Fadli Zon: Pemerintah Gagal Jaga Nilai Tukar Rupiah

Rabu, 09 Mei 2018 - 15:02 WIB
Fadli Zon: Pemerintah...
Fadli Zon: Pemerintah Gagal Jaga Nilai Tukar Rupiah
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon berkomentar keras terhadap melemahnya nilai tukar rupiah yang telah menembus angka Rp14.000/dolar Amerika Serikat (USD) pada awal pekan ini. Meskipun selalu disangkal oleh pemerintah, kata dia, Indonesia saat ini sebenarnya sudah berada di tahap awal krisis, dan pemerintah telah gagal dalam menjaga stabilitas rupiah.

"Nilai tukar memiliki efek domino yang sangat besar dalam struktur perekonomian kita. Dalam periode Februari hingga Maret 2018 saja, misalnya, kita sudah menghabiskan sekitar USD2 miliar devisa untuk menyelamatkan rupiah. Itupun ternyata tak sanggup mencegah rupiah jatuh ke angka Rp14.000/USD," ujarnya melalui keterangan tertulis, Rabu (9/5/2018).

Fadli menambahkan, dalam catatannya, selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai dari kuartal IV/2014 hingga kini, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 13%. Bahkan, sambung dia, kemungkinannya rupiah masih dalam tren penurunan.

"Kondisi ini jauh sekali dari apa yang dulu pernah dijanjikan pada 2014. Sebagai catatan, nilai tukar rupiah saat ini 38% lebih rendah dari janji kampanye dulu. Ini menunjukkan perhitungan pemerintahan sekarang jauh dari realistis. Dan pemerintah gagal menjaga rupiah kita," cetusnya.

Karena itu, tegas dia, pemerintah harus bersikap transparan mengenai risiko yang tengah dihadapi. Sikap itu diperlukan agar Indonesia bisa mengambil langkah tepat mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi yang lebih dalam.

"Jangan berdalih indikator makroekonomi kita cukup baik dengan modal argumen bahwa indikator perekonomian negara-negara lain saat ini jauh lebih buruk dari kita. Ini bukan soal apakah kondisi kita lebih baik atau lebih buruk dibanding negara lain, tapi soal apakah pemerintah telah mengantisipasi terjadinya krisis atau tidak? Jika kondisi negara lain lebih buruk, bukan berarti kita baik-baik saja," tandasnya.

Fadli menambahkan, sejumlah risiko terkait pelemahan rupiah kini telah di depan mata, misalnya, terkait dengan utang, di mana 41% utang dalam denominasi mata uang asing. Artinya, perubahan kurs rupiah atas mata uang bersangkutan akan mempengaruhi posisi utang secara keseluruhan.

"Menurut data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 31 Desember 2017 lalu, dari total utang sebesar Rp3.938,45 triliun, utang dalam denominasi rupiah sebesar 59%, dolar AS 29%, yen Jepang 6%, euro 4%, SDR IMF 1%, dan lainnya sebesar 1%. Jadi, utang kita yang berdenominasi valuta asing sebesar 41%, baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah," paparnya.

Turunnya nilai tukar rupiah menurutnya jelas akan berpengaruh terhadap beban pembayaran utang, baik bunga utang maupun cicilan jatuh tempo. Ujungnya, APBN akan semakin terbebani pembayaran utang.

"Saya kira, turunnya nilai tukar rupiah juga telah berimbas pada turunnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Terbukti, sudah tiga kali berturut-turut lelang SUN (Surat Utang Negara) tak pernah mencapai target," imbuhnya.

Fadli memerinci, pada 24 April, SUN hanya terjual Rp6.150 miliar, padahal target indikatifnya Rp17.000 miliar. Berikutnya, pada 2 Mei 2018, SBSN (Syariah) hanya terjual Rp 5.530 miliar dari target indikatif Rp8.000 miliar. "Terakhir adalah kemarin, tanggal 8 Mei, pemerintah bahkan gagal menjual SUN sama sekali dari Rp17.000 miliar yang ditargetkan. Ini sebenarnya lampu merah untuk pemerintah. Kredibilitas mereka kini semakin diragukan investor," tandasnya.

Dia menambahkan, melemahnya rupiah juga ternyata tak punya dampak positif terhadap nilai ekspor nasional. Eksportir menurutnya justru lebih menginginkan nilai tukar rupiah yang stabil, karena bagaimanapun komponen bahan baku atau komponen produksi komoditas masih banyak yang diimpor. "Lagi pula, nilai ekspor kita juga cukup kecil jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Pada 2017, nilai ekspor kita hanya USD145 miliar, kalah jauh oleh Thailand yang nilainya mencapai USD231 milia, atau bahkan Vietnam yang nilai ekspornya USD160 miliar," tambahnya.

Karena itu, fadli meminta agar pemerintah bersikap transparan mengenai risiko ekonomi yang sedang dihadapi. Dia meminta pemerintah tak mengecilkan arti depresiasi rupiah. "Sebab, nilai tukar mata uang pada dasarnya mewakili martabat sebuah bangsa," pungkasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1205 seconds (0.1#10.140)