Dijual Bebas Secara Online, BPOM Didesak Tarik Obat Ber-DNA Babi
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan dari mulai Komisi IX DPR RI hingga pengamat kesehatan mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan penarikan secara paksa terhadap dua produk enzyme yang terindikasi (suspect) terkontaminasi DNA babi. Pasalnya, dua produk itu masih bebas dijual secara online. Secara khusus, Komisi IX telah memberikan tenggat waktu satu bulan untuk BPOM melakukan proses penarikan secara massal.
Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Luthfi Mardiansyah menyatakan, mendukung desakan Komisi IX DPR kepada BPOM untuk mengawasi penarikan dua produk enzyme yang terindikasi terkontaminasi DNA babi.
“Jika hasil tes terhadap kedua produk tersebut positif mengandung babi, maka BPOM harus dalam posisi pemberian sanksi untuk melindungi konsumen. Namun, jika produsen mampu membuktikan bahwa produknya tidak ada kandungan DNA babi, BPOM harus segera mengumumkannya secara terbuka kepada masyarakat supaya tidak menjadi bola liar dan menimbulkan polemik,” paparnya di Jakarta, Jumat (23/3).
Khusus untuk penjualan obat dan suplemen secara daring (online), Luthfi mengakui, saat ini regulasi yang mengaturnya belum ada. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi BPOM yang mesti dibenahi segera. “Ini bisa membahayakan karena tidak ada regulasi untuk melakukan fungsi pengawasan BPOM dalam penjualan dan distribusi obat secara daring. Orang bisa beli obat resep secara bebas, ini kan bahaya,” ujarnya.
Dia menilai ketiadaan regulasi penjualan obat dan suplemen secara daring yang membuat BPOM ragu-ragu bertindak terhadap dua produk enzyme yang terindikasi terkontaminasi DNA babi. “Kalau regulasinya belum ada, bagaimana BPOM mau melakukan penarikan,” tanyanya.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjelaskan, Komisi IX DPR memberikan waktu satu bulan untuk BPOM menarik seluruh produk enzyme yang diduga menggunakan bahan baku sejenis dengan dua produk bermasalah sebelumnya. “Mestinya satu bulan setelah ditarik izin edarnya. Kalau sudah ditarik izin edarnya, maka dalam satu bulan produk baik beredar secara langsung maupun online harus ditarik,” paparnya.
Desakan tersebut juga muncul dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan BPOM dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan 15 perusahaan farmasi di Jakarta, Rabu (21/3) sore. “Kami menerima keluhan dari masyarakat bahwa di antara 13 produk enzyme, masih ada yang dijual secara online. Ini harus ditarik dari pasaran, baik sifatnya penjualan offline atau online,” katanya.
Ditegaskannya produk enzyme dan suplemen lainnya tergolong produk farmasi yang sensitif, apalagi telah terjadi kasus kontaminasi DNA babi. “Masalahnya kan mengandung babi. Sebetulnya soal obat banyak yang mengandung babi, tetapi khusus negara kita dengan mayoritas muslim perlu diberikan kata-kata khusus mengandung babi,” katanya.
Dalam rapat RDP dengan BPOM, Dede secara khusus mencermati sejumlah produk antara lain Vitazym dan Librozym yang masih beredar secara online. Padahal, produsen dua enzyme tersebut yakni PT Kalbe Farma dan PT Hexpharm Jaya Laboratories telah menghentikan produksi serta mengembalikan izin edar pada Februari 2017.
Direktur Hexpharm Jaya Laboratories yang hadir dalam RDP Komisi IX dan BPOM menjelaskan perusahaannya memang pernah memproduksi enzyme pancreatin. Namun, produksi telah dihentikan dan izin edar dikembalikan ke BPOM pada Februari 2018.
Sementara Direktur Kalbe Farma yang juga hadir di RDP tersebut mengaku ada satu produk pankreatin, namun izin edarnya telah dikembalikan. Pihaknya kini tengah mengembangkan enzym dari mikroba dan tumbuhan yang lebih aman. “Dari pengaduan masyarakat, produk itu masih ada di online store. Kalo dikembalikan izin edarnya apa di online store masih boleh beredar?,” tanya Dede.
Dede menilai ada komunikasi yang terputus antara produsen farmasi dengan BPOM. “Mungkin industri farmasi takut? Mungkin BPOM terlanjur memberikan statement sehingga akhirnya ada persaingan obat. Kita tidak pernah tahu. Sebab bisa saja saat satu produk turun, lalu ada produk yang lain yang naik,” jelasnya.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN Hang Ali juga menilai BPOM kurang transparan dalam menyikapi kasus produk enzyme yang tercemar DNA babi. “Selama ini yang ramai kan dua produsen, nyatanya ada 15 produsen. Produknya juga mengandung pancreatin. Dari 13 produk, satu katanya tidak terbukti, 4 mengembalikan izin edar dan ditarik produk, nah yang 13 ini kasusnya apa, harus dijelaskan. Jangan diam-diam saja. Jangan-jangan kasusnya sama,” tegasnya
Menurut dia, BPOM harus bertanggung jawab terhadap masyarakat apalagi negara ini konsumennya mayoritas muslim. Selama ini produsen hanya berpegang pada sertifikasi halal suplier yang tidak dapat dijamin keabsahannya.
“Soal babi itu sensitif banget. Harus dijelaskan, diumumkan terbuka kenapa ada produsen buru-buru mengembalikan izin edar dan menarik produknya berjamaah. Nyatanya tadi masih bebas dijualbelikan secara online, ini kan bukti fungsi pengawasannya lemah. Harus segera ditindak, jangan pilih kasih,” ucapnya.
Sedangkan anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Marinus Sae juga mempertanyakan 13 produk enzyme yang masih diperdagangkan secara online. “Yang masih memproduksi, itu harus dihentikan dan tidak boleh diteruskan. Tidak boleh dibiarkan, semua harus ditindak. BPOM tidak boleh tebang pilih, nanti kesannya ada sesuatu,” ucapnya.
Sekretaris Utama (Sestama) BPOM Elin Herlina mengakui kasus produk enzyme yang mengandung DNA babi merupakan kasus sensitif. “Kami menyadari aspek kandungan babi adalah sensitif. Karena itu ada proses sampling khusus untuk itu. Kami juga melakukan pengawasan post market untuk memastikan data sama dengan saat pre market. Untuk fungsi pengawasan, kami menyadari anggaran dan SDM BPOM saat ini masih kurang untuk pengawasan di seluruh Indonesia,” kata Elin.
Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Luthfi Mardiansyah menyatakan, mendukung desakan Komisi IX DPR kepada BPOM untuk mengawasi penarikan dua produk enzyme yang terindikasi terkontaminasi DNA babi.
“Jika hasil tes terhadap kedua produk tersebut positif mengandung babi, maka BPOM harus dalam posisi pemberian sanksi untuk melindungi konsumen. Namun, jika produsen mampu membuktikan bahwa produknya tidak ada kandungan DNA babi, BPOM harus segera mengumumkannya secara terbuka kepada masyarakat supaya tidak menjadi bola liar dan menimbulkan polemik,” paparnya di Jakarta, Jumat (23/3).
Khusus untuk penjualan obat dan suplemen secara daring (online), Luthfi mengakui, saat ini regulasi yang mengaturnya belum ada. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi BPOM yang mesti dibenahi segera. “Ini bisa membahayakan karena tidak ada regulasi untuk melakukan fungsi pengawasan BPOM dalam penjualan dan distribusi obat secara daring. Orang bisa beli obat resep secara bebas, ini kan bahaya,” ujarnya.
Dia menilai ketiadaan regulasi penjualan obat dan suplemen secara daring yang membuat BPOM ragu-ragu bertindak terhadap dua produk enzyme yang terindikasi terkontaminasi DNA babi. “Kalau regulasinya belum ada, bagaimana BPOM mau melakukan penarikan,” tanyanya.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjelaskan, Komisi IX DPR memberikan waktu satu bulan untuk BPOM menarik seluruh produk enzyme yang diduga menggunakan bahan baku sejenis dengan dua produk bermasalah sebelumnya. “Mestinya satu bulan setelah ditarik izin edarnya. Kalau sudah ditarik izin edarnya, maka dalam satu bulan produk baik beredar secara langsung maupun online harus ditarik,” paparnya.
Desakan tersebut juga muncul dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan BPOM dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan 15 perusahaan farmasi di Jakarta, Rabu (21/3) sore. “Kami menerima keluhan dari masyarakat bahwa di antara 13 produk enzyme, masih ada yang dijual secara online. Ini harus ditarik dari pasaran, baik sifatnya penjualan offline atau online,” katanya.
Ditegaskannya produk enzyme dan suplemen lainnya tergolong produk farmasi yang sensitif, apalagi telah terjadi kasus kontaminasi DNA babi. “Masalahnya kan mengandung babi. Sebetulnya soal obat banyak yang mengandung babi, tetapi khusus negara kita dengan mayoritas muslim perlu diberikan kata-kata khusus mengandung babi,” katanya.
Dalam rapat RDP dengan BPOM, Dede secara khusus mencermati sejumlah produk antara lain Vitazym dan Librozym yang masih beredar secara online. Padahal, produsen dua enzyme tersebut yakni PT Kalbe Farma dan PT Hexpharm Jaya Laboratories telah menghentikan produksi serta mengembalikan izin edar pada Februari 2017.
Direktur Hexpharm Jaya Laboratories yang hadir dalam RDP Komisi IX dan BPOM menjelaskan perusahaannya memang pernah memproduksi enzyme pancreatin. Namun, produksi telah dihentikan dan izin edar dikembalikan ke BPOM pada Februari 2018.
Sementara Direktur Kalbe Farma yang juga hadir di RDP tersebut mengaku ada satu produk pankreatin, namun izin edarnya telah dikembalikan. Pihaknya kini tengah mengembangkan enzym dari mikroba dan tumbuhan yang lebih aman. “Dari pengaduan masyarakat, produk itu masih ada di online store. Kalo dikembalikan izin edarnya apa di online store masih boleh beredar?,” tanya Dede.
Dede menilai ada komunikasi yang terputus antara produsen farmasi dengan BPOM. “Mungkin industri farmasi takut? Mungkin BPOM terlanjur memberikan statement sehingga akhirnya ada persaingan obat. Kita tidak pernah tahu. Sebab bisa saja saat satu produk turun, lalu ada produk yang lain yang naik,” jelasnya.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN Hang Ali juga menilai BPOM kurang transparan dalam menyikapi kasus produk enzyme yang tercemar DNA babi. “Selama ini yang ramai kan dua produsen, nyatanya ada 15 produsen. Produknya juga mengandung pancreatin. Dari 13 produk, satu katanya tidak terbukti, 4 mengembalikan izin edar dan ditarik produk, nah yang 13 ini kasusnya apa, harus dijelaskan. Jangan diam-diam saja. Jangan-jangan kasusnya sama,” tegasnya
Menurut dia, BPOM harus bertanggung jawab terhadap masyarakat apalagi negara ini konsumennya mayoritas muslim. Selama ini produsen hanya berpegang pada sertifikasi halal suplier yang tidak dapat dijamin keabsahannya.
“Soal babi itu sensitif banget. Harus dijelaskan, diumumkan terbuka kenapa ada produsen buru-buru mengembalikan izin edar dan menarik produknya berjamaah. Nyatanya tadi masih bebas dijualbelikan secara online, ini kan bukti fungsi pengawasannya lemah. Harus segera ditindak, jangan pilih kasih,” ucapnya.
Sedangkan anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Marinus Sae juga mempertanyakan 13 produk enzyme yang masih diperdagangkan secara online. “Yang masih memproduksi, itu harus dihentikan dan tidak boleh diteruskan. Tidak boleh dibiarkan, semua harus ditindak. BPOM tidak boleh tebang pilih, nanti kesannya ada sesuatu,” ucapnya.
Sekretaris Utama (Sestama) BPOM Elin Herlina mengakui kasus produk enzyme yang mengandung DNA babi merupakan kasus sensitif. “Kami menyadari aspek kandungan babi adalah sensitif. Karena itu ada proses sampling khusus untuk itu. Kami juga melakukan pengawasan post market untuk memastikan data sama dengan saat pre market. Untuk fungsi pengawasan, kami menyadari anggaran dan SDM BPOM saat ini masih kurang untuk pengawasan di seluruh Indonesia,” kata Elin.
(akr)