Sri Mulyani: Butuh Model Perpajakan Baru di Era Ekonomi Digital
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa dunia membutuhkan model perpajakan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ekonomi digital saat ini. Sebab, model perpajakan tradisional yang didasarkan pada keberadaan fisik suatu perusahaan (physical presence) dinilai sudah tidak lagi relevan.
Hal itu diungkapkan Sri Mulyani dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Buenos Aires, Argentina, pada 19-20 Maret 2018. Menurut dia, model perpajakan baru tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan kegiatan ekonomi (significant economic presence).
"Semua negara menghadapi hal yang sama, yaitu digitalisasi ekonomi yang sudah dan akan semakin terjadi. Memang ada manfaatnya, tetapi juga ada ancaman dari segi perpajakan, yakni erosi basis pajak dan kompleksitas penetapan nilai tambahnya," ungkap Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, Kamis (22/3/2018).
Sri menambahkan, kebijakan perpajakan tersebut juga harus dapat menciptakan lingkungan yang kondusif tanpa menghambat perkembangan ekonomi digital itu sendiri.
Dia juga menegaskan bahwa Indonesia melalui forum G20 mendukung adanya kajian cara pemungutan pajak yang adil bagi negara maupun para pelaku ekonomi digital. Keadilan tersebut diperlukan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mendapatkan manfaat dan menjaga level playing field di semua sektor usaha.
Dalam pertemuan tersebut, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 juga mendiskusikan isu-isu terkini, seperti crypto asset dan anti-terrorist financing. Terkait perkembangan crypto asset, G20 sepakat bahwa negara-negara perlu membangun kerangka regulasi yang tepat dan melakukan pengawasan menyeluruh.
Namun demikian, forum G20 menganggap bahwa saat ini, perkembangan crypto asset belum mengancam stabilitas keuangan, karena skalanya yang masih kecil.
Hal itu diungkapkan Sri Mulyani dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Buenos Aires, Argentina, pada 19-20 Maret 2018. Menurut dia, model perpajakan baru tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan kegiatan ekonomi (significant economic presence).
"Semua negara menghadapi hal yang sama, yaitu digitalisasi ekonomi yang sudah dan akan semakin terjadi. Memang ada manfaatnya, tetapi juga ada ancaman dari segi perpajakan, yakni erosi basis pajak dan kompleksitas penetapan nilai tambahnya," ungkap Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, Kamis (22/3/2018).
Sri menambahkan, kebijakan perpajakan tersebut juga harus dapat menciptakan lingkungan yang kondusif tanpa menghambat perkembangan ekonomi digital itu sendiri.
Dia juga menegaskan bahwa Indonesia melalui forum G20 mendukung adanya kajian cara pemungutan pajak yang adil bagi negara maupun para pelaku ekonomi digital. Keadilan tersebut diperlukan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mendapatkan manfaat dan menjaga level playing field di semua sektor usaha.
Dalam pertemuan tersebut, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 juga mendiskusikan isu-isu terkini, seperti crypto asset dan anti-terrorist financing. Terkait perkembangan crypto asset, G20 sepakat bahwa negara-negara perlu membangun kerangka regulasi yang tepat dan melakukan pengawasan menyeluruh.
Namun demikian, forum G20 menganggap bahwa saat ini, perkembangan crypto asset belum mengancam stabilitas keuangan, karena skalanya yang masih kecil.
(fjo)