Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 5,2%
A
A
A
JAKARTA - Konsumsi masyarakat yang belum kuat serta rendahnya angka inflasi inti merupakan indikasi bahwa perekonomian Indonesia masih membutuhkan akomodasi kebijakan fiskal dan moneter.
Namun, jika bauran kebijakan moneter yang tepat bisa diimbangi dengan tata laksana program ekstensifikasi pajak yang ramah, maka pertumbuhan konsumsi masyarakat akan bisa ditingkatkan.
"Terlebih, bila momentum pertumbuhan investasi bisa terjaga, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 akan bisa mencapai angka 5,2%," ujar Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Adrian Panggabean di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Dia pun menekankan pentingnya ketelitian pemerintah dalam mengukur timing kebijakan dan kemampuan dosis kebijakan ekonominya, ditengah volatilitas global yang akan terus berlanjut.
Volatilitas yang terjadi saat ini, sedikit banyak diwarnai oleh hukuman pasar terhadap entitas bisnis atau negara yang over-leveraged.
"Sehingga, penting bagi pemerintah untuk terus melanjutkan kebijakan deregulasi dan reformasi di bidang keuangan, terutama kebijakan ekstensifikasi pajak yang harus dilakukan secara ramah dan netral. Eksekusi dari bauran kebijakan moneter yang berhati-hati, serta pengawasan mikroprudensial yang lebih cermat. Sehingga fundamental ekonomi Indonesia bisa tetap terjaga," urainya.
Menurut dia, siklus perekonomian Indonesia berbeda dengan siklus di negara-negara maju seperti AS. Pasalnya, ekonomi Indonesia dari sisi business cycle saat ini masih dalam tahap awal, berbeda dengan di AS yang sudah hampir berada di ujung, atau di Eropa yang masih di tengah.
"Tahun 2011, pertumbuhan ekonomi tinggi lalu turun. Dan akhir 2016 mulai tinggi lagi dimana pada kuartal IV 2016, saya lihat ini awal dari business cycle," katanya.
Dengan perbedaan seperti ini, sambung dia, bentuk dan karakter dari akomodasi kebijakan ekonomi Indonesia juga seharusnya berbeda dengan di Amerika Serikat.
Lebih lanjut Adrian menuturkan, meski terjadi volatilitas dan kondisi politik mulai menghangat menjelang Pemilu 2019, namun perekonomian Indonesia tetap berjalan normal.
Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi 5,06% pada kuartal I 2018, atau tetap di kisaran 5%. "Kita tidak perlu terlalu khawatir sejauh konfigurasi makroekonomi kita terjaga relatif sehat, kebijakan ekonomi tetap rasional, dan aktivitas ekonomi masih berjalan normal," imbuh dia.
Adrian memperkirakan, volatilitas di pasar finansial akan berlanjut sepanjang 2018 dan kemungkinan besar akan terus terjadi di 2019. Hal itu dipengaruhi sejumlah faktor eksternal di antaranya pengetatan kebijakan moneter dan pelonggaran kebijakan fiskal AS yang diimbangi dengan masih longgarnya kebijakan moneter di Eropa dan Jepang.
Di sisi lain, faktor geopolitik dan geoekonomi serta isu proteksionisme AS juga menyebabkan fluktuasi tajam dalam harga-harga aset secara global, yang kemudian berimbas pada fluktuasi mata uang di seluruh dunia, termasuk rupiah.
Namun, jika bauran kebijakan moneter yang tepat bisa diimbangi dengan tata laksana program ekstensifikasi pajak yang ramah, maka pertumbuhan konsumsi masyarakat akan bisa ditingkatkan.
"Terlebih, bila momentum pertumbuhan investasi bisa terjaga, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 akan bisa mencapai angka 5,2%," ujar Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Adrian Panggabean di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Dia pun menekankan pentingnya ketelitian pemerintah dalam mengukur timing kebijakan dan kemampuan dosis kebijakan ekonominya, ditengah volatilitas global yang akan terus berlanjut.
Volatilitas yang terjadi saat ini, sedikit banyak diwarnai oleh hukuman pasar terhadap entitas bisnis atau negara yang over-leveraged.
"Sehingga, penting bagi pemerintah untuk terus melanjutkan kebijakan deregulasi dan reformasi di bidang keuangan, terutama kebijakan ekstensifikasi pajak yang harus dilakukan secara ramah dan netral. Eksekusi dari bauran kebijakan moneter yang berhati-hati, serta pengawasan mikroprudensial yang lebih cermat. Sehingga fundamental ekonomi Indonesia bisa tetap terjaga," urainya.
Menurut dia, siklus perekonomian Indonesia berbeda dengan siklus di negara-negara maju seperti AS. Pasalnya, ekonomi Indonesia dari sisi business cycle saat ini masih dalam tahap awal, berbeda dengan di AS yang sudah hampir berada di ujung, atau di Eropa yang masih di tengah.
"Tahun 2011, pertumbuhan ekonomi tinggi lalu turun. Dan akhir 2016 mulai tinggi lagi dimana pada kuartal IV 2016, saya lihat ini awal dari business cycle," katanya.
Dengan perbedaan seperti ini, sambung dia, bentuk dan karakter dari akomodasi kebijakan ekonomi Indonesia juga seharusnya berbeda dengan di Amerika Serikat.
Lebih lanjut Adrian menuturkan, meski terjadi volatilitas dan kondisi politik mulai menghangat menjelang Pemilu 2019, namun perekonomian Indonesia tetap berjalan normal.
Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi 5,06% pada kuartal I 2018, atau tetap di kisaran 5%. "Kita tidak perlu terlalu khawatir sejauh konfigurasi makroekonomi kita terjaga relatif sehat, kebijakan ekonomi tetap rasional, dan aktivitas ekonomi masih berjalan normal," imbuh dia.
Adrian memperkirakan, volatilitas di pasar finansial akan berlanjut sepanjang 2018 dan kemungkinan besar akan terus terjadi di 2019. Hal itu dipengaruhi sejumlah faktor eksternal di antaranya pengetatan kebijakan moneter dan pelonggaran kebijakan fiskal AS yang diimbangi dengan masih longgarnya kebijakan moneter di Eropa dan Jepang.
Di sisi lain, faktor geopolitik dan geoekonomi serta isu proteksionisme AS juga menyebabkan fluktuasi tajam dalam harga-harga aset secara global, yang kemudian berimbas pada fluktuasi mata uang di seluruh dunia, termasuk rupiah.
(ven)