Redam Barang Bajakan, Dirjen Bea Cukai Perkuat Database HKI
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah siap kendalikan praktik impor atau ekspor barang ‘aspal’ atau pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dengan pendataan (recordial) produk atau merek. Praktik barang palsu sangat berbahaya karena bisa mematikan pertumbuhan industri nasional.
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan RI akan mendorong pemegang HKI untuk melakukan perekaman atau recordial di DJBC sejak 21 Juni 2018 mendatang. Hal ini dilakukan untuk meredam peredaran barang palsu atau ilegal di dalam negeri.
"Penanganan HKI akan dimulai sejak 21 Juni 2018 nanti. Silahkan semua pemegang HKI untuk mendaftar secara manual dan online. Ada 65 ribu merek setiap tahun yang masuk ke Ditjen HKI. Sangat bagus jika semua melakukan recordial pada aplikasi kami," kata Kepala Seksi Intelijen Larangan Pembatasan dan Kejahatan Lintas Negara DJBC Khoirul Hadziq di Jakarta.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan Bea Cukai akan mempelajari pengetahuan berbagai jenis HKI yang lain. Ini dibutuhkan saat menemukan barang impor atau ekspor yang dicurigai palsu dapat segera dilakukan pencegahan.
"Selama ini kami tidak bisa menilai barang impor itu palsu atau tidak. Karena kami tidak memiliki datanya. Maka saat ini pemegang HKI melakukan recordial untuk database. Kami tidak sekedar mencocokan data dengan produk yang dilaporkan, tapi juga mengidentifikasi barang itu, atau bahkan jalur distribusinya juga akan kami tanyakan,” sambungnya.
Menurutnya hal ini sangat penting, terkait pentingnya HKI dan peredaran barang palsu. Dia mencatat setidaknya ada enam poin yang saat ini menjadi sorotan Internasional. Pertama mengenai perlindungan negara terhadap kesehatan masyarakat, terkait dengan maraknya peredaran obat palsu. Kedua, keselamatan konsumen, dikaitkan dengan peredaran sparepart otomotif palsu.
“Bagaimana kalau barang seperti rem motor ternyata palsu. Pastinya akan mencelakakan nyawa manusia. Selain itu pelaku industri sebenarnya akan bangkrut karena barangnya tidak laku,” ujarnya.
Ketiga, yang juga menjadi sorotan berhubungan dengan Organisasi Kejahatan seperti terorisme yang dibiayai oleh hasil kejahatan terhadap HKI, selain perdagangan narkoba. Keempat, terkait Trust Issue, dimana Indonesia diwanti-wanti untuk menjaga kepercayaan produk ekspor sehingga tidak masuk dalam daftar hitam Amerika.
Kelima, adalah menghapus reputasi Indonesia sebagai negara penampung sampah produk palsu yang berdampak buruk pada kesejahteraan. “Dan terakhir, adalah terkait inovasi anak negeri. Sebab barang palsu mematikan kreatifitas generasi muda,” jelas dia.
Maka, penerapan recordial ini akan membantu perlindungan HKI di dalam negeri, sebagaimana praktik di negara maju seperti Jepang dan Amerika yang telah menerapkan hal tersebut.
"Ini sangat dianjurkan untuk pemegang HKI dalam negeri atau lokal. Bagi brand internasional, mereka harus berbadan hukum di dalam negeri, memiliki SIUP, dan karyawan. Hal ini untuk kepastian hukum dan juga kesejahteraan," papar Khoirul.
Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Selanjutnya diatur pelaksanaan teknisnya melalui Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK.04/2018 berisi tentang Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring Dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor Atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan Atau Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
Ketua MIAP Justisiari P. Kusumah menjelaskan, bahwa kegiatan sosialisasi ini juga merupakan tindak lanjut perjanjian kerjasama yang ditanda-tangani oleh MIAP dan UPH. Dalam momen buka puasa tahun ini, MIAP dan UPH bersama memberikan dukungan terkait sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 40/PMK.04/2018 yang diterbitkan oleh Direktorat Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Adapun yang menjadi target audiens kegiatan ini adalah para anggota MIAP, pemilik merek dan media selaku mitra yang berperan sangat penting untuk membantu penyebarluasan peraturan ini.
“MIAP sangat mengapresiasi dikeluarkannya peraturan yang memberikan alternatif perlindungan bagi pemilik merek khususnya dan masyarakat konsumen pada umumnya. Melalui peraturan baru ini diharapkan dapat digunakan oleh pemilik merek sebagai upaya untuk menanggulangi peredaran produk palsu/ilegal/bajakan yang ada di Indonesia,” kata Justisiari dalam kesempatan sama.
Saat ini Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan atau MIAP mempunyai anggota seperti Pfizer Indonesia, Louis Vuitton Moet Hennessey (LVMH), Nestle Indonesia, Aqua Danone, International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG), Mondelez Trading Indonesia (Kraft Foods), Microsoft Indonesia, Hewlett Packard, Schneider Indonesia, Shell Indonesia, Kalbe Group, Enesis Indonesia, REACT dan Under Armour.
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan RI akan mendorong pemegang HKI untuk melakukan perekaman atau recordial di DJBC sejak 21 Juni 2018 mendatang. Hal ini dilakukan untuk meredam peredaran barang palsu atau ilegal di dalam negeri.
"Penanganan HKI akan dimulai sejak 21 Juni 2018 nanti. Silahkan semua pemegang HKI untuk mendaftar secara manual dan online. Ada 65 ribu merek setiap tahun yang masuk ke Ditjen HKI. Sangat bagus jika semua melakukan recordial pada aplikasi kami," kata Kepala Seksi Intelijen Larangan Pembatasan dan Kejahatan Lintas Negara DJBC Khoirul Hadziq di Jakarta.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan Bea Cukai akan mempelajari pengetahuan berbagai jenis HKI yang lain. Ini dibutuhkan saat menemukan barang impor atau ekspor yang dicurigai palsu dapat segera dilakukan pencegahan.
"Selama ini kami tidak bisa menilai barang impor itu palsu atau tidak. Karena kami tidak memiliki datanya. Maka saat ini pemegang HKI melakukan recordial untuk database. Kami tidak sekedar mencocokan data dengan produk yang dilaporkan, tapi juga mengidentifikasi barang itu, atau bahkan jalur distribusinya juga akan kami tanyakan,” sambungnya.
Menurutnya hal ini sangat penting, terkait pentingnya HKI dan peredaran barang palsu. Dia mencatat setidaknya ada enam poin yang saat ini menjadi sorotan Internasional. Pertama mengenai perlindungan negara terhadap kesehatan masyarakat, terkait dengan maraknya peredaran obat palsu. Kedua, keselamatan konsumen, dikaitkan dengan peredaran sparepart otomotif palsu.
“Bagaimana kalau barang seperti rem motor ternyata palsu. Pastinya akan mencelakakan nyawa manusia. Selain itu pelaku industri sebenarnya akan bangkrut karena barangnya tidak laku,” ujarnya.
Ketiga, yang juga menjadi sorotan berhubungan dengan Organisasi Kejahatan seperti terorisme yang dibiayai oleh hasil kejahatan terhadap HKI, selain perdagangan narkoba. Keempat, terkait Trust Issue, dimana Indonesia diwanti-wanti untuk menjaga kepercayaan produk ekspor sehingga tidak masuk dalam daftar hitam Amerika.
Kelima, adalah menghapus reputasi Indonesia sebagai negara penampung sampah produk palsu yang berdampak buruk pada kesejahteraan. “Dan terakhir, adalah terkait inovasi anak negeri. Sebab barang palsu mematikan kreatifitas generasi muda,” jelas dia.
Maka, penerapan recordial ini akan membantu perlindungan HKI di dalam negeri, sebagaimana praktik di negara maju seperti Jepang dan Amerika yang telah menerapkan hal tersebut.
"Ini sangat dianjurkan untuk pemegang HKI dalam negeri atau lokal. Bagi brand internasional, mereka harus berbadan hukum di dalam negeri, memiliki SIUP, dan karyawan. Hal ini untuk kepastian hukum dan juga kesejahteraan," papar Khoirul.
Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Selanjutnya diatur pelaksanaan teknisnya melalui Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK.04/2018 berisi tentang Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring Dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor Atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan Atau Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
Ketua MIAP Justisiari P. Kusumah menjelaskan, bahwa kegiatan sosialisasi ini juga merupakan tindak lanjut perjanjian kerjasama yang ditanda-tangani oleh MIAP dan UPH. Dalam momen buka puasa tahun ini, MIAP dan UPH bersama memberikan dukungan terkait sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 40/PMK.04/2018 yang diterbitkan oleh Direktorat Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Adapun yang menjadi target audiens kegiatan ini adalah para anggota MIAP, pemilik merek dan media selaku mitra yang berperan sangat penting untuk membantu penyebarluasan peraturan ini.
“MIAP sangat mengapresiasi dikeluarkannya peraturan yang memberikan alternatif perlindungan bagi pemilik merek khususnya dan masyarakat konsumen pada umumnya. Melalui peraturan baru ini diharapkan dapat digunakan oleh pemilik merek sebagai upaya untuk menanggulangi peredaran produk palsu/ilegal/bajakan yang ada di Indonesia,” kata Justisiari dalam kesempatan sama.
Saat ini Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan atau MIAP mempunyai anggota seperti Pfizer Indonesia, Louis Vuitton Moet Hennessey (LVMH), Nestle Indonesia, Aqua Danone, International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG), Mondelez Trading Indonesia (Kraft Foods), Microsoft Indonesia, Hewlett Packard, Schneider Indonesia, Shell Indonesia, Kalbe Group, Enesis Indonesia, REACT dan Under Armour.
(akr)