Akuisisi Uber oleh Grab Ancam Tingkatkan Pengangguran
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pengamat transportasi menilai akuisisi Uber oleh Grab berpotensi menimbulkan lonjakan pengangguran. Hal ini disebabkan oleh pendeknya rentang waktu penutupan aplikasi Uber yang akan resmi ditutup mulai 8 April 2018, sehingga para pengemudi Uber akan kesulitan melakukan pendaftaran kepada Grab sebagai pemilik baru Uber, dalam kurun waktu singkat tersebut.
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia, Danang Parikesit mengatakan, akuisisi Uber oleh Grab ini memang berdampak kepada para pengemudi Uber. Sebagai mitra, para pengemudi tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti aksi korporasi antara Grab dan Uber. "Ini risiko di sisi mitra yang memang tidak bisa sepenuhnya diakomodasi operator," katanya, Senin (2/4/2018).
Untuk itu, ia menilai GoJek sebagai pemilik aplikasi sejenis agar dapat turut berperan dalam menampung pengemudi-pengemudi tersebut. Kepastian nasib pengemudi Uber ini sangat penting, terlepas dari persaingan sengit antara Gojek dan Grab.
Jika ada pengemudi Uber yang memilih bermitra dengan Gojek, lanjut Danang, seharusnya tidak menjadi masalah. Tinggal bagaimana kebijakan dari masing-masing operator. "Jadi apakah Gojek mau menyerap pengemudi Uber atau tidak," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Darmaningtyas, ketua Institut Studi Transportasi (Instran). Menurutnya, jika para pengemudi Uber tidak terserap seluruhnya, akan mengurangi suplai transportasi online di lapangan.
Pasalnya, demand akan transportasi online jumlahnya terus bertambah seiring dengan makin banyaknya masyarakat yang memilih transportasi online karena lebih praktis ketimbang menggunakan kendaraan pribadi. "Jadi jika tidak terserap akan mengurangi suplai," katanya.
Untuk itu, ia mendorong GoJek untuk ikut menyerap pengemudi Uber. Toh masuknya pengemudi Uber ke Gojek tidak bertentangan dengan moratorium pengemudi online yang sempat disampaikan pemerintah, mengingat mereka sudah terdaftar sebelumnya sebagai pengemudi online.
Danang menambahkan, sebagai industri yang diatur oleh pemerintah (regulated market), seharusnya transaksi Uber dan Grab ini diketahui pemerintah sejak awal. Dengan begitu, hal-hal seperti ini bisa diantisipasi. Karena selain menyangkut nasib ratusan ribu para pengemudi, juga akan mengganggu masyarakat pengguna transportasi. "Yang jadi isu saat ini adalah apakah pelayanan publik terganggu, ini yang harus diperhatikan," tambahnya.
Seperti diketahui, Senin (26/3/2018) pekan lalu, Grab resmi mengakuisisi Uber. Dimana Uber sepakat menjual bisnisnya di kawasan Asia Tenggara kepada Grab. Sejumlah negara di Asia Tenggara yang aset dan operasional Uber akan segera dialihkan ke Grab adalah Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Sebagai bagian dari akusisi, Uber akan memiliki 27,5% saham di Grab dan Dara Khosrowshahi selaku CEO Uber akan bergabung dengan dewan direksi Grab.
Hengkangnya Uber dari wilayah Asia Tenggara menandakan layanan ride-sharing tersebut sudah menyerah tiga kali dalam bersaing dengan para kompetitornya. Sebelum menjual layanan operasionalnya di Asia Tenggara ke Grab, Uber juga sempat melakukan hal serupa kepada kompetitornya di Didi Chuxing di China dan Yandex di Rusia.
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia, Danang Parikesit mengatakan, akuisisi Uber oleh Grab ini memang berdampak kepada para pengemudi Uber. Sebagai mitra, para pengemudi tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti aksi korporasi antara Grab dan Uber. "Ini risiko di sisi mitra yang memang tidak bisa sepenuhnya diakomodasi operator," katanya, Senin (2/4/2018).
Untuk itu, ia menilai GoJek sebagai pemilik aplikasi sejenis agar dapat turut berperan dalam menampung pengemudi-pengemudi tersebut. Kepastian nasib pengemudi Uber ini sangat penting, terlepas dari persaingan sengit antara Gojek dan Grab.
Jika ada pengemudi Uber yang memilih bermitra dengan Gojek, lanjut Danang, seharusnya tidak menjadi masalah. Tinggal bagaimana kebijakan dari masing-masing operator. "Jadi apakah Gojek mau menyerap pengemudi Uber atau tidak," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Darmaningtyas, ketua Institut Studi Transportasi (Instran). Menurutnya, jika para pengemudi Uber tidak terserap seluruhnya, akan mengurangi suplai transportasi online di lapangan.
Pasalnya, demand akan transportasi online jumlahnya terus bertambah seiring dengan makin banyaknya masyarakat yang memilih transportasi online karena lebih praktis ketimbang menggunakan kendaraan pribadi. "Jadi jika tidak terserap akan mengurangi suplai," katanya.
Untuk itu, ia mendorong GoJek untuk ikut menyerap pengemudi Uber. Toh masuknya pengemudi Uber ke Gojek tidak bertentangan dengan moratorium pengemudi online yang sempat disampaikan pemerintah, mengingat mereka sudah terdaftar sebelumnya sebagai pengemudi online.
Danang menambahkan, sebagai industri yang diatur oleh pemerintah (regulated market), seharusnya transaksi Uber dan Grab ini diketahui pemerintah sejak awal. Dengan begitu, hal-hal seperti ini bisa diantisipasi. Karena selain menyangkut nasib ratusan ribu para pengemudi, juga akan mengganggu masyarakat pengguna transportasi. "Yang jadi isu saat ini adalah apakah pelayanan publik terganggu, ini yang harus diperhatikan," tambahnya.
Seperti diketahui, Senin (26/3/2018) pekan lalu, Grab resmi mengakuisisi Uber. Dimana Uber sepakat menjual bisnisnya di kawasan Asia Tenggara kepada Grab. Sejumlah negara di Asia Tenggara yang aset dan operasional Uber akan segera dialihkan ke Grab adalah Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Sebagai bagian dari akusisi, Uber akan memiliki 27,5% saham di Grab dan Dara Khosrowshahi selaku CEO Uber akan bergabung dengan dewan direksi Grab.
Hengkangnya Uber dari wilayah Asia Tenggara menandakan layanan ride-sharing tersebut sudah menyerah tiga kali dalam bersaing dengan para kompetitornya. Sebelum menjual layanan operasionalnya di Asia Tenggara ke Grab, Uber juga sempat melakukan hal serupa kepada kompetitornya di Didi Chuxing di China dan Yandex di Rusia.
(ven)