RPP Zat Adiktif Produk Tembakau Perlu Pertimbangkan Aspek Ekonomi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum internasional Prof. Hikmahanto Juwana berpendapat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagai aturan pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan perlu mempertimbangkan berbagai aspek.
Merujuk draf RPP yang beredar di publik, terdapat beberapa aturan untuk produk tembakau. Aturan ini di antaranya larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan produk secara ketengan, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, dan aturan kemasan minimal 20 batang/bungkus.
Hikmahanto menegaskan, jika draf RPP ini dipaksakan akan punya implikasi banyak terhadap berbagai peraturan lain baik yang setara atau turunannya. Akibatnya industri hasil tembakau (IHT) nasional bisa mati.
Lalu bagaimana dengan nasib petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada tembakau. Ia melanjutkan, apabila RPP ini disahkan akan marak penyelundupan hasil tembakau dari luar negeri dan rokok ilegal.
Belum lagi pemerintah harus mampu mengganti sumber pemasukan negara, yang jumlahnya berkisar 9%—13% dari total penerimaan pajak negara.
"Saya mensinyalir LSM luar negeri berada dibalik draf RPP Kesehatan. LSM ini sudah lama memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)," ujar Hikmahanto di Jakarta, Senin (2/10/2023).
Lebih lanjut, Hikmahanto mengatakan Pemerintah sudah tepat untuk tidak meratifikasi FCTC, namun sebagai kompromi pemerintah diminta untuk mengadopsi poin-poin FCTC dalam draf RPP tanpa memberikan solusi nyata.
"Poin-poin FCTC yang diadopsi akan berdampak negatif pada perekonomian negara dan masyarakat luas," imbuhnya
Menurut Prof. Hikmahanto, kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kemandirian pemerintah selayaknya secara mandiri mengambil kebijakan yang dibutuhkan. Pasalnya, pemerintah Indonesia lah yang paling tahu kondisi Indonesia. Bukan pemerintah negara lain, terlebih lagi LSM dari luar negeri.
Merujuk draf RPP yang beredar di publik, terdapat beberapa aturan untuk produk tembakau. Aturan ini di antaranya larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan produk secara ketengan, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, dan aturan kemasan minimal 20 batang/bungkus.
Hikmahanto menegaskan, jika draf RPP ini dipaksakan akan punya implikasi banyak terhadap berbagai peraturan lain baik yang setara atau turunannya. Akibatnya industri hasil tembakau (IHT) nasional bisa mati.
Lalu bagaimana dengan nasib petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada tembakau. Ia melanjutkan, apabila RPP ini disahkan akan marak penyelundupan hasil tembakau dari luar negeri dan rokok ilegal.
Belum lagi pemerintah harus mampu mengganti sumber pemasukan negara, yang jumlahnya berkisar 9%—13% dari total penerimaan pajak negara.
"Saya mensinyalir LSM luar negeri berada dibalik draf RPP Kesehatan. LSM ini sudah lama memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)," ujar Hikmahanto di Jakarta, Senin (2/10/2023).
Lebih lanjut, Hikmahanto mengatakan Pemerintah sudah tepat untuk tidak meratifikasi FCTC, namun sebagai kompromi pemerintah diminta untuk mengadopsi poin-poin FCTC dalam draf RPP tanpa memberikan solusi nyata.
"Poin-poin FCTC yang diadopsi akan berdampak negatif pada perekonomian negara dan masyarakat luas," imbuhnya
Menurut Prof. Hikmahanto, kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kemandirian pemerintah selayaknya secara mandiri mengambil kebijakan yang dibutuhkan. Pasalnya, pemerintah Indonesia lah yang paling tahu kondisi Indonesia. Bukan pemerintah negara lain, terlebih lagi LSM dari luar negeri.