Penetapan PGN Jadi Subholding Gas Dinilai Langkah Tepat
A
A
A
JAKARTA - Langkah pemerintah membentuk holding BUMN migas dengan menjadikan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai subholding gas mendapat dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Penggabungan antara PGN dengan Pertagas merupakan langkah yang baik. Apalagi, PGN menjadi subholding gas pasti akan berdampak pada kelancaran pasokan gas," kata Wakil Ketua Komisi VI DPR, Dito Ganinduto di Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Dito menilai, PGN mempunyai infrastruktur yang lebih lengkap untuk menyalurkan gas ke pelanggan. Sedangkan Pertagas bisa melengkapi distribusi gas yang selama ini belum disentuh PGN.
"Dua perusahaan ini harus saling melengkapi dan memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan pembentukan holding migas, diharapkan bisa memangkas trader gas yang tidak memiliki pipa," papar dia.
Seperti diketahui, PGN memiliki jumlah aset produktif yang lebih banyak dibandingkan Pertagas. Sampai akhir kuartal I/2018, PGN mengoperasikan 7.453 kilometer (km) pipa gas. Sedangkan Pertagas baru mengelola pipa gas sepanjang 2.438 km.
Dari infrastruktur tersebut, PGN menyalurkan 1.505 MMscfd gas bumi ke 196.221 pelanggan, yang semuanya merupakan end user dari gas itu sendiri. Mulai dari pelanggan rumah tangga, UMKM, sampai pelanggan industri, yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Kalimantan Utara, sampai Sorong di Papua.
"Betul bahwa PGN bakal menyiapkan pendanaan untuk akuisisi setelah valuasi Pertagas ditentukan. Namun, ini bukanlah perkara sulit karena kondisi keuangan emiten tersebut masih sehat," ujar Dito.
Namun sebelum proses akuisisi diselesaikan, PGN diminta untuk mencermati sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang belum diselesaikan oleh Pertagas. PR itu adalah menindaklanjuti Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2017 (IHPS) yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2 Oktober 2017 lalu.
Dalam IHPS tersebut, BPK mencatat Pertagas berpotensi kehilangan pendapatan senilai USD16,57 juta dan timbulnya piutang macet sebesar USD11,86 juta. Kedua potensi kerugian itu timbul akibat tidak efektifnya sejumlah proyek yang dikerjakan Pertagas.
Menurut BPK, inefisiensi bisnis niaga dan transportasi Pertagas terjadi di sejumlah wilayah, mulai dari Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur dalam periode 2014 hingga semester I/2016.
Sumber menguapnya pendapatan sebesar USD16,57 juta dan timbulnya piutang macet sebesar USD11,86 disebut lembaga auditor negara akibat penyusunan nominasi, skema niaga, dan operasi pemanfaatan gas Pondok Tengah yang tidak mempertimbangkan kondisi operasi, serta pengalihan alokasi gas untuk kebutuhan Compressed Natural Gas (CNG) kepada PT Mutiara Energy (PT ME).
Aksi korporasi Pertagas lainnya yang menjadi sorotan BPK adalah mangkraknya pengerjaan proyek pipa Belawan-KIM-KEK (Kawasan Industri Medan–Kawasan Ekonomi Khusus) senilai USD59,58 juta dan Rp 3 miliar. Penyebab mangkraknya proyek tersebut karena terdapat pekerjaan commisioning, yang tidak bisa dilaksanakan karena sampai saat ini belum ada konsumen yang bisa menerima gas.
"Kondisi tersebut berpotensi membebani keuangan Pertagas dalam jangka panjang," kata BPK dalam IHPS tersebut.
Sejumlah temuan dalam IHPS tersebut membuat Anggota III BPK Achsanul Qosasi menilai, PGN memang sudah seharusnya mengakuisisi Pertagas karena memiliki bisnis inti yang sama. "Kita sebaiknya memisahkan kelompok usaha sesuai core bisnis yang dikuasai sehingga Pertagas lebih pas diakuisisi PGN. Sebagai perusahaan publik, itu bisa membantu saham PGN agar naik drastis," ungkap Achsanul.
Dia menekankan bahwa PGN seharusnya bertugas mengurusi gas dan Pertamina mengurus minyak. PGN dan Pertagas sendiri harus saling bersinergi untuk mengurangi terjadinya investasi ganda.
"Saat ini seringkali ada investasi ganda. PGN membangun pipa, Pertagas juga membangun pipa di lokasi yang sebetulnya beririsan. Jika mereka saling sinergi dan bersatu mungkin pemborosan keuangan tidak akan terjadi," tutupnya.
"Penggabungan antara PGN dengan Pertagas merupakan langkah yang baik. Apalagi, PGN menjadi subholding gas pasti akan berdampak pada kelancaran pasokan gas," kata Wakil Ketua Komisi VI DPR, Dito Ganinduto di Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Dito menilai, PGN mempunyai infrastruktur yang lebih lengkap untuk menyalurkan gas ke pelanggan. Sedangkan Pertagas bisa melengkapi distribusi gas yang selama ini belum disentuh PGN.
"Dua perusahaan ini harus saling melengkapi dan memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan pembentukan holding migas, diharapkan bisa memangkas trader gas yang tidak memiliki pipa," papar dia.
Seperti diketahui, PGN memiliki jumlah aset produktif yang lebih banyak dibandingkan Pertagas. Sampai akhir kuartal I/2018, PGN mengoperasikan 7.453 kilometer (km) pipa gas. Sedangkan Pertagas baru mengelola pipa gas sepanjang 2.438 km.
Dari infrastruktur tersebut, PGN menyalurkan 1.505 MMscfd gas bumi ke 196.221 pelanggan, yang semuanya merupakan end user dari gas itu sendiri. Mulai dari pelanggan rumah tangga, UMKM, sampai pelanggan industri, yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Kalimantan Utara, sampai Sorong di Papua.
"Betul bahwa PGN bakal menyiapkan pendanaan untuk akuisisi setelah valuasi Pertagas ditentukan. Namun, ini bukanlah perkara sulit karena kondisi keuangan emiten tersebut masih sehat," ujar Dito.
Namun sebelum proses akuisisi diselesaikan, PGN diminta untuk mencermati sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang belum diselesaikan oleh Pertagas. PR itu adalah menindaklanjuti Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2017 (IHPS) yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2 Oktober 2017 lalu.
Dalam IHPS tersebut, BPK mencatat Pertagas berpotensi kehilangan pendapatan senilai USD16,57 juta dan timbulnya piutang macet sebesar USD11,86 juta. Kedua potensi kerugian itu timbul akibat tidak efektifnya sejumlah proyek yang dikerjakan Pertagas.
Menurut BPK, inefisiensi bisnis niaga dan transportasi Pertagas terjadi di sejumlah wilayah, mulai dari Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur dalam periode 2014 hingga semester I/2016.
Sumber menguapnya pendapatan sebesar USD16,57 juta dan timbulnya piutang macet sebesar USD11,86 disebut lembaga auditor negara akibat penyusunan nominasi, skema niaga, dan operasi pemanfaatan gas Pondok Tengah yang tidak mempertimbangkan kondisi operasi, serta pengalihan alokasi gas untuk kebutuhan Compressed Natural Gas (CNG) kepada PT Mutiara Energy (PT ME).
Aksi korporasi Pertagas lainnya yang menjadi sorotan BPK adalah mangkraknya pengerjaan proyek pipa Belawan-KIM-KEK (Kawasan Industri Medan–Kawasan Ekonomi Khusus) senilai USD59,58 juta dan Rp 3 miliar. Penyebab mangkraknya proyek tersebut karena terdapat pekerjaan commisioning, yang tidak bisa dilaksanakan karena sampai saat ini belum ada konsumen yang bisa menerima gas.
"Kondisi tersebut berpotensi membebani keuangan Pertagas dalam jangka panjang," kata BPK dalam IHPS tersebut.
Sejumlah temuan dalam IHPS tersebut membuat Anggota III BPK Achsanul Qosasi menilai, PGN memang sudah seharusnya mengakuisisi Pertagas karena memiliki bisnis inti yang sama. "Kita sebaiknya memisahkan kelompok usaha sesuai core bisnis yang dikuasai sehingga Pertagas lebih pas diakuisisi PGN. Sebagai perusahaan publik, itu bisa membantu saham PGN agar naik drastis," ungkap Achsanul.
Dia menekankan bahwa PGN seharusnya bertugas mengurusi gas dan Pertamina mengurus minyak. PGN dan Pertagas sendiri harus saling bersinergi untuk mengurangi terjadinya investasi ganda.
"Saat ini seringkali ada investasi ganda. PGN membangun pipa, Pertagas juga membangun pipa di lokasi yang sebetulnya beririsan. Jika mereka saling sinergi dan bersatu mungkin pemborosan keuangan tidak akan terjadi," tutupnya.
(akr)