Produktivitas Pekerja RI Terus Meningkat
A
A
A
JAKARTA - Produktivitas pekerja Indonesia terus meningkat sejak 1990-an. Selama 25 tahun produktivitas pekerja tumbuh 3,1% per tahun. Jika bangsa Indonesia mau menjadi pemenang dalam persaingan era Revolusi Industri 4.0, produktivitas pekerja Indonesia harus terus dipacu.
Peningkatan produktivitas pekerja Indonesia yang diungkapkan Sesditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Ketenagakerjaan Kunjung Masehat mengacu pada data Asian Productivity Organization (APO) dan The Conference Board dalam Total Economy Database.
Data APO mencatat, pada 2015 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai USD24,3 ribu. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding produktivitas pada 1990. Artinya, selama 25 tahun produktivitas Indonesia tumbuh 3,1% per tahun.
Adapun, menurut data The Conference Board dalam Total Economy Database, produktivitas per pekerja Indonesia pada 2017 telah menembus USD24,6 ribu. APO memberikan peringkat Indonesia pada urutan kesebelas dari 20 negara yang produktivitas pekerjanya baik. Jika dilihat dari sesama negara ASEAN, Indonesia ada di urutan keempat.
Sedangkan dari sisi daya saing, Indonesia berada pada posisi ke-36 di antara 137 negara. Adapun di tingkat ASEAN, Indonesia berada pada posisi keempat di antara sembilan negara ASEAN yang tercatat dalam The Global Competitiveness Report 2017-2018.
“Menjadi yang terbaik adalah penting, tetapi menjadi lebih baik dari sebelumnya itu jauh lebih penting. Terus-menerus memperbaiki, berinovasi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Itulah hakikat produktivitas,” ujar Kunjung Masehat pada acara Conference and Workshop on Innovation Development di Jakarta, kemarin.
Kunjung mengajak seluruh elemen bangsa turut serta dalam mengembangkan inovasi untuk mendorong peningkatan produktivitas nasional. Menurutnya, banyak pemikiran atau konsepsi di tengah masyarakat yang dapat membantu pada tercapainya sustainable productivity dan sustainable development. Menurut dia, ada beberapa faktor untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Selain perbaikan kualitas sumber daya manusia, katanya, juga dibutuhkan pemanfaatan teknologi, perbaikan manajemen, dan peningkatan inovasi yang sebaiknya dilakukan bersama antara pemerintah dan swasta. Kunjung menjelaskan, keterlibatan Indonesia di APO terjadi sejak 1962.
Meski sudah bergabung lama, dia menyayangkan masuknya Indonesia di organisasi antar pemerintahan regional ini belum dimaksimalkan dengan baik oleh masyarakat. “Ada topik industri, service area, agrikultur, dan penurunan nilai aset (impairment) yang bisa dibahas untuk inovasi selanjutnya,” jelasnya.
Dia lantas meminta kementerian, badan, serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi bisa melakukan pertukaran informasi di organisasi tersebut. Misalnya saja untuk mencari solusi bagaimana menjawab tantangan pengangguran terbuka yang saat ini persentasenya 5,3% dari jumlah penduduk Indonesia.
Acara Conference and Work shop on Innovation Development yang berlangsung selama dua hari (6-7 Maret) ini merupakan hasil kerja sama Ditjen Binalattas Kemnaker dengan APO dan Direktorat Inovasi dan Inkubasi Bisnis (DIIB) Universitas Indonesia.
Adapun dua narasumber yang dilibatkan dalam acara ini adalah Deputy Secretary General of The National Science Technology and Innovation Policy Office, Ministry of Science and Technology of Thailand, Akkharawit Kanjana-opas, PhD, dan Former Director of Gyeonggi Center for Creative Economy and Innovation (GCCEI) Republic of Korea, David Sehyeon Baek.
Peneliti CIPS Imelda Freddy menilai peningkatan produktivitas pekerja wajar karena berbagai aspek yang menjadi faktor produktivitas pekerja pun meningkat. “Contohnya, tingkat pendidikan dari SDM, selain semakin banyak penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan, kualitas pendidikan di Indonesia pun semakin baik,” katanya kepada KORAN SINDO.
Peningkatan produktivitas juga wajar akibat peningkatan perhatian yang diberikan perusahaan seperti diberikannya asuransi ketenagakerjaan atau pemberian cuti kerja.
Dalam pan dangannya, peringkat Indonesia bisa semakin naik bila Pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan teknologi dalam usaha, lebih banyak membuka lapangan pekerjaan, juga mendukung sepenuhnya terhadap usaha-usaha mandiri.
Senada, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, peningkatan produktivitas tenaga kerja akan terjadi apabila didukung teknologi terbaru dan keterampilan dari pekerja.
“Sekarang kalau kita bandingkan Indonesia dengan negara lain, pertama, kita mengalami ketertinggalan teknologi yang up to date karena investasi kita di teknologi itu rendah banget sehingga walaupun sudah menggunakan teknologi pasti lebih banyak impor. Kedua, profil tenaga kerja kita mayoritas 60% lebih masih SMP ke bawah ditambah lagi keterampilan dan keahlian yang sangat terbatas,” ungkapnya.
Enny menuturkan, tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi tentu akan menghasilkan barang-barang produksi yang lebih cepat dan efisien. “Misalkan di industri tekstil, dalam hitungan satu jam dengan teknologi yang ada, tenaga kerja kita hanya mampu memproduksi 1 meter saja. Sementara tenaga kerja yang dengan teknologi yang canggih dan keterampilan yang lebih cepat akan mampu memproduksi lebih,” ungkapnya.
Dia meyakini, jika tenaga kerja Indonesia sudah terampil dan punya keahlian, tentu akan sadar terhadap penggunaan teknologi. Apalagi, kemudian perusahaan berinvestasi mesin-mesin yang lebih canggih.
“Tentu produktivitasnya akan sangat berbeda sehingga yang harus kita lakukan untuk meningkatkan total produksi, per tama faktor teknologi, faktor kontribusi modal, dan yang paling penting tentu kualitas dari SDM,” jelasnya.
Menurut Enny, pendidikan vokasi yang menjadi salah satu program pemerintah sudah mengarah ke sana. Namun, yang harus diperhatikan bahwa vokasi tidak hanya untuk sekolah menengah kejuruan (SMK). “Jadi vokasi itu bagai mana meningkatkan keterampilan dan keahlian dari tenaga kerja sesuai dengan masing-masing sektor,” tuturnya. (Neneng Zubaedah/Oktiani Endarwati)
Peningkatan produktivitas pekerja Indonesia yang diungkapkan Sesditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Ketenagakerjaan Kunjung Masehat mengacu pada data Asian Productivity Organization (APO) dan The Conference Board dalam Total Economy Database.
Data APO mencatat, pada 2015 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai USD24,3 ribu. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding produktivitas pada 1990. Artinya, selama 25 tahun produktivitas Indonesia tumbuh 3,1% per tahun.
Adapun, menurut data The Conference Board dalam Total Economy Database, produktivitas per pekerja Indonesia pada 2017 telah menembus USD24,6 ribu. APO memberikan peringkat Indonesia pada urutan kesebelas dari 20 negara yang produktivitas pekerjanya baik. Jika dilihat dari sesama negara ASEAN, Indonesia ada di urutan keempat.
Sedangkan dari sisi daya saing, Indonesia berada pada posisi ke-36 di antara 137 negara. Adapun di tingkat ASEAN, Indonesia berada pada posisi keempat di antara sembilan negara ASEAN yang tercatat dalam The Global Competitiveness Report 2017-2018.
“Menjadi yang terbaik adalah penting, tetapi menjadi lebih baik dari sebelumnya itu jauh lebih penting. Terus-menerus memperbaiki, berinovasi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Itulah hakikat produktivitas,” ujar Kunjung Masehat pada acara Conference and Workshop on Innovation Development di Jakarta, kemarin.
Kunjung mengajak seluruh elemen bangsa turut serta dalam mengembangkan inovasi untuk mendorong peningkatan produktivitas nasional. Menurutnya, banyak pemikiran atau konsepsi di tengah masyarakat yang dapat membantu pada tercapainya sustainable productivity dan sustainable development. Menurut dia, ada beberapa faktor untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Selain perbaikan kualitas sumber daya manusia, katanya, juga dibutuhkan pemanfaatan teknologi, perbaikan manajemen, dan peningkatan inovasi yang sebaiknya dilakukan bersama antara pemerintah dan swasta. Kunjung menjelaskan, keterlibatan Indonesia di APO terjadi sejak 1962.
Meski sudah bergabung lama, dia menyayangkan masuknya Indonesia di organisasi antar pemerintahan regional ini belum dimaksimalkan dengan baik oleh masyarakat. “Ada topik industri, service area, agrikultur, dan penurunan nilai aset (impairment) yang bisa dibahas untuk inovasi selanjutnya,” jelasnya.
Dia lantas meminta kementerian, badan, serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi bisa melakukan pertukaran informasi di organisasi tersebut. Misalnya saja untuk mencari solusi bagaimana menjawab tantangan pengangguran terbuka yang saat ini persentasenya 5,3% dari jumlah penduduk Indonesia.
Acara Conference and Work shop on Innovation Development yang berlangsung selama dua hari (6-7 Maret) ini merupakan hasil kerja sama Ditjen Binalattas Kemnaker dengan APO dan Direktorat Inovasi dan Inkubasi Bisnis (DIIB) Universitas Indonesia.
Adapun dua narasumber yang dilibatkan dalam acara ini adalah Deputy Secretary General of The National Science Technology and Innovation Policy Office, Ministry of Science and Technology of Thailand, Akkharawit Kanjana-opas, PhD, dan Former Director of Gyeonggi Center for Creative Economy and Innovation (GCCEI) Republic of Korea, David Sehyeon Baek.
Peneliti CIPS Imelda Freddy menilai peningkatan produktivitas pekerja wajar karena berbagai aspek yang menjadi faktor produktivitas pekerja pun meningkat. “Contohnya, tingkat pendidikan dari SDM, selain semakin banyak penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan, kualitas pendidikan di Indonesia pun semakin baik,” katanya kepada KORAN SINDO.
Peningkatan produktivitas juga wajar akibat peningkatan perhatian yang diberikan perusahaan seperti diberikannya asuransi ketenagakerjaan atau pemberian cuti kerja.
Dalam pan dangannya, peringkat Indonesia bisa semakin naik bila Pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan teknologi dalam usaha, lebih banyak membuka lapangan pekerjaan, juga mendukung sepenuhnya terhadap usaha-usaha mandiri.
Senada, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, peningkatan produktivitas tenaga kerja akan terjadi apabila didukung teknologi terbaru dan keterampilan dari pekerja.
“Sekarang kalau kita bandingkan Indonesia dengan negara lain, pertama, kita mengalami ketertinggalan teknologi yang up to date karena investasi kita di teknologi itu rendah banget sehingga walaupun sudah menggunakan teknologi pasti lebih banyak impor. Kedua, profil tenaga kerja kita mayoritas 60% lebih masih SMP ke bawah ditambah lagi keterampilan dan keahlian yang sangat terbatas,” ungkapnya.
Enny menuturkan, tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi tentu akan menghasilkan barang-barang produksi yang lebih cepat dan efisien. “Misalkan di industri tekstil, dalam hitungan satu jam dengan teknologi yang ada, tenaga kerja kita hanya mampu memproduksi 1 meter saja. Sementara tenaga kerja yang dengan teknologi yang canggih dan keterampilan yang lebih cepat akan mampu memproduksi lebih,” ungkapnya.
Dia meyakini, jika tenaga kerja Indonesia sudah terampil dan punya keahlian, tentu akan sadar terhadap penggunaan teknologi. Apalagi, kemudian perusahaan berinvestasi mesin-mesin yang lebih canggih.
“Tentu produktivitasnya akan sangat berbeda sehingga yang harus kita lakukan untuk meningkatkan total produksi, per tama faktor teknologi, faktor kontribusi modal, dan yang paling penting tentu kualitas dari SDM,” jelasnya.
Menurut Enny, pendidikan vokasi yang menjadi salah satu program pemerintah sudah mengarah ke sana. Namun, yang harus diperhatikan bahwa vokasi tidak hanya untuk sekolah menengah kejuruan (SMK). “Jadi vokasi itu bagai mana meningkatkan keterampilan dan keahlian dari tenaga kerja sesuai dengan masing-masing sektor,” tuturnya. (Neneng Zubaedah/Oktiani Endarwati)
(nfl)