Hadapi Ketidakpastian Ekonomi 2025: Apa yang Harus Dilakukan Kelas Menengah?

Rabu, 08 Januari 2025 - 15:25 WIB
loading...
Hadapi Ketidakpastian...
Kelas menengah yang terus menurun memunculkan kekhawatiran terkait daya tahan kelompok ini terhadap guncangan ekonomi. Pekerja saat jam pulang kantor berjalan di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta, Selasa (21/11/2023). FOTO/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Tahun 2025 diperkirakan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian global. Ketidakpastian yang disebabkan oleh konflik geopolitik, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, dan dampak perubahan iklim semakin memperumit keadaan.

Di sisi domestik, Indonesia juga menghadapi tekanan dari sejumlah kebijakan ekonomi yang diberlakukan pada 2024, yang secara signifikan memengaruhi daya beli masyarakat kelas menengah .

"Dalam situasi ini, penting bagi kelas menengah Indonesia untuk mengambil langkah strategis guna bertahan dan tetap relevan di tengah ketidakpastian," ujar Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat kepada SINDOnews, Rabu (8/1/2024).

Menurut Achmad ketidakpastian ekonomi global menjadi isu utama yang tidak hanya dirasakan oleh negara-negara besar tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia.
Konflik geopolitik yang terus berlanjut, seperti perang dagang antara negara-negara besar, semakin menekan stabilitas ekonomi.

Fluktuasi harga komoditas global, terutama energi dan pangan, menjadi ancaman serius bagi negara yang bergantung pada impor seperti Indonesia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama, seperti China dan Amerika Serikat, memperburuk kondisi dengan menurunkan potensi ekspor dan investasi.



Selain itu, perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem dan bencana alam kerap mengganggu produksi pangan global, yang pada akhirnya mendorong kenaikan harga pangan. Di dalam negeri, kebijakan yang diterapkan pemerintah pada 2024 membawa dampak langsung pada kelas menengah di tahun berikutnya.

Salah satu kebijakan yang menonjol adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kebijakan ini, meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, menimbulkan efek domino berupa kenaikan harga barang dan jasa di pasar.

Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat miskin, tetapi juga kelas menengah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik. "Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, kemampuan belanja mereka tergerus, sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," kata Achmad.

Tak hanya itu, pengetatan subsidi energi juga menjadi beban tambahan bagi kelas menengah di tengah rencana perubahan mekanisme subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik menjadi berbasis nomor induk kependudukan (NIK).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1121 seconds (0.1#10.140)