Mengubah Paradigma, Kerja Tidak Harus Jadi Pegawai
A
A
A
PARADIGMA generasi muda di Yogyakarta sebagaimana anak muda lain di Indonesia tentang karier mulai ada pergeseran, yaitu tidak lagi bercita-cita sekadar menjadi pegawai, baik pemerintah maupun swasta, tapi mereka ingin berusaha sendiri.
Hal ini ditandai dengan munculnya startup-startup , yaitu bisnis dalam tahap rintisan atau sedang dalam pengembangan. Perubahan itu bukan tanpa alasan. Selain generasi muda ingin mengembangkan usaha yang sesuai dengan kemampuan dan hobi atau kesenangannya, juga lantaran di era disruptive innovation menuntut mereka untuk lebih kreatif dan visioner.
Sebab jika tetap stagnan, tentu akan tertinggal dengan perkembangan teknologi yang cepat. Karena itu, di era disruptive innovation ini industri kreatif banyak dimasuki anak muda. Bukan itu saja, dalam merintis usaha-usaha tersebut juga bersifat mandiri serta membuka lapangan kerja bagi orang lain.
Untuk bidang yang banyak digeluti atau pilihan startup di Yogyakarta, yakni berhubungan dengan leisure, di antaranya usaha kuliner, industri kerajinan, dan fashion . Karena usaha-usaha itu berkembang di setiap sudut Yogyakarta. Mereka menyajikan menu inovatif dan tempat menarik bagi konsumennya.
“Ini juga sesuai dengan perkembangan zaman yang membuat anak muda menjadi lebih visioner dengan tak bercita sekadar menjadi buruh atau pegawai pemerintah ataupun swasta, tapi berusaha sendiri,” kata Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta yang juga pakar ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Edy Suadi Hamid.
Untuk pemasaran produknya, startup tersebut juga memanfaatkan teknologi, yaitu melalui e-commerce, baik melalu media sosial (medsos) maupun aplikasi lainnya, termasuk pengantarannya juga dengan transportasi online maupun cash on delivery (COD). Dengan begitu, startup dapat berkembang dengan cepat.
“Walaupun terkadang juga banyak yang cepat gagal juga. Tapi inilah karakteristik entrepreneurship yang siap mencoba dan menanggung risiko,” ujarnya. Berkembangnya industri startup ini juga tidak terlepas dari dukungan pemerintah daerah dengan berbagai programnya serta juga perguruan tinggi (PT) yang ada di daerah ini.
Apalagi PT tersebut bukan hanya memberikan tentang kewiraswastaan, tetapi juga membuat inkubasi bisnis yang menjadi ajang praktik bagi para mahasiswanya. “Bukan itu saja, PT itu juga memiliki link dengan perbankan untuk mendukung lahirnya startup bisnis dari insan kampus,” katanya. Untuk startup sendiri selain membutuhkan permodalan, yang tidak boleh dilupakan adalah banyaknya pesaing.
Dalam menyikapi hal ini, maka mereka harus dinamis dan melakukan inovasi serta pelayanan yang baik, seperti kecepatan dan kebersihan. Termasuk tidak berhenti berpromosi sehingga tetap memelihara pelanggan lama dan menarik pelanggan baru. Produknya juga harus selalu dalam ingatan konsumennya agar konsumen tidak meninggalkannya.
Karena itu, startup harus membuat produk unik atau dalam hal tertentu harus beda dengan yang lain. “Inilah yang menjadi tantangan dan harus dilakukan pelaku startup ,” ujarnya.
Seorang wirausahawan muda asal Pandean, Umbulharjo, Yogyakarta, Gilang, 24 mengatakan, saat ini sedang memulai usaha sablon dan kerajinan hiasan dinding dalam bentuk pigura minimalis.
Kontennya berisi tentang penyemangat atau kata-kata mutiara dari orang-orang terkenal. Untuk pemasarannya secara online . “Startup ini memang membutuhkan kreativitas. Tetapi untuk struktur kerjanya lebih sederhana dan dapat dikerjakan sendiri. Meskipun begitu, tetap memberikan peluang kerja, terutama mereka yang memiliki keahlian di bidang itu,” ungkap alumni FTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) itu.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sleman Tri Endah Yitnani mengatakan, untuk menampung para startup ini, selain menyediakan ruang pameran di kantor Disperindag Sleman, juga memfasilitasi mereka untuk mengikuti pameran termasuk memberikan pembinaan dan pelatihan dalam pengembangan usaha. “Untuk modal sendiri, bisa dengan Bank Sleman yang siap memberikan kucuran dana,” ujarnya. (Priyo Setyawan)
Hal ini ditandai dengan munculnya startup-startup , yaitu bisnis dalam tahap rintisan atau sedang dalam pengembangan. Perubahan itu bukan tanpa alasan. Selain generasi muda ingin mengembangkan usaha yang sesuai dengan kemampuan dan hobi atau kesenangannya, juga lantaran di era disruptive innovation menuntut mereka untuk lebih kreatif dan visioner.
Sebab jika tetap stagnan, tentu akan tertinggal dengan perkembangan teknologi yang cepat. Karena itu, di era disruptive innovation ini industri kreatif banyak dimasuki anak muda. Bukan itu saja, dalam merintis usaha-usaha tersebut juga bersifat mandiri serta membuka lapangan kerja bagi orang lain.
Untuk bidang yang banyak digeluti atau pilihan startup di Yogyakarta, yakni berhubungan dengan leisure, di antaranya usaha kuliner, industri kerajinan, dan fashion . Karena usaha-usaha itu berkembang di setiap sudut Yogyakarta. Mereka menyajikan menu inovatif dan tempat menarik bagi konsumennya.
“Ini juga sesuai dengan perkembangan zaman yang membuat anak muda menjadi lebih visioner dengan tak bercita sekadar menjadi buruh atau pegawai pemerintah ataupun swasta, tapi berusaha sendiri,” kata Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta yang juga pakar ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Edy Suadi Hamid.
Untuk pemasaran produknya, startup tersebut juga memanfaatkan teknologi, yaitu melalui e-commerce, baik melalu media sosial (medsos) maupun aplikasi lainnya, termasuk pengantarannya juga dengan transportasi online maupun cash on delivery (COD). Dengan begitu, startup dapat berkembang dengan cepat.
“Walaupun terkadang juga banyak yang cepat gagal juga. Tapi inilah karakteristik entrepreneurship yang siap mencoba dan menanggung risiko,” ujarnya. Berkembangnya industri startup ini juga tidak terlepas dari dukungan pemerintah daerah dengan berbagai programnya serta juga perguruan tinggi (PT) yang ada di daerah ini.
Apalagi PT tersebut bukan hanya memberikan tentang kewiraswastaan, tetapi juga membuat inkubasi bisnis yang menjadi ajang praktik bagi para mahasiswanya. “Bukan itu saja, PT itu juga memiliki link dengan perbankan untuk mendukung lahirnya startup bisnis dari insan kampus,” katanya. Untuk startup sendiri selain membutuhkan permodalan, yang tidak boleh dilupakan adalah banyaknya pesaing.
Dalam menyikapi hal ini, maka mereka harus dinamis dan melakukan inovasi serta pelayanan yang baik, seperti kecepatan dan kebersihan. Termasuk tidak berhenti berpromosi sehingga tetap memelihara pelanggan lama dan menarik pelanggan baru. Produknya juga harus selalu dalam ingatan konsumennya agar konsumen tidak meninggalkannya.
Karena itu, startup harus membuat produk unik atau dalam hal tertentu harus beda dengan yang lain. “Inilah yang menjadi tantangan dan harus dilakukan pelaku startup ,” ujarnya.
Seorang wirausahawan muda asal Pandean, Umbulharjo, Yogyakarta, Gilang, 24 mengatakan, saat ini sedang memulai usaha sablon dan kerajinan hiasan dinding dalam bentuk pigura minimalis.
Kontennya berisi tentang penyemangat atau kata-kata mutiara dari orang-orang terkenal. Untuk pemasarannya secara online . “Startup ini memang membutuhkan kreativitas. Tetapi untuk struktur kerjanya lebih sederhana dan dapat dikerjakan sendiri. Meskipun begitu, tetap memberikan peluang kerja, terutama mereka yang memiliki keahlian di bidang itu,” ungkap alumni FTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) itu.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sleman Tri Endah Yitnani mengatakan, untuk menampung para startup ini, selain menyediakan ruang pameran di kantor Disperindag Sleman, juga memfasilitasi mereka untuk mengikuti pameran termasuk memberikan pembinaan dan pelatihan dalam pengembangan usaha. “Untuk modal sendiri, bisa dengan Bank Sleman yang siap memberikan kucuran dana,” ujarnya. (Priyo Setyawan)
(nfl)