Pemerintah Diminta Tegas TerhadapIntervensi LSM Asing
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta bersikap tegas terhadap lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing yang menghalangi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab sepak terjang mereka bertentangan dengan semangat pemeritah yang berupaya keras menarik investasi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Persoalan LSM itu harus ada ketegasan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Bagi LSM yang terindikasi mengganggu investasi harus ada teguran dan sanksi," ujar pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara di Jakarta, Minggu (1/4/2018).
Pemerintah pusat bersama pemda harus memiliki pandangan yang sama terkait investasi. Artinya apapun yang dinilai menjadi penghambat investasi harus diselesaikan antara pemerintah pusat dan daerah. "Papua ini banyak potensi yang bisa menarik investasi. Apalagi sekarang sudah ada jalan Trans-Papua," katanya.
Sementara, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa menegaskan bahwa LSM tidak boleh melakukan intervensi apapun terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk di antaranya di Papua. "Tidak ada kewajiban pemerintah maupun pengusaha mendengarkan Greenpeace. Karena sebetulnya acuannya adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) provinsi," ujarnya.
Lantaran acuannya adalah RTRW Provinsi, lanjut Yanto Santosa, maka hutan produksi bisa dialihfungsikan menjadi fungsi lain di luar fungsi kehutanan. Pengalihan fungsi tersebut, tentu saja harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur oleh undang-undang. Namun demikian, perlakukan pembangunan kehutanan di Papua berbeda dengan yang ada di luar Papua. Di Papua, kata dia, masyarakatnya menganggap tanah dan hutan itu milik adat.
"Zaman dulu pun ketika pemerintah memberikan HPH (hak pengelolaan hutan) harus ada urusan dengan adat. Walaupun negara sudah memberikan SK (Surat Keputusan) HPH atau hutan untuk produksi, tetap saja harus
berurusan dengan adat," katanya.
Jadi, kata Yanto, LSM tidak memiliki hak sama sekali terhadap pengelolaan hutan di Papua. Menurut dia, jika LSM tersebut menghalangi upaya investor menanamkan modalnya di Papua, sebaiknya pemerintah melakukan proses
hukum. "Kalau ada pihak-pihak yang melarang, menghalangi, menghambat investasi, ya tinggal diproses hukum saja. Investasi ini untuk kan membangun negara. Kita kan negara hukum. Apalagi sekarang ini kan pemerintah sedang giat-giatnya menggenjot investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo juga berpendapat bahwa pemerintah harus tegas terhadap LSM asing yang melakukan intervensi terhadap pengelolaan hutan di Papua. "Dari dulu sudah saya katakan, pemerintah harus tegas. Karena itu sudah menginjak-injak kedaulatan negara kita. Karena hanya pemerintah yang boleh mengatur negara ini," kata Firman.
Sebagaimana dalam UU Kehutanan, kata Firman, hutan bisa dijadikan fungsi ekologis, sosial, maupun ekonomi. Ketiga fungsi tersebut harus berjalan seimbang. Apalagi kalau dilihat, ekonomi di Papua masih terbelakang. Karena itu tak ada salahnya apabila hutan di Papua dialihfungsikan pada kegiatan yang sifatnya terkait dengan ekonomi.
Sebelumnya, masyarakat Adat Airu Hulu, Kabupaten Jayapura, Papua menolak kehadiran LSM Greenpeace yang dinilai melakukan intervensi terhadap pengelolaan hutan di Papua. Greenpeace beralasan hutan yang akan dikelola investor termasuk kawasan konservasi nasional dan perlindungan dunia internasional.
"Kami menolak Greenpeace dalam pengelolaan hutan masyarakat adat," tegas Kepala Suku Wau Mathius Wau dalam aksi bersama pekan lalu.
"Persoalan LSM itu harus ada ketegasan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Bagi LSM yang terindikasi mengganggu investasi harus ada teguran dan sanksi," ujar pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara di Jakarta, Minggu (1/4/2018).
Pemerintah pusat bersama pemda harus memiliki pandangan yang sama terkait investasi. Artinya apapun yang dinilai menjadi penghambat investasi harus diselesaikan antara pemerintah pusat dan daerah. "Papua ini banyak potensi yang bisa menarik investasi. Apalagi sekarang sudah ada jalan Trans-Papua," katanya.
Sementara, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa menegaskan bahwa LSM tidak boleh melakukan intervensi apapun terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk di antaranya di Papua. "Tidak ada kewajiban pemerintah maupun pengusaha mendengarkan Greenpeace. Karena sebetulnya acuannya adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) provinsi," ujarnya.
Lantaran acuannya adalah RTRW Provinsi, lanjut Yanto Santosa, maka hutan produksi bisa dialihfungsikan menjadi fungsi lain di luar fungsi kehutanan. Pengalihan fungsi tersebut, tentu saja harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur oleh undang-undang. Namun demikian, perlakukan pembangunan kehutanan di Papua berbeda dengan yang ada di luar Papua. Di Papua, kata dia, masyarakatnya menganggap tanah dan hutan itu milik adat.
"Zaman dulu pun ketika pemerintah memberikan HPH (hak pengelolaan hutan) harus ada urusan dengan adat. Walaupun negara sudah memberikan SK (Surat Keputusan) HPH atau hutan untuk produksi, tetap saja harus
berurusan dengan adat," katanya.
Jadi, kata Yanto, LSM tidak memiliki hak sama sekali terhadap pengelolaan hutan di Papua. Menurut dia, jika LSM tersebut menghalangi upaya investor menanamkan modalnya di Papua, sebaiknya pemerintah melakukan proses
hukum. "Kalau ada pihak-pihak yang melarang, menghalangi, menghambat investasi, ya tinggal diproses hukum saja. Investasi ini untuk kan membangun negara. Kita kan negara hukum. Apalagi sekarang ini kan pemerintah sedang giat-giatnya menggenjot investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo juga berpendapat bahwa pemerintah harus tegas terhadap LSM asing yang melakukan intervensi terhadap pengelolaan hutan di Papua. "Dari dulu sudah saya katakan, pemerintah harus tegas. Karena itu sudah menginjak-injak kedaulatan negara kita. Karena hanya pemerintah yang boleh mengatur negara ini," kata Firman.
Sebagaimana dalam UU Kehutanan, kata Firman, hutan bisa dijadikan fungsi ekologis, sosial, maupun ekonomi. Ketiga fungsi tersebut harus berjalan seimbang. Apalagi kalau dilihat, ekonomi di Papua masih terbelakang. Karena itu tak ada salahnya apabila hutan di Papua dialihfungsikan pada kegiatan yang sifatnya terkait dengan ekonomi.
Sebelumnya, masyarakat Adat Airu Hulu, Kabupaten Jayapura, Papua menolak kehadiran LSM Greenpeace yang dinilai melakukan intervensi terhadap pengelolaan hutan di Papua. Greenpeace beralasan hutan yang akan dikelola investor termasuk kawasan konservasi nasional dan perlindungan dunia internasional.
"Kami menolak Greenpeace dalam pengelolaan hutan masyarakat adat," tegas Kepala Suku Wau Mathius Wau dalam aksi bersama pekan lalu.
(fjo)