Industri Hasil Tembakau Didorong Dapatkan Relaksasi Cukai
A
A
A
PASURUAN - Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-undang (Pansus RUU) Pertembakauan DPR RI Mukhamad Misbakhun menginginkan, Industri Hasil Tembakau (IHT) bisa mendapatkan relaksasi dalam membayar cukai. Upaya itu bisa dibarengi dengan langkah IHT dalam meningkatkan daya serap yang tinggi terhadap tembakau lokal.
“Sebenarnya kalau mereka bisa menerapkan prinsip itu, maka tata kelola tembakau di Indonesia bisa berjalan baik. Makanya kita sedang perjuangkan itu di undang-undang,” ujar Misbakhun ketika ditemui di sela-sela Pengobatan Gratis PT HM Sampoerna Tbk Bersama Warga Desa Nguling, Pasuruan, Senin (5/3/2018).
Lanjut dia, apabila integrasi itu bisa dilakukan dengan baik maka akan menguntungkan bagi negara. Langkahnya menurut Misbakhun bisa berupa pelunasan di belakang maupun pemotongan tarif cukai. Mekanisme inilah yang tengah diperjuangkan dalam Pansus RUU Pertembakauan DPR RI.
“Kalau bisa jalan, termasuk petani tembakau bisa berdaya. Ini yang harus dilakukan pemerintah,” ungkapnya.
Legislator Partai Golkar itu juga menjelaskan, para petani bisa menghasilkan tembakau yang baik. Hasil tembakau itu terang dia bisa dipasarkan dengan harga yang bersaing. Sementara industrinya juga harus bisa kita berikan insentif. “Insentif ini bisa diberikan apabila mereka (IHT) sungguh-sungguh menyerap tembakau lokal,” sambungnya.
Pemotongan tarif cukai, katanya, sebenarnya tidak tinggi. Tapi semua ini bisa menjadi insentif karena nilainya sangat besar. Sehingga ada upaya perbaikan, baik itu di tingkat petani maupun di sektor industrinya. “Paling tidak isunya jangan sampai terjadi pembatasan konsumsi,” ucapnya.
Anggota Komisi XI DPR yang membidangi Keuangan dan Perpajakan itu juga membeberkan, tembakau lokal diakuinya memang belum mencukupi kebutuhan industri secara nasional. Apalagi ada tembakau jenis tertentu yang tak bisa dibudidayakan di Indonesia. “Artinya, mau tak mau kita tetap harus impor. Tapi tidak semuanya dalam jumlah yang besar,” katanya.
IHT sendiri, sambungnya memiliki nilai strategis secara nasional. Fakta itu harusnya bisa membawa para petani tembakau untuk memperoleh perlindungan. Bahkan, sumbangsih IHT bagi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menembus Rp200 triliun. Sayangnya ujar dia, pemerintah tidak berpihak pada IHT.
Kalau mau berpikir rasional, maka industri tembakau nasional dinilai masuk industri strategis. Bahkan, negara seperti Amerika yang menginisiasi Framework Convention on Tobacco Control memasukkan industri tembakaunya sebagai industri startegis, bahkan dilindungi.
Masalah tembakau di Indonesia ungkapnya sudah terlihat sejak di sektor hulu dan hilir. Sebab, pertembakauan nasional belum adil yang membuat banyak petani tembakau dirugikan. Di sektor hilir, pemerintah sudah punya aturan tentang cukai sebagai salah satu penerimaan negara. Aturan ketat yang bisa mendukung keuangan negara sampai ratusan triliun rupiah.
Sementara di sektor hulu, luas perkebunan tembakau setiap tahun justru berkurang. Kebutuhan tembakau dalam negeri yang tiap tahunnya bisa menembus 360 ribu ton, hanya bisa dipenuhi 200 ribu ton saja. Selain itu, nasib petani tembakau juga terancam. “Sekali lagi, kami ingin semua bisa diuntungkan. Para petani tembakau pun harus bisa sejahtera,” tegasnya.
Makanya, ia menegaskan bajal mendorong pemerintah dalam RUU Pertembakauan, dimana kehadirannya diharapkan bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakat. “Jangan sampai negara mendapatkan manfaat dari cukai namun struktur hilir minim perlindungan,” katanya.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret-Kretek Indonesia (MPSI) Djoko Wahyudi menuturkan, kalau mau mensejahterakan petani bukan dengan menutup keran impor secara sporadis. Kesiapan di industri tembakau dalam negeri harus dibenahi terlebih dahulu.
Dia menekankan setuju kalau pemerintah mau menutup keran impor, asalkan proses yang dilakukan harus dijalani dulu, termasuk menghitung produksi dalam negeri yang masih kurang. Caranya tentu dengan menebar jalin kemitraan di tingkat petani tembakau. “Efek dominonya lebih tinggi kalau kran impor ditutup, pabrik rokok tutup, maka ribuan orang akan kehilangan kerja,” ujar Djoko.
Selama ini, katanya, banyak petani tembakau yang kerap mendapatkan harga murah ketika panen. Sementara pabrikan tembakau dapat harga yang mahal. Semua itu karena ada mata rantai yang panjang dari hulu ke hilir.
“Jadi petani tembakau kita belum bisa menikmati harga yang baik. Pabrikan juga belum bisa mendapatkan harga yang murah. Lha, selama ini yang menikmati keuntungan ya mata rantai itu. Makanya dengan kemitraan, petani bisa untung, pabrikan juga bisa dapat harga yang sesuai,” jelasnya.
“Sebenarnya kalau mereka bisa menerapkan prinsip itu, maka tata kelola tembakau di Indonesia bisa berjalan baik. Makanya kita sedang perjuangkan itu di undang-undang,” ujar Misbakhun ketika ditemui di sela-sela Pengobatan Gratis PT HM Sampoerna Tbk Bersama Warga Desa Nguling, Pasuruan, Senin (5/3/2018).
Lanjut dia, apabila integrasi itu bisa dilakukan dengan baik maka akan menguntungkan bagi negara. Langkahnya menurut Misbakhun bisa berupa pelunasan di belakang maupun pemotongan tarif cukai. Mekanisme inilah yang tengah diperjuangkan dalam Pansus RUU Pertembakauan DPR RI.
“Kalau bisa jalan, termasuk petani tembakau bisa berdaya. Ini yang harus dilakukan pemerintah,” ungkapnya.
Legislator Partai Golkar itu juga menjelaskan, para petani bisa menghasilkan tembakau yang baik. Hasil tembakau itu terang dia bisa dipasarkan dengan harga yang bersaing. Sementara industrinya juga harus bisa kita berikan insentif. “Insentif ini bisa diberikan apabila mereka (IHT) sungguh-sungguh menyerap tembakau lokal,” sambungnya.
Pemotongan tarif cukai, katanya, sebenarnya tidak tinggi. Tapi semua ini bisa menjadi insentif karena nilainya sangat besar. Sehingga ada upaya perbaikan, baik itu di tingkat petani maupun di sektor industrinya. “Paling tidak isunya jangan sampai terjadi pembatasan konsumsi,” ucapnya.
Anggota Komisi XI DPR yang membidangi Keuangan dan Perpajakan itu juga membeberkan, tembakau lokal diakuinya memang belum mencukupi kebutuhan industri secara nasional. Apalagi ada tembakau jenis tertentu yang tak bisa dibudidayakan di Indonesia. “Artinya, mau tak mau kita tetap harus impor. Tapi tidak semuanya dalam jumlah yang besar,” katanya.
IHT sendiri, sambungnya memiliki nilai strategis secara nasional. Fakta itu harusnya bisa membawa para petani tembakau untuk memperoleh perlindungan. Bahkan, sumbangsih IHT bagi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menembus Rp200 triliun. Sayangnya ujar dia, pemerintah tidak berpihak pada IHT.
Kalau mau berpikir rasional, maka industri tembakau nasional dinilai masuk industri strategis. Bahkan, negara seperti Amerika yang menginisiasi Framework Convention on Tobacco Control memasukkan industri tembakaunya sebagai industri startegis, bahkan dilindungi.
Masalah tembakau di Indonesia ungkapnya sudah terlihat sejak di sektor hulu dan hilir. Sebab, pertembakauan nasional belum adil yang membuat banyak petani tembakau dirugikan. Di sektor hilir, pemerintah sudah punya aturan tentang cukai sebagai salah satu penerimaan negara. Aturan ketat yang bisa mendukung keuangan negara sampai ratusan triliun rupiah.
Sementara di sektor hulu, luas perkebunan tembakau setiap tahun justru berkurang. Kebutuhan tembakau dalam negeri yang tiap tahunnya bisa menembus 360 ribu ton, hanya bisa dipenuhi 200 ribu ton saja. Selain itu, nasib petani tembakau juga terancam. “Sekali lagi, kami ingin semua bisa diuntungkan. Para petani tembakau pun harus bisa sejahtera,” tegasnya.
Makanya, ia menegaskan bajal mendorong pemerintah dalam RUU Pertembakauan, dimana kehadirannya diharapkan bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakat. “Jangan sampai negara mendapatkan manfaat dari cukai namun struktur hilir minim perlindungan,” katanya.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret-Kretek Indonesia (MPSI) Djoko Wahyudi menuturkan, kalau mau mensejahterakan petani bukan dengan menutup keran impor secara sporadis. Kesiapan di industri tembakau dalam negeri harus dibenahi terlebih dahulu.
Dia menekankan setuju kalau pemerintah mau menutup keran impor, asalkan proses yang dilakukan harus dijalani dulu, termasuk menghitung produksi dalam negeri yang masih kurang. Caranya tentu dengan menebar jalin kemitraan di tingkat petani tembakau. “Efek dominonya lebih tinggi kalau kran impor ditutup, pabrik rokok tutup, maka ribuan orang akan kehilangan kerja,” ujar Djoko.
Selama ini, katanya, banyak petani tembakau yang kerap mendapatkan harga murah ketika panen. Sementara pabrikan tembakau dapat harga yang mahal. Semua itu karena ada mata rantai yang panjang dari hulu ke hilir.
“Jadi petani tembakau kita belum bisa menikmati harga yang baik. Pabrikan juga belum bisa mendapatkan harga yang murah. Lha, selama ini yang menikmati keuntungan ya mata rantai itu. Makanya dengan kemitraan, petani bisa untung, pabrikan juga bisa dapat harga yang sesuai,” jelasnya.
(akr)