahir dari kondisi pasar yang tidak sempurna, di mana terjadi asymmetric information antara produsen dan konsumen. Produsen tahu betul detail-detail produknya, sementara konsumen tak banyak tahu. Akibatnya, konsumen menggunakan brand sebagai "acuan" dalam memilih produk yang akan dibeli. "Sebenarnya fungsi brand adalah membantu konsumen membangun kenyamanan dalam mengambil keputusan pembelian. Fungsi brand adalah mengurangi risiko saat konsumen menetapkan keputusan pembelian. Itulah sebabnya perusahaan cenderung fokus membangun brand produk atau jasanya, bahkan perusahaannya," katanya.

Nah, saat ini ada perubahan kondisi pasar bagi kelompok milenial menjadi symmetric information, di mana brand menjadi tidak relevan lagi sebagai pertimbangan untuk membeli. Teknologi digital telah memungkinkan kaum milenial mendapatkan informasi yang presisi mengenai value sebuah produk. Apakah itu melalui tools, seperti search, rating, ataupun review (SRR).

Dia mencontohkan, saat memesan hotel melalui situs pemesanan online, maka pengambilan keputusan pembelian ditentukan SRR. SRR memungkinkan konsumen mendapatkan value terbaik dari pilihan produk yang tersedia di pasar sehingga pengambilan keputusan bergeser dari brand consideration menjadi value consideration.

Hal itu, menurut Yuswohady, sama halnya ketika memilih ojek online. Gojek, Uber, serta Grab menawarkan fitur dan layanan yang hampir sama. Jadi, konsumen milenial cenderung akan memilih mana yang memberikan harga paling murah dan benefit paling bagus pada saat itu. Itulah sebabnya, generasi milenial tidak hanya menginstal satu aplikasi ojek online. Jadi, tidak mengherankan kalau dalam kasus ini, brand menjadi kurang relevan.

Kendati begitu, Yuswohady mengaku tidak semua produk berlaku pada aturan. Merek kelas premium atau barang automotif seperti motor dan mobil belum berpengaruh pada e-commerce. Apalagi, generasi milenial masih lebih percaya untuk melihat langsung fisik dari barang ketika membeli kendaraan bermotor atau barang mewah.

Chief Executive Officer (CEO) dan pendiri Bhinneka.com, Hendrik Tio, juga menganggap brand-brand premium masih tetap menjadi pilihan konsumen. Menurut Hendrik, tidak semua merek terganggu oleh maraknya penjualan melalui online. "Bergantung produk dan segmen yang disasar," tutur Hendrik.

Dia mencontohkan, untuk produk aksesori, yang mungkin tidak begitu dipedulikan brand apa yang dijual bagi segmen bawah. Namun, tetap saja ada aksesori yang lebih premium dan bisa dijual lebih mahal dan orang tetap ingin membelinya. Contoh lain, lanjut Hendrik, ketika membeli penjepit jemuran baju, mungkin konsumen tidak begitu peduli dengan brand. "Paling penting adalah terlihat kuat dan tahan lama. Namun, ketika membeli baju tetap memperhatikan brand," ungkapnya.

Menurut dia, brand tidak bisa dibangun dalam semalam. Brand harus terlebih dahulu melewati uji coba dan membutuhkan waktu yang cukup lama, terutama bagaimana experience pelanggan dalam mempergunakan sebuah produk, apakah janji sesuai dengan kenyataan. Karena itu, dalam membangun brand harus tepat mengomunikasikan apa yang ingin orang perceived brand perusahaan.

"Itulah sebabnya brand awareness perlu disosialisasikan kepada berbagai pemangku kepentingan, khususnya pasar yang ditargetkan menjadi sasaran. Selain itu, harus konsisten agar konsumen tidak merasa 'ditipu' sehingga malah menjadi kontraproduktif terhadap upaya perusahaan membangun brand awareness," tandasnya.

Tentang apakah era digital akan memengaruhi strategi pengembangan brand, pengamat brand dari PPM Management Maria Nainggolan mengatakan, terdapat perbedaan yang mencolok antara digital dan non-digital. Salah satunya, pada digital lebih memercayai hasil review atau yang biasa dikenal dengan customer talk to customer. Meskipun sebagian kalangan menilai hasil review masih dapat dimanipulasi oleh permainan teknologi.

Oleh sebab itu, Maria menyarankan kepada pelaku usaha agar mengupayakan membentuk komunitas-komunitas baru, di mana brand sering berkumpul dengan para pelanggan. "Biarkan mereka yang menjadi juru bicara yang baik bagi brand. Tentunya hal itu bisa jauh lebih efektif daripada upaya yang dilakukan oleh perusahaan," katanya kepada KORAN SINDO.

Maria mengatakan, sangat penting bagi perusahaan untuk menjaga brand perusahaan atau produk usahanya. Brand merupakan pembeda atas pesan yang hendak disampaikan perusahaan. "Tentunya memerlukan dana khusus untuk meningkatkan sebuah brand. Apa lagi, biasanya dalam peningkatan brand ini yang mahal adalah ide-ide untuk membuat brand perusahaan selalu menjadi pembicaraan," ujar Maria.

Karena itu, menurut dia, tidak mengherankan bila ada anggapan creativity needs more in branding activation. Semakin kuat pengaruh brand dalam masyarakat, hal itu akan berdampak positif terhadap kinerja perusahaan dan semestinya berbanding lurus. Pada era digital saat ini, brand-brand lama terlihat sulit bersaing dikarenakan value-nya tidak lagi dirasa berlebihan dibanding pendatang baru.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4329 seconds (0.1#10.140)